[Berani Cerita #07] Si Pendiam yang Aneh

Mereka bilang diam itu emas. Bagiku diam itu perunggu. Bukan dalam artian diamku tak lebih bernilai dari diam yang lain. Diamku adalah diamnya para filsuf, yang bisa jadi jauh lebih bernilai dari emas. Sejak penciptaanku seratus lebih tahun yang lalu aku diam. Mempertanyakan segala sesuatu. Mengapa bumi berputar? Mengapa bulan kadang putih, kadang jingga, kadang merah jambu? Mengapa matahari bersinar? Mengapa yang lain bisa lalu-lalang lenggak-lenggok bergegas ke suatu tempat? Apa yang membuat mereka tergesa? Hendak kemanakah mereka? Apa yang akan mereka kerjakan setibanya di mana? Apa yang mereka pikirkan tentangku? Tidakkah mereka merasa heran melihat sosokku yang telanjang di tengah-tengah taman?

Pernah suatu malam di musim semi, saat hembusan angin masih membawa sisa dingin musim sebelumnya dan saya masih duduk diam dalam keadaan telanjang. Malam itu, saya masih berfikir mencari jawaban dari ratusan bahkan ribuan pertanyaan yang mengantri di benak sejak saya mulai duduk di sini. Tiba-tiba saja, seekor anjing menghampiri lalu mengencingi batu marmer yang kududuki. Alih-alih mengusir anjing tersebut aku diam. Tindakan anjing itu justru membuatku dirubung pertanyaan-pertanyaan baru. Mengapa anjing itu memilih marmerku sebagai tempat melepas hajat? Mengapa tidak pohon Sakura di seberang jalan sana atau memilih salah satu batu di Ueno Zoo? Tidakkah ia melihatku duduk bertopang dagu di atas marmer itu?
Akibatnya, aku terus berfikir tentang si anjing kurang ajar sampai fajar.

Untuk seorang pemikir sepertiku, tak satupun hasil pemikiranku sampai pada orang lain. Bukan berarti aku sombong, pelit atau ingin menyimpan jerih payah otakku untuk diriku sendiri, bukan. Aku memang tidak bisa. Seluruh tubuhku, dirancang hanya untuk duduk berpikir. Berpikir keras akan segala sesuatu yang tidak seorangpun akan tahu. Yah, mereka bisa saja menerka-nerka, tapi ketahuilah sampai kiamat tiba takkan ada yang tahu apa yang setiap hari kupikirkan duduk telanjang di taman halaman museum ini.

Bagaimana pikiran mampu menguasaiku sampai kotoran burung mendarat di kepala yang sedang kupakai berpikir ini tak sedikitpun terasa mengganggu? Hmm, barangkali baunya sedikit mengganggu. Oh, dan tentu kalian pasti tahu persis kalau selanjutnya kepalaku yang berhias kotoran burung akan dipenuhi pertanyaan tentang burung. Bagaimana mereka bisa terbang? Seperti apa pemandangan yang mereka lihat dari atas langit sana? Akan tetapi karena pikiranku hanya untukku aku dan tak ada pembanding, aku tak tahu apakah yang kusimpulkan sudah betul? Aku hanya bisa duduk, berpikir dan menunggu kalau-kalau alam di sekitarku memberi petunjuk untuk menjawab rombongan pertanyaan yang tak sabar dan bertamu tak kenal waktu.

Aku bersyukur. Meski banyak berpikir tak sedikitpun rambutku menipis. Wajahku tetap ganteng. Kelewat serius tapi tetap saja tampan. Tubuhku tak pernah menua. Barangkali senam otak yang kulakukan setiap detik tanpa berkedip tanpa istirahat berguna juga untuk pembentukan otot-ototku yang keras seperti batu.

Pada akhirnya aku sampai pada pertanyaan yang paling jahat, paling rewel dan paling mengganggu. Dan kurasa ia adalah pertanyaan yang paling kritis dari seluruh pertanyaan yang diajukan benak manusia-manusia yang menyerupaiku itu. Siapakah Aku?

“Every dreamer knows that it is entirely possible to be homesick for a place you’ve never been, perhaps more homesick than for familiar ground.”

~ Judith Thurman