24 Jam Bersama Gaspar, (mungkin) sebuwa resensi.


Maafkan, perusakan ejaan pada judul. Saya hanya mencoba mengikuti tren selebcuit yang suka merusak ejaan agar terlihat imut (mungkin). Terus terang, saya hampir tak pernah membeli buku karena anjuran orang lain. Tapi orang ini pula yang menyampaikan desas-desus kalau novel karya Sabda Armandio Alif ini akan dijadikan film oleh Quentin Tarantino, sang beliau yang ahli menyajikan gore yang gaya.

Singkat cerita, terbelilah buku yang cukup tebal (226 halaman) dengan font agak besar, yang di luar dugaan bisa saya rampungkan dalam waktu kurang dari sebulan. Sebuah, eh maksud saya, sebuwa prestasi untuk orang yang super sibuk (baca: main SMULE) seperti saya ini.

Dibuka dengan kata pengantar yang menurut saya ‘baru’ dan cukup nyentrik namun berhasil menggelar karpet agar para pembaca sekiranya siap menghadapi halaman-halaman selanjutnya. Pengantar yang dibuat sedemikian rupa seolah kita akan didongengkan kronologi chaos seperti tragedi-tragedi yang pernah menimpa bangsa, seperti G 30 S PKI, Kerusuhan 27 Juli, Mei ’98 dst. Diimplikasikan pula dengan periode waktu di judul “24 Jam”.

Ceritanya pembaca diajak menyimak interogasi seorang penyidik terhadap salah satu tokoh yang terlibat dalam sebuah perampokan yang berbuntut pada kematian seseorang. Dengan gaya sinema, kita dibawa keluar masuk adegan saksi diinterogasi.  Di mana gambar saksi dan penyidik hilang berganti tokoh-tokoh yang mereka bicarakan, yang langsung muncul di dalam layar, merekonstruksi kejadian demi kejadian.

Pembaca dikenalkan pada tokoh-tokoh dengan nama samaran yang nyeleneh-nyeleneh mulai dari Njet, Agnes, Pingi dan Pongo sampai ‘Rahasia’. Bayangkan kalau seorang penyidik menyuruhmu menyebutkan nama ketua komplotanmu, sedang kamu cuma tahu kalau panggilannya ‘Rahasia’. KZL, bukan?

Itulah esensi dari novel ini. Bikin kesel tapi bikin ketawa juga, macam teman dekat yang ngga boleh dekat-dekat amat kalau tak ingin kamu bonyokkan kepalanya pakai batu bata. Penggambaran tokoh, interaksi antar tokoh yang terasa hidup, joke-joke receh dan yang agak mahal sekalipun, membuat buku ini enak dibaca.

Tapi balik ke desas-desus soal Quentin di awal tadi yang jadi penyebab buku ini terbeli, kiranya penulis harus berterima kasih pada pembuat artikel berita abal-abal ini. Yang aku tunggu-tunggu sebagai penonton ‘beberapa’ film Quentin, yakni aksi yang gore, nyaris nol. Atau nothing notable, action-wise. Padahal ya, tokohnya si Gaspar ini gambarannya udah ‘ngeri’ abis. Akan tetapi blas tidak ada adegan berantem yang sadis, tidak ada lawan menakutkan ala Mad Dog. Sehingga, ketika sampai pada halaman terakhir, rasanya ingin merampas Koka dan menembak kepala penulisnya agar isi kepalanya yang berantakan dikasih makan ke Jin Citah yang bersemayam dalam bodi Cortazar.

Hmm.. Mungkin bukan Quentin Tarantino yang dimaksud, tapi Quentin Tarantula, sutradara film-film Saskia Gotik dan Aoi Sora. Ya keles.

Sekian dan terima cash.