Sekar Arum Ndalu

Letih adalah selaput keringat yang melekat pada kulit. Mengasam dan mematikan. Jarak duabelas kilometer yang ditempuh dalam dua jam adalah imbalan yang diminta oleh induk dari kota-kota di Indonesia. Setiap harinya aku bisa menamatkan sebuah film layar lebar pada DVD player kecil mobilku.

Setelah mengacak-acak seluruh kompartmen yang ada dalam jangkauan, yang kutemukan hanya DVD-DVD komedi romantis kesukaannya. Film-film ringan yang tak menuntutmu merenung. Tentang pecundang-pecundang yang jumpalitan berusaha meraih cinta. Wajah Adam Sandler, Drew Barrymore, John Cusack, Jude Law, Cameron Diaz. Kebanyakan kisah-kisah berlatar natal dan selalu bertempat di New York. New York yang dalam ingatanku bising dan bau pesing. Kuraba codet di pelipis kiriku, hadiah dari rampok kulit putih, pecandu narkotika yang sedang nagih. 3 jahitan saja. Mereka bilang, bisa hidup di Jakarta, bisa bertahan hidup di kota mana saja di dunia.

‘Buk!’ spion kanan mobil disenggol lagi oleh motor yang memaksa menyelip di celah-celah sempit. Impuls normal adalah menurunkan jendela dan meneriaki idiot tersebut. Reaksi normal orang Jakarta adalah misuh-misuh dan menekan klakson panjang-panjang. Kubiarkan.

Kusimpan kembali DVD-DVD miliknya. Kali ini dengan rapih dan urut tahun rilis. Toh aku punya banyak waktu untuk dibuang di perjalanan pulang. Apartemen kami seperti bulan, kelihatan, tapi butuh waktu dan energi untuk sampai di sana. Menyetel TV hanya akan menambah pusing. Layar tak pernah betul-betul lurus, bunyi keresek-keresek, dan dipenuhi semut-semut yang cuek berpesta. Kucek DVD yang ada di dalam dengan menekan tombol play. Tertulis, ‘Grey Day – Morgen is Abend’ dan mengalunlah lagu jazzy yang hanya dia yang mengerti. Ini mesti mixed DVD yang dibuatnya saat tak ada kerja di rumah. Rumah. Semoga tak berantakan, batinku. Kulirik jam di display, 20.13. Perutku mengeluh lapar. Masak apakah dia? Masakkah? Aku terlalu malas menelponnya. Terbayang lesehan Bu Gendut, lauk pauk terhampar dan ramai orang kantoran yang duduk lesehan menikmati santap malam. Dibandingkan makanan ‘sehat’ yang belakangan rajin ia siapkan, sate jeroan bagi lidahku sepertinya lebih menjanjikan.

Kaca mobil sebelah kiri tiba-tiba diketok. Jantungku hampir tanggal melihat senyum lebarnya. Buru-buru kutekan tombol untuk menurunkan jendela.
“Surprise!” teriaknya riang.
“Surprise?! Kamu gila ya?” reaksi awalku selalu marah tiap mendapatkan kejutan-kejutan gilanya. Terlebih karena ia nekad membonceng foto kopi dirinya di atas sepeda ‘tempur’ kesayangan kami. Aku hanya bisa beristighfar setelah itu.
“Papa!” senyum dari duplikat kecilnya tak kalah lebar.
“Tunggu di Bu Gendut!” ucapku tegas dengan rahang yang kubuat terlihat keras. Kututup jendela.
Kulihat bibirnya bergerak mengatakan sesuatu pada si kecil, keduanya tertawa. Dua helm dengan lampu merah berkelap-kelip itu bergerak maju melewati kemacetan dengan mudahnya untuk belok kiri di gerbang sepuluh meter kemudian.

“Kamu tahu ini jam berapa? Apa sih yang ada di pikiranmu?” laparku sirna.
“Habisnya bosen di rumah. Ya kan, Sekar?”
Sekar yang sudah asik dengan bubur sumsum dan biji salak kesukaannya, dengan sigap mengangguk. Kubantu melepaskan helmnya.
“Jangan jadikan anak sebagai tameng. Kamu tahu ini jam berapa? Kalau Sekar masuk angin gimana? Kalau kalian kesenggol motor gimana? Kamu tuh kadang kok kayaknya ngga mikir ya? Sengaja mau bikin aku marah ya?”
Ia tak menjawabku. Malahan, ia menarik Sekar untuk duduk di pangkuannya, membisikkan sesuatu dan Sekar mengangguk.

“Aku jawab satu-satu ya, Pak Inspektur.” jawabnya sambil mencopot helmnya. Rambutnya tumpah, membentuk gelombang-gelombang yang buatku tersandung cinta berkali-kali. Dalam hati aku mengumpat, rupanya permainannya malam ini baru dimulai. Kugigit bibirku memaksa diri untuk tidak luluh.
“Ini jam 20.30. Setengah sembilan malam. Waktu bobo untuk anak 5 tahun. Aku sudah memberi makan anakmu, membalurinya dengan minyak telon dan membungkusnya dengan baik untuk perjalanan malam ini. Insya Allah, ngga kesenggol motor karena saya, eh kami bersepeda dengan hati-hati. Kan udah dibikinin jalurnya sama Jokowi. Maka untuk menjawab pertanyaan keempat, aku mikir kok. Wek. Dan kalau kamu marah, ya itu urusanmu. Aku sama Sekar cuma mau kasih kejutan. Toh, Sekar sudah besar. Sudah 5 tahun kan, Sayang.” ucapnya mengelus kepala gadis kecilku.

Sekar mengenakan jaket tebal, topi rajut bikinan ibunya, sepasang celana jins yang mulai menggantung, dan kaus kaki miki. Ia masih asik menggali-gali biji salak dalam gelas plastiknya.
Dan aku pun tersadar akan ketololanku.

Ini tanggal 23 Januari, 5 tahun yang lalu jam segini, di atas ‘sepeda tempur’ aku ngebut menyusul istriku yang kabarnya baru saja diantarkan ke rumah bersalin terdekat.

We are part of the universe that has developed a remarkable ability: we can hold an image of the world in our minds. We are matter contemplating itself.

~ Sean Carroll (via solsetur)