Gardens of Water


The one on the left.

Penulis : Alan Drew
Penerbit : Literati Books
Terbit : Februari 2010

Gardens of Water bercerita tentang dua keluarga beda budaya. Sinan Basioglu hidup bersama istrinya Nilufer dan dua anaknya, Irem remaja putri 15 tahun dan Ismail bocah lelaki yang baru selesai dikhitan. Di apartemen di atas tempat tinggal mereka, hiduplah keluarga guru expatriat bernama Marcus, istrinya dan Dylan putra mereka yang juga remaja.

Di halaman-halaman awal novel, pembaca sudah dapat melihat bibit-bibit petaka dalam keluarga Sinan. Bagaimana Sinan yang pincang tak mampu mengimbangi langkah Ismail yang gesit, hingga hampir ia kehilangan Ismail di tengah keramaian kapal ferry. Digambarkan pula Irem yang menemukan kesenangan dari pertemanan rahasianya dengan Dylan. Di saat keluarga Sinan begitu bergembira menyiapkan perayaan khitanan Ismail, Irem menyimpan cemburu yang mulai mendidih. Lalu tanpa diduga-duga, gempa dahsyat menggulung mereka semua menjadi adonan kisah yang tragis dan miris.

Inti novel ini adalah para individu yang terjebak dalam dilema antara apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka yakini. Untuk Sinan, berarti menyeimbangkan cintanya untuk anak-anaknya dengan keyakinan agama dan adat suku Kurdi yang ia junjung tinggi. Namun preferensinya atas Ismail secara tak langsung melukai perasaan Irem. Di kamp pengungsi, Sinan yang kehilangan perannya sebagai pemberi nafkah keluarga harus menghadapi perasaan-perasaan yang saling bertentangan tersebut untuk pertama kalinya. Sementara itu, Irem putri semata wayangnya, mencoba untuk menyeimbangkan harapannya untuk tidak bernasib seperti ibunya namun tetap ingin dicintai dan mencintai keluarga, negeri dan keyakinannya. Irem menganggap Dylan sebagai kunci keluar dari segala kekolotan kehidupannya di Turki. Terlebih setelah mengetahui keinginan ayahnya untuk kembali pulang ke desanya yang membosankan. Novel ini hendak menunjukkan bahwa tidak ada jawaban yang mudah bagi tiap individu, namun pada akhirnya sebuah keputusan tetap harus dibuat.

Apa yang paling saya sukai tentang novel ini adalah tiap-tiap karakter dirasa sangat ‘hidup’, mulai dari Sinan dan Irem, Marcus dan Dylan. Bahwa tidak ada yang betul-betul benar dan baik dan tak ada yang sepenuhnya jahat dan buruk. Masing-masing dihadapkan pada ketakutan, kegagalan, dan usaha mereka untuk memahami kehendak alam semesta. Semua abu-abu. Seperti saya. Seperti Anda.

Kisah ini berjalan cepat karena pembaca diajak mengikuti jejak Irem dan Sinan secara berganti-gantian. Jika Irem melakukan A, kira-kira apa yang dilakukan Sinan? Lalu jika Sinan memutuskan B, apakah reaksi Irem? ‘Kejar-kejaran’ antara ayah dan anak ini pun berakhir pada sesuatu yang memang tak terelakkan. Hingga akhir kisah, Drew tidak memihak pada satupun tokoh dalam novelnya. Ia memberi nafas pada mereka. Pada akhirnya, Drew mengembalikan kepada pembaca untuk merenungi babak-babak kehidupan yang telah tersaji di hadapan mereka dengan harapan dapat mengambil hikmahnya.

Setelah membaca tamat kisah yang mengharukan ini, saya mencari tahu lebih mengenai profil sang penulis. Dan wajar saja, selaku akademisi sastra, ia membuat novel ini sebagai pengganti thesisnya untuk meraih gelar Master of Arts. Terungkap sudah mengapa ditel-ditel budaya dan agama digambarkan dengan persisi, rupanya riset yang dilakukannya untuk novel ini bukan sembarang riset. Tambahan lagi, ini adalah novel pertama dari Alan Drew! Bravo!

Where The Wild Things Are


This is my personal drawing after seeing the movie.

Produksi : Warner Bros. Pictures
Dirilis : 15 January 2010
Sutradara : Spike Jonze
Pemain : Max Records, James Gandolfini, Mark Ruffalo
Durasi : 101 menit
Costumes : Jim Henson Creature Shop
Score : Karen O

Film yang diangkat dari buku cerita anak-anak karya Maurice Sendak berjudul sama, berkisah tentang Max seorang anak lelaki emosional yang memiliki daya imajinasi tinggi. Setelah mengalami beberapa insiden yang membuatnya dihukum tidak boleh makan malam oleh sang ibu, Max melarikan diri dari rumah. Begitu sadar, Max menemukan dirinya berada di sebuah negeri seberang lautan yang dihuni oleh monster-monster raksasa. Alih-alih memakannya seperti manusia-manusia yang sebelumnya berani menginjakkan kaki di hutan mereka, Max malah dinobatkan sebagai raja. Ia pun bersahabat dengan Carol, raksasa yang perangainya mirip dengan Max. Mereka sering berdiskusi, bermain dan bahkan bertengkar. Selain Carol, juga ada KW, Ira dan Alexander yang mengisi hari-hari Max di pelariannya tersebut.

Saya mendapat rekomendasi menonton film ini dari seorang teman lulusan ISI Yogyakarta. Ekspektasi saya akan film ini ada dua. Pertama, ini pasti film artsy yang sulit dipahami, mengingat yang menyarankannya adalah seorang pekerja seni. Kedua, saya mengira akan menikmati film sebangsa film Monster’s Inc. atau kartun anak-anak lainnya. Tapi di luar dugaan, WTWTA ini adalah film ‘coming of age’ yang gelap. Namun, gelapnya film ini justru menyembunyikan banyak pesan tentang persahabatan, pilihan, perceraian, bahkan kiamat.

Max Records, pemeran yang kebetulan memiliki nama yang sama dengan tokoh utamanya, menampilkan akting yang baik sekali. Adanya berbagai adegan di mana ia harus menggali ekspresi-ekspresi kompleks yang belum tentu bisa dilakukan oleh aktor-aktor yang lebih dewasa darinya. Seperti adegan ketika rumah salju yang dibanggakannya malah dihancurkan oleh teman sang kakak sambil bermaksud bercanda, wajah Max yang sangat marah dan kecewa mengingatkan saya akan suatu ketika di masa kecil saat kakak yang saya harapkan bakal membela saya, malah berpihak pada musuh saya. Sebuah perasaan marah dan kecewa di mana air mata dan kata-kata berebut keluar, dan di situ Records memerankannya dengan pas sekali.

Sebelum diangkat menjadi film, kisah klasik yang cukup pendek ini menyentuh hati banyak sekali pembaca, menyebabkan Spike Jonze ( Being John Malkovich, Jackass ) sangat berhati-hati dalam menggarapnnya. Ada satu adegan seru di mana para monster, Carol, KW, Ira, Alexander dengan Max bermain kejar-kejaran di padang pasir berbukit, yang meski kentara CGI-nya cukup membuat saya sebagai penonton berdebar-debar menyaksikan kegembiraan mereka yang ‘kasar’ layaknya monster.

Untuk seseorang yang belum pernah membaca buku ceritanya, saya mampu merasakan jerih payah dan ketelatenan Jonze dalam tiap-tiap adegan. Film ini semakin terasa istimewa karena dilengkapi soundtrack yang seru dan cocok untuk anak kecil pun anak dewasa seperti saya. :D

Sekedar supaya pembaca memperoleh feel dari film ini, sila dengar salah satu soundtracknya di sini sambil melihat cuplikan-cuplikan filmnya. Enjoy!

credits to Mas @hariprast for recommending this lovable film to me.

How I Met Your Mother

Title : How I Met Your Mother
Created by : Craig Thomas & Carter Bays
First Aired : September 19, 2005
Station : CBS
Actors : Josh Radnor as Ted Mosby; Cobie Smulders as Robin Scherbatsky; Jason Segel as Marshall Eriksen; Alyson Hannigan as Lily Aldrin; Neil Patrick Harris as Barney Stinson; Bob Saget.

Thank Heavens, we’re through being F.R.I.E.N.D.S.

While we were all mellow about the final season of Friends, little did we know that another New York gang was creeping up behind our backs and ready to take the place of Rachel, Ross, Joey, Phoebe, Chandler and (what’s her name?). MONICA! Sorry, Monica. Please don’t pelter me with a million cupcakes. I said I was sorry didn’t I? Sheesh, you fanatic fans. Get a life. Or get in bed with Gunther, for all I care.

Well, what I’m trying to say is enough with those old geezers already! *looks away from TV, Cougar Town is on*. Gain way for Ted Mosby!

I saw this sitcom for the first time around 2 years ago on StarWorld. The sitcom starts with what seems to be a modern looking family room where there were two teenagers, a boy and a girl sitting comfortably in a couch with indifferent looks on their faces. Then comes the voice over of their father (Bob Saget of Full House), “Kids |pause|, sometimes life kicks you in the– bla bla bla…” and the scene changes into a pub where 5 young professionals hang out.

It turns out that the two teenagers are the children of Ted Mosby, who is (still) telling the (already 6th season) story of how he met their mother, so the title of the sitcom goes. And we the innocent audience wait patiently season after season after season wondering, ‘Oh! Oh! I bet it’s this girl! It’s not? Then it must be Robin! It just HAS TO BE! Oh? Not Robin either? THEN WHO THE *(%&$&(#$&($@$ IS SHE?????’

Well folks, we’ll just have to wait until all them actors, directors, scriptwriters and crew have went on their trips around the world with the big-fat-checks they earned, get married on an obscure island in the Carribean, and adopt babies from Africa and Indonesia. THEN, we will know who the mother of Ted Mosby’s kids is (are?).

Well, apart from constantly sitting on the edge of our tikars, this sitcom has several perks that make it shine brighter than Friends. They got damn fresh ideas, such as implementing quick setting changes in one scene called Ted’s Two Minute Date. Or like this one episode where the 5 talk about each others’ dopplegangers was hilarious!! Bottom line, they’ve worked hard in improvising and upgrading us Friends fans to a higher level of silliness.

Fun Trivia!

♥While we’re still busy comparing, why not point out the similarities of the two sitcoms. Ted Mosby = Architect Professor vs Ross Geller = Palaentologist working for a museum. Joey Tribbiani = Player, Actor vs Barney Stinson = Player with a suit. Marshal + Lily vs Chandler + Monica and Robin the toned down version of Phoebe. Sorry Rachel, you were never really needed in Friends anyway [[IN MY ‘OH I KNOW YOU’LL HATE ME FOR IT’ OPINION]].

♥The whole story is loosely based on the friendship of it’s creators Bays and Thomas and his wife. Mrs. Thomas initially refused for her life to be protrayed on television, unless they could get Alyson Hannigan to do it. So they did!

DVD’s available at Ambass or other bootleg stalls near you. woops..

Serdadu Kumbang

Judul : Serdadu Kumbang (Apa Rungan* Negeri Kita? )
Produksi : Alenia Pictures, PT. Newmont Nusa Tenggara
Rilis : 16 Juni 2011
Pemeran : Yudi Miftahudin, Ririn Ekawati, Lukman Sardi, Putu Wijaya, Titi Sjuman, Asrul Dahlan
Sutradara : Ari Sihasale

“Dian, itu tuh anak yang filmnya Mama mau tonton. Sekarang bibirnya dioperasi, tadinya sumbing. Yuk kita ajak mbak-mbaknya (nonton) sekalian?” ajak ibuku sambil mengupas kentang kecil-kecil untuk rendang. Saya pun melirik televisi, sebuah acara pariwisata ke pelosok-pelosok Sumbawa yang dipandu oleh seorang anak kecil berwajah bahagia.
“Ini nih, ada sinopsisnya di majalah juga.” ibuku terlihat demikian antusias.
Akupun membaca sedikit garis besar kisah tentang persahabatan 3 bocah Sumbawa, Amek, Acan dan Umbe.

Keesokan harinya setelah tutup warung, saya, ibu dan salah satu pegawai kami berangkat ke Kelapa Gading. Ketika kami sampai di loket, film sudah dimulai dan jam tayang berikutnya masih lama. Akhirnya kami memilih masuk saja meski kehilangan beberapa menit awal cerita.

Film yang disutradarai oleh Ari Sihasale ini menurut saya cukup layak untuk dinikmati bersama keluarga di musim liburan anak sekolah. Bukan hanya karena didukung aktor dan aktris yang piawai, tapi juga karena banyak adegan lucu yang mampu membuat penonton tertawa-tawa, ditambah pesan-pesan moral yang bertebaran di sepanjang film. Akting Asrul Dahlan (Para Pencari Tuhan) sebagai Zakariah (Jack) seorang TKI juga ayah yang lama dirindukan kepulangannya oleh Amek, sangat ciamik!

Satu hal yang saya sayangkan dari film ini adalah banyaknya hal yang hendak ditampilkan sehingga benang merah kisah menjadi kurang tampak. Bahkan ada adegan yang menurut saya terpotong begitu saja tanpa ampun, ketika Papin (Kakek Ustadz) bertemu dengan Pak Alim (Lukman Sardi) di ruang Kepala Sekolah. ??? < 3 tanda ini disertai tiga huruf W, T & F muncul di atas kepala saya ketika itu.

Akhir kata, daripada menonton kuntilanak dan pocong kurang kerjaan + anak-anak muda yang 'salah jalan', film ini jelas lebih mendidik dan layak dipertimbangkan untuk mengisi liburan.

*) kabar

The Time Traveler’s Wife

Your Common Couple with A Huge Twist of Fate

Judul Film : The Time Traveler’s Wife
Sutradara : Robert Schwentke
Produksi : New Line Cinema
Pemeran : Eric Bana, Rachel McAdams, Ron Livingston
Rilis : August 2009

Adalah wajar jika seorang istri ditinggal pergi oleh suami untuk jangka waktu tertentu. Hal ini sudah berlangsung sejak jaman batu, sang suami pergi berburu sementara sang wanita menunggu di gua mengurus anak-anak. Yang tidak wajar adalah ketika sang suami bisa pergi menjelajah waktu kapan saja tanpa mampu membekali diri dengan sehelai benangpun.

Claire (Rachel McAdam) bertemu Henry (Eric Bana) untuk pertama kalinya di padang rumput tempat Claire senang mengasingkan diri. Saat itu usia Claire 6 tahun dan usia Henry di atas 40 tahun. Keadaan Henry yang telanjang bulat dan muncul begitu saja di hadapan Claire, memaksanya untuk menjelaskan perihal kelainan genetis yang ia derita (Chrono-impaired Deficiency). Claire kecil pun langsung percaya melihat Henry menghilang begitu saja ditelan udara, meninggalkan seonggok pakaian yang baru saja dipinjamnya dari Claire.

Memutuskan untuk menonton film dari buku yang pernah sangat kita nikmati adalah seperti menghadapkan diri pada dua pintu yang dari luar bentuknya sama, akan tetapi satu pintu menuju neraka dan satu pintu menuju surga. Mungkin analogi saya berlebihan, tapi coba saja baca novel ‘My Sister’s Keeper’ (Jodie Piccoult) lalu tonton filmnya. Itulah neraka. Wajar saja bila seorang penulis sekaliber Paulo Coelho menolak tegas karya-karyanya dituangkan dalam bentuk gulungan film. Dan adalah saya pembaca yang bisa tersenyum puas setelah menonton ‘Time Traveler’s Wife’ meski hanya mengangkat 1/3 dari jalinan cerita yang teramat ditel dari Audrey Niffenegger ini.

Sulit memang untuk tidak membanding-bandingkan novel dengan film. Namun, pembaca yang budiman harus bisa menempatkan ekspektasinya serendah mungkin agar tidak dikecewakan saat menyaksikan versi filmnya. Seperti dikatakan, versi film dari TTTW ini hanya memproyeksikan 1/3 saja dari kisah aslinya. Beruntung sekali sang penulis skenario Bruce Joel Rubin (Deep Impact, Stuart Little) mampu mengambil esensi kisah cinta rumit dan menyentuh Claire dan Henry ini. Adegan tambahan yang diselipkannya berupa pertemuan tak sengaja di atas kereta bawah tanah antara Henry dewasa dengan ibunya yang telah lama meninggal, sangat menunjang dalam menciptakan the feel of longing and the fear of losing juga melahirkan simpati penonton atas para tokoh.

Eric Bana memerankan Henry muda sekaligus Henry paruh baya dengan sangat rapih. Feature wajahnya yang keras, pas sekali untuk tokoh Henry yang harus berjuang bertahan hidup, karena tubuhnya bisa terpelanting ke masa yang berbeda kapan saja. Rachel McAdams berakting cukup baik terutama saat menggambarkan keputusasaan Claire dalam memperoleh keturunan bersama Henry dikarenakan bayi-bayi yang dikandungnya terus saja ‘lenyap’ dari rahimnya, karena memiliki gen Henry. Sayang sekali, beberapa tokoh sentral seperti Alba dan Gomez tampil dengan akting yang kurang menonjol. Sementara tokoh-tokoh tambahan seperti Dr. Kendrick (Stephen Tobolowski) dan Richard DeTamble (Arliss Howard) mampu mencuri layar dengan akting mereka yang meski singkat terasa padat. Secara keseluruhan, sutradara Robert Schwentke mampu memvisualisasikan adegan demi adegan dalam nuansa sephia sehingga penonton seperti saya, merasa seolah mengintip album foto kehidupan Claire dan Henry.

Mungkin film ‘The Time Traveler’s Wife’ ini tidak semeledak ‘Benjamin Button’ dan ‘Meet Joe Black’, serta kisah-kisah cinta ‘ajaib’ lainnya karena Henry tidak diperankan oleh Brad Pitt (*sarcasm*). Tetapi bagi pecinta novel aslinya hal itu tidak jadi masalah, sebab bagi kami film ini adalah rangkuman yang pas untuk dinikmati bila ingin mengulang kembali kisah cinta Claire dan Henry tanpa harus membaca 200 halaman lebih.

Bandage The Movie

Title : Bandage The Movie
Country : Japanese
Released : 2010
Directed : Shunji Iwai & Takeshi Kobayashi
Starring : Jin Akanishi, Kii Kitano, Ayumi Ito.

Okay, I have to admit. I’ve been quite a J-dorama addict lately. Whenever I finish with one series, I move on to searching for the next one to kill time and laze around with. Well, most of the time I use these dramas and or movies to accompany me while I do my handicrafts until late at night especially on the weekends. Some drama serials and movies were so-so. But some actors’ performances keep me craving for more. Then I find myself searching for other movies they’ve played in.

I’m a heterosexual girl, so of course my interests would be the likes of Jin Akanishi (Anego), Narimiya Hiroki (Yankee-kun to Megane-chan), and Satoshi Tsumabuki (Orange Days). If you’re not a jdorama fan, you might not have heard of these hot handsome young men. But if you are, come, come and lets worship them and pray for their growth in the entertainment biz not only in Japan but globally. For what other reasons than getting to see more and more of them in the future. *drools*

Jin Akanishi, who’s movie I’m about to review is well climbing up the international celebrity ladder. This former Kat-Tun boyband lead member (of Johny’s Entertainment), wrote in his US & World Twitter account, –yes, he owns two accounts. one for Japanese for his homeland fans and one for his international fans in which he tweets mostly in English– that he is currently in London filming Carl Erich Rinchs”47 Ronin’ with Keanu Reeves (hubba! hubba!) and Ms. Shibasaki Kou (Orange Days). He also just finished Yellow Gold Tour 3010 across the US for his solo album.

With such fan base, Shunji Iwai a talented young director (Love Letter, 1995) couldn’t have chosen a better lead role for his movie “Bandage” (2010). A movie set in 1990s Japan where indie bands had to enter festivals to be seen and hopefully hit it big. Akanishi co-stars with Kii Kitano (Halfway, 2008) who plays a your ordinary schoolgirl who gets tickets to see Akanishi’s Band, Bandage perform live and with the twist of sheer luck get backstage passes and even get invited to hang-out with the band afterwards. After which her teenage life will be changed forever.

Since this is a movie about the indie band scene, it would only be fair to present the audience with enjoyable catchy music, and for this Iwai was lucky to have Takeshi Kobayashi (New York, I Love You – 2009) to co-direct and compose the music for this flick. A self-titled single called Bandage, sung by Jin Akanishi hit the top of Japanese music charts following the release of the movie catching Akanishi’s fans with something called ‘Olympus Fever’. Akanishi’s deep raspy voice fit well with the moody character he plays, as Natsu the lead vocal of Lands the bands name.

Asako (Kitano) soon finds herself entangled in the ups and downs of Lands whose songs are rapidly touching the hearts of more and more fans. Asako also has a run-in with the no-nonsense band manager Yukari (Ayumi Ito) who thinks love interests will only wreck the band, but with a clever move by Natsu they soon become more like co-managers of the band. Things seem to be climbing uphill what with their single ‘Genki’ (Healthy) hitting number one, but soon become a blurr when two talented members, namely Yukiya the guitarist (Kengo Kora) and Arumi the arranger/keyboardist (Yuki Shibamoto) don’t seem satisfied with the catchy generic songs they seem to be producing and are considering offers from major labels, threatening the band to break up.

The movie is supposed to be set in the 1990s, you could see they’ve done quite a good job with the wardrobe and the setting. One thing that caught my eye was that they used the same apartement + garage as the movie “Akihabara Deep The Movie” (2006). And to increase the late 20th century feel, Iwai used both hand held camera and a fixed steady camera to shoot the scenes. Hand held for scenes in Natsu’s apartment, band rehearsals and backstage, while steady cameras were great for shooting the band during festivals to get their interaction with the audience.

As if trying to make an indie feel of the movie, the storyline is quite loose and gives the audience room for their own interpretation of the ending. Like most Japanese movies do.

So if you’re bored because none of the major summer blockbusters will be heading our way, it would do no harm to enjoy this flick on YouTube, here.

22-10-2010

—————————————————————–
Dear Diary,

How much more pain do I have to go through before my heart is forgiven? Will I ever find the man of my dreams? Literally, the man of my dreams. Instead of keep bumping into the men of my past whom have obviously moved on. Of course I couldn’t possibly be thinking that they’re living in some sort of limbo like I am. Searching helplessly for the man my dreams whom never let me see beyond his broad shoulders and the warmth of his hug.

So this is how one of the dream goes. It’s not a wet one. Chill. It was black and white though. I’m that cool to have a B&W dream. Yeah, cool I am. Cool people lose focus often too. Where were we? Oh, the dream. It was black and white, all the walls have just been splashed with a coat of white. The floors and furnitures were paint-proofed with old newspapers and white bed sheets. Obviously we were renovating our home. There was a ladder in the middle of the room. And this tall hunk of a man was stepping down from it. There I was, waiting for him with open arms and a big smile. I thought, A hug of a million cuddly Care Bears should feel like this. It felt so right. So warm. I had to let go to be able to see his face. But not realizing that it was only a dream, I didn’t feel the need to find out who he was. All I thought during the dream was, this man is my husband and I love him with all my body and soul. Until I woke up. And cried.

Ever since, I’ve been hugging men. Trying to find the one who’s hug feels the most like him. None of them give me precise warmth nor safety. Gemma once said, “Of course you won’t find him like that. The majority of guys who accept hugs from girls they’ve just met, are most likely to be wanting something else. Thus the energy you feel from them is lust instead of love.” She then pulls my chin so that she can look me in the eyes, “If he’s your man. He will come eventually. Just be the best you can be and the best thing for you will come along sooner or later. Insya Allah. Trust me. OK?” I tried to suck in a tear, but failed miserably and replied with a nod and a sob, “OK…”

But Rafa’s hugs were the closest.
——————————————————–

Leandra lalu menekan tombol Ctrl+Shift+C dan memasukkan tanggal hari itu sebelum menekan tombol Enter.

Tak Ada Kata Kebetulan. Yang Ada Skenario Tuhan.

“Bismillah.” gerak bibir Leandra saat menaiki Kopaja yang tak sepenuhnya berhenti untuk mengangkutnya. Leandra memandang sekeliling. Tempat duduknya terisi semua. Diperbaikinya posisi ransel yang sengaja digantungkan di depan untuk menghindari tangan-tangan copet. Di dalamnya, kamera yang dibelinya dengan menyisihkan honor memberi les privat melukis. Kamera yang kini jadi pewujud impiannya, memiliki hobi yang menghasilkan uang.

Kantong kertas besar berisi properti pemotretan dikempit di antara kedua betisnya karena kepanasan dan butuh dua tangan untuk menguncir rambut ikal tebalnya. Angin dari jendela Kopaja langsung menyapa tengkuknya. Nikmat. Leandra tersenyum, bersyukur atas rahmat kecil yang dirasakannya besar. Nafasnya jadi lega. Ia sudah bisa tersenyum tulus dan melupakan perlakuan mengesalkan dari kliennya seharian tadi. Setidaknya, balita yang menjadi model sangat kooperatif dan tak sekalipun menangis sepanjang sesi foto.

Flier penawaran kartu kredit yang tanpa sadar digenggamnya sedari tadi, dipakai untuk berkipas sambil mengamati orang-orang satu Kopaja dengannya. Rata-rata pegawai kantoran dengan wajah letih dan jutek.

“Mbak ini ramah ya? Ngga kayak kebanyakan cewek yang saya angkut. Mukanya seperti terlahir kusut, cemberuuuut terus.” komentar supir angkot pada Leandra suatu kali.
“Ah, pasti mbak-mbak itu wajahnya cantik. Lah saya? Mana mungkin saya cemberut, wajah pas-pasan begini? Kalau manyun nanti makin kasihan yang ngeliat dong, bang. Makanya, abang harus sering-sering senyum juga.” canda Leandra bermaksud meledek supir angkot tersebut.
“Maksud mbak?” di kaca spion, alisnya yang tebal mirip ulat bulu sedang berciuman.
“Hehe, kiri bang!” Leandra buru-buru memberi ongkos dan melompat turun.

Leandra kembali senyum-senyum sendiri. Beberapa mata mulai meliriknya sinis dan curiga Leandra setengah gila. Leandra cuek dan asik kipas-kipas, sampai matanya bertemu dengan sepasang mata yang amat dikenalnya. Duduk di deret bangku belakang, tak sampai semeter jarak darinya.

“Leandra?” tegur pemilik mata coklat itu hati-hati.
Leandra tersenyum.
“Rafa?”
“Iya! Apa kabar lo?” Rafa mengulurkan tangannya.
“Baik!” jawab Leandra berusaha menyamai antusiasme Rafa.
“Eh, kenalin nih. Tetha, pacar gue.”
“Hai, gue Leandra. Temen kampus Rafa dulu.”
“Tetha.” wajah melankolis itu tersenyum sopan sambil menjabat tangan Leandra. Cincin mereka beradu.
“Eh? Pacar apa tunangan nih atau jangan-jangan mantan pacar?” goda Leandra saat melihat lingkaran emas di jari manis Tetha.
Rafa tertawa. Tetha meliriknya sambil tersenyum malu-malu.
“Doain aja ya.” hidung Rafa kembang-kempis. Seperti dulu, kalau lagi GR, selalu begitu.
Leandra terkekeh.
“Iya, gue doain tapi jangan lupa undangannya ya?”
“Sip. Eh, ID YM lo masih yang lama kan?”
“Masih. Lo pake BB ngga, ntar PMin gue pin lo.”
“Sorry, Ndra. Gue pakenya iPhone.”
“Yaudah, iPhone bisa YM-an kan?”
“Bisa.”

“Karet! Karet!” teriakan kondektur segera disahut Leandra, “Karet Bang. Eh, Fa, gue duluan ya. Mau mampir ke Ambass bentar.”
“Sek, biar gue tebak, pasti mau borong DVD serial Jepang kan?”
“Hahaha.. Am I that obvious?” jawab Leandra sambil tertawa geli sambil melangkah turun.
“Not obvious! You just haven’t changed!”
“Yeah! Why should I?” teriak Leandra sambil berbalik melambai pada Rafa dan Tetha.

Beberapa pengendara motor dengan kesal memencet klakson, memaksa Leandra minggir. Leandra memeletkan lidah sambil membopong barang bawaannya. Sesampainya di bawah tangga jembatan Transjakarta, Leandra disambut tukang-tukang ojek yang mangkal. “Ojek, neng?” Leandra menggeleng. Ia butuh tempat bersandar, bukan ojek.

Lutut Leandra terasa lemas. Untuk beberapa saat, ia berdiri di situ mengatur nafas. Rafa. Bukankah dia sedang mengambil S2 di Melbourne? Tetha calonnya, tidak terlalu cantik tetapi lembut dan kalem. Jauh sekali dari seorang Leandra yang tidak bisa diam, yang 5 hari dalam seminggu rambutnya akan bau asem, meski setiap sore atau malam dikeramas.

Berbagai kenangan yang dilaluinya bersama Rafa di Jogja mendadak tayang di kepala Leandra. Hal-hal seru yang pernah diceritakan pada keluarga dan sahabat terdekatnya pula hal-hal saru yang hanya diketahui oleh dirinya dan Rafa.

Sebuah Kopaja mendekat. Nomornya sama dengan yang tadi Leandra naiki. Arahnya juga. Yang ini menawarkan Leandra tempat duduk di pojok belakang.

Bald Eagle

@gegegemma : #ironis itu, punya nama Elang dan jidat yang melebar sebelum waktunya.
@elangsipatuelang : kebaca, nyeeett! RT @gegegemma : #ironis itu, punya nama Elang dan jidat yang melebar sebelum waktunya.
@gegegemma : *kabuuuuuuuurrrr*

Padahal monyet kecil itu tak perlu kabur ke mana-mana. Ia cukup diam di kamarnya di Jakarta dan aku yang di Florida harus menunggu lebaran baru bisa mengacak-acak rambut pendeknya. Naksir sepupu sendiri adalah hal yang lumrah terang dosenku waktu masih undergrad dulu. Apalagi kalau keluarga keduanya kerap menghabiskan waktu bersama. Nyaris tak ada musim liburan yang tak dihabiskannya di rumahku. Namun entah kapan ia mulai terlihat berbeda, bukan lagi si cengeng Gemma. Hingga berakhir pada keputusanku ini, yakni kuliah jauh darinya.

Adam Arjuno

Kulipat sarung dan sajadah, lalu kusangkutkan peci lusuhku pada paku di balik pintu. Kukenakan celana basket Miami Heat lungsuran Mas Bimo, kaos Hard Rock Manila dari Mas Zia dan sepasang sendal jepit Swallow hijau yang kubeli sendiri. Segera kumulai tugas-tugasku. Menyiram dan merapihkan kebun kemudian mencuci keempat mobil milik keluarga Hardadi. Yang terakhir kucuci pagi ini adalah mobil Yaris merah milik Nyonya dan Nona. Pagi ini, di kursi kemudi kutemukan secarik kertas bertuliskan “I Love You” yang diketik. Pengirimnya bisa siapa saja. Tapi aku sungguh berharap yang mengetiknya adalah Aminah, pembantu yang lebih dulu bekerja di sini. Yang dengan sabar dan telaten mengajariku di hari-hari pertamaku bekerja. Sayang, Aminah buta huruf.