Your Common Couple with A Huge Twist of Fate
Judul Film : The Time Traveler’s Wife
Sutradara : Robert Schwentke
Produksi : New Line Cinema
Pemeran : Eric Bana, Rachel McAdams, Ron Livingston
Rilis : August 2009
Adalah wajar jika seorang istri ditinggal pergi oleh suami untuk jangka waktu tertentu. Hal ini sudah berlangsung sejak jaman batu, sang suami pergi berburu sementara sang wanita menunggu di gua mengurus anak-anak. Yang tidak wajar adalah ketika sang suami bisa pergi menjelajah waktu kapan saja tanpa mampu membekali diri dengan sehelai benangpun.
Claire (Rachel McAdam) bertemu Henry (Eric Bana) untuk pertama kalinya di padang rumput tempat Claire senang mengasingkan diri. Saat itu usia Claire 6 tahun dan usia Henry di atas 40 tahun. Keadaan Henry yang telanjang bulat dan muncul begitu saja di hadapan Claire, memaksanya untuk menjelaskan perihal kelainan genetis yang ia derita (Chrono-impaired Deficiency). Claire kecil pun langsung percaya melihat Henry menghilang begitu saja ditelan udara, meninggalkan seonggok pakaian yang baru saja dipinjamnya dari Claire.
Memutuskan untuk menonton film dari buku yang pernah sangat kita nikmati adalah seperti menghadapkan diri pada dua pintu yang dari luar bentuknya sama, akan tetapi satu pintu menuju neraka dan satu pintu menuju surga. Mungkin analogi saya berlebihan, tapi coba saja baca novel ‘My Sister’s Keeper’ (Jodie Piccoult) lalu tonton filmnya. Itulah neraka. Wajar saja bila seorang penulis sekaliber Paulo Coelho menolak tegas karya-karyanya dituangkan dalam bentuk gulungan film. Dan adalah saya pembaca yang bisa tersenyum puas setelah menonton ‘Time Traveler’s Wife’ meski hanya mengangkat 1/3 dari jalinan cerita yang teramat ditel dari Audrey Niffenegger ini.
Sulit memang untuk tidak membanding-bandingkan novel dengan film. Namun, pembaca yang budiman harus bisa menempatkan ekspektasinya serendah mungkin agar tidak dikecewakan saat menyaksikan versi filmnya. Seperti dikatakan, versi film dari TTTW ini hanya memproyeksikan 1/3 saja dari kisah aslinya. Beruntung sekali sang penulis skenario Bruce Joel Rubin (Deep Impact, Stuart Little) mampu mengambil esensi kisah cinta rumit dan menyentuh Claire dan Henry ini. Adegan tambahan yang diselipkannya berupa pertemuan tak sengaja di atas kereta bawah tanah antara Henry dewasa dengan ibunya yang telah lama meninggal, sangat menunjang dalam menciptakan the feel of longing and the fear of losing juga melahirkan simpati penonton atas para tokoh.
Eric Bana memerankan Henry muda sekaligus Henry paruh baya dengan sangat rapih. Feature wajahnya yang keras, pas sekali untuk tokoh Henry yang harus berjuang bertahan hidup, karena tubuhnya bisa terpelanting ke masa yang berbeda kapan saja. Rachel McAdams berakting cukup baik terutama saat menggambarkan keputusasaan Claire dalam memperoleh keturunan bersama Henry dikarenakan bayi-bayi yang dikandungnya terus saja ‘lenyap’ dari rahimnya, karena memiliki gen Henry. Sayang sekali, beberapa tokoh sentral seperti Alba dan Gomez tampil dengan akting yang kurang menonjol. Sementara tokoh-tokoh tambahan seperti Dr. Kendrick (Stephen Tobolowski) dan Richard DeTamble (Arliss Howard) mampu mencuri layar dengan akting mereka yang meski singkat terasa padat. Secara keseluruhan, sutradara Robert Schwentke mampu memvisualisasikan adegan demi adegan dalam nuansa sephia sehingga penonton seperti saya, merasa seolah mengintip album foto kehidupan Claire dan Henry.
Mungkin film ‘The Time Traveler’s Wife’ ini tidak semeledak ‘Benjamin Button’ dan ‘Meet Joe Black’, serta kisah-kisah cinta ‘ajaib’ lainnya karena Henry tidak diperankan oleh Brad Pitt (*sarcasm*). Tetapi bagi pecinta novel aslinya hal itu tidak jadi masalah, sebab bagi kami film ini adalah rangkuman yang pas untuk dinikmati bila ingin mengulang kembali kisah cinta Claire dan Henry tanpa harus membaca 200 halaman lebih.
Jujur aku bingung waktu nonton film nya. Gag semenarik Benjamin Button sih. Mungkin faktor adaptasi dari buku kali yaa. Itu juga yg terjadi dg film Harry Potter.
yup..
Hm… Tia selalu merasa film ini outstanding, mungkin karena belum baca novelnya ya… Jadi malah pengen baca terus nonton lagi :) thanks uni!
Bacalah.. It’s wonderful!
Gw juga udah nonton film ini.. adegan di padang ilalang itu emang kuncinya.. film yang ceritanya gak biasa gini yang gue suka.
yup! yup! ;D *koprols in the meadow*
Depressing. nonton film ini tuh kaya mau bunuh diri! bayangin aja kalao punya suami yang suka ngilang sendiri without a clue. tapi enaknya, walaupun udah mati, si Time Traveler bisa muncul lagi di sirkum waktu yang abstrak. jenguk istri. ah, romantis…
*spoiler alert* hihihi.. thanks for stopping by! :D