Vanilla by The Body Shop

Surat dari Jakarta. LDR tak terlalu menyiksa. Jika memang jodoh, kamu tahu bahwa jauh-dekat sama saja. Barangkali memang demikian, jika tangan Tuhan sudah berperan. Tak ada perasaan yang perlu dipaksakan. Tak seperti nasi yang dengan kuah sup jadi lebih mudah ditelan.

Kertas surat yang ia pakai masih sama dengan beberapa surat sebelumnya: stationery Charlie Brown dan kawan-kawannya yang berwarna kecoklatan. Suratnya kali ini kelewat ringan. Kutukar sepatuku dengan selop rumah yang disediakan Oya-san.

Pemanas ruangan terpasang pada volume puncak. Jemariku mulai kesemutan, tandanya darah kembali menemukan rutenya. Sapporo dingin luar biasa.

Kuturuti kalimat yang tepatnya merupakan aturan pakai kertas suratnya yang wangi. Akupun tertidur sambil bermimpi kencan dengannya di toko roti.

Beyond T Minus 10 Seconds

“T-Minus 10 seconds.” suara Mr. Hartz terdengar begitu dekat di telinga meski tak ada sosoknya. Baju luar angkasa ini 10 kali lipat berat badanku. Tanpa pendidikan apapun. Boro-boro sekolah di perguruan tinggi, duduk di bangku TK saja tidak pernah. Entah apa alasan mereka mendudukkanku di kokpit pesawat ulang – alik ini?
Aku tak kuasa menentang. Tak ada kuasa hukum yang mau membela hak-hakku. Berbagai tes dilakukan terhadapku. Kebanyakan tes fisik. Aku dibuat muntah belasan kali. Berat badanku susut jauh sekali.
“5, 4, 3, 2, 1! Lift off!”
Tiba-tiba, pesawat yang kunaiki lepas landas. Melewati burung-burung yang suka kukejar di taman kota. Meninggalkan Gilbert majikanku yang buta tapi jago masak menuju Bulan yang tak acuh setiap kupanggil dengan lolongan.

Kota Sebelah

Kata mereka tidak ada kebocoran, baik pada tabung-tabung reaktor maupun pada mesin pengolah limbah. Kata mereka warga sekitar tak perlu khawatir apalagi sampai harus mengungsi. Aku percaya saja, toh mereka orang sekolah. Pakar nuklir. Aku seorang petani. Lebih paham bahasa tanaman padi. Tak pernah mengenyam pendidikan tinggi.

“Dijual saja, Pak, tanahnya. Tak ada yang maulah beli beras yang tumbuh di dekat pabrik nuklir.” bujuk Sipah istriku yang sepertinya ingin menyusul teman-temannya yang pindah ke kota sebelah.

“Terus kita tinggal di mana, Pah?” tanyaku sambil mencungkil sisa makan siang dari sela gigi.

“Di kota sebelah… “ usul Sipah sesuai dugaanku.

“Tapi, Pah. Di kota sebelah tak perlu penerangan. Sebab warganya bisa berpendar.”

Fajar Utama di Kala Senja

Kereta berhenti di tengah-tengah sawah. Kulirik jam, masih 17.07. Di hadapanku, Henry menggeliat. Terbangun oleh matahari senja yang mendarat tepat di mukanya. Aku menendangnya pelan sambil menyuruhnya bangun. Matanya memicing, mencicil kadar cahaya agar tak terlalu menyakitkan.
“Sampai mana?” kubaca gerak bibirnya. Suara Morrissey yang kudengar menelan suaranya bulat-bulat. Menjawabnya aku hanya mengangkat bahu.
Ia melengos kesal, diambilnya topi dan kacamata hitam dari kantong samping ranselnya. Dikenakannya, lalu ia kembali bersidekap dan menekuk dagunya ke dada. Kembali tidur.

Pelan-pelan, untuknya kunyanyikan lagu yang bermain di telingaku.

“If a double decker bus, crashes in to us, to die by your side, is such a heavenly way to die.”

Di hadapanku bibirnya melengkungkan senyum.

Baju Cinderella

“Mama!” suara cemprengnya memecah hening.
Kupalingkan wajah dari adonan pancake, mencari asal suaranya.
Begitu menemukannya, spatula yang kugenggam terlepas begitu saja. Cipratan adonan pada kaki piyama tak terhindarkan.
“Keisha? Kenapa pakai baju Mama, Nak?” aku sengaja menggunakan kata baju, bukannya lingerie.
“Baju Mama ya? Keisha kila baju Cindelela.” sahutnya lugu.
Kepanikanku buntu ketika kulihat wajah suamiku melongok dari balik kusen pintu.
Tatapanku mungkin terlalu memelas, suamiku menahan tawa sampai perutnya mulas.
Setelah puas, a lalu merengkuh Upik Abu kecilku dan dalam sekejap berhasil membujuknya untuk mengembalikan ‘bajuku’ dengan iming-iming baju peri lengkap dengan sayap kupu-kupu.
Tak luput ia melempar kedipan genit ke arahku yang masih saja terpaku dengan adonan pancake di depanku.

Gadis Tanpa Kerudung

Kepala-kepala berkerudung itu tak ada bedanya dengan anjing-anjing yang mereka najisi.
Sebab seperti itu mereka menatapku siang ini dan kemarinnya lagi.
Aku yang kegerahan, karena belum terbiasa berkerudung, berharap pada sejuk pendingin ruangan bersekat ini. Tapi yang kudapat hanya kudapan biji-biji mata penuh benci dan jijik.

Aku ke sini hanya hendak melaksanakan ibadah tengah hari.

Semua mendadak memasang kembali kerudung mereka. Kecuali dia, yang memang kutahu tak berjilbab.
Rambutnya lurus dan panjang. Dengan tenang ia menghampiriku sambil mengembangkan mukenah biru langitnya.

“Mau sholat Dzuhur juga?” tanyanya lembut.
Aku hanya bisa mengangguk.
“Kamu yang jadi imamnya ya?” usulnya dengan senyum sesejuk wudhlu.

Tak ada yang membaca qamat.
Ketika kulirik, makmumku ada empat.

Sosial.

“Selamat Pagi, epribadiiii!” aku merasa lucu memainkan bahasa asing seperti itu. Padahal Ayah paling anti melihat kesalahan dalam berbahasa apalagi yang disengaja.

Itu status Facebook ku lima menit yang lalu. Kurang sreg kuhapus dan kuedit dengan sesuatu yang durasinya bisa lebih lama, “Selamat berakhir pekan, semaunya!”
Puas dengan status itu aku ke laman home, sekadar stalking sekaligus blogwalking.

Kusapa pacar dan teman-teman lewat Twitter sambil membahas hendak kongkow ke mana lagi hari ini.

Kulirik jam sudah pukul 10 pagi dan aku belum mandi. Menginjakkan kaki ke luar kamar juga belum. Tapi kok rasanya lapar?
“Bunda?” panggilku manja sambil berlari-lari kecil menuruni tangga. “Bunda masak a–”
Di dasar tangga, Bunda tergeletak tak bernyawa.

Single Mama

Di depan gerbang sekolah, kusambut Divya yang menghambur ke arahku.

“Hari ini Sasya ulang tahun! Kami makan Burger! Enak deh Ma! Burger itu dibikinnya dari daging kan, Ma? Daging itu sapi kan, Ma? Salman dibelikan burger yang daging ayam, karena Salman agamanya Hindu, ngga boleh makan sapi. Mama Islam kan, Ma? Mama kenapa ngga makan daging?”

“Mama vegetarian. Mama tidak makan daging-dagingan.”jawabku setelah mengambil tas punggung dan menggandeng tangannya.
“Kenapa?”
“Nanti Mama jelaskan kalau Divya sudah besar. Kalau mau cepat besar, makannya apa?”
“Empat sehat, lima sempurna!”
Divya tersentak,“Divya tahu kenapa Mama vegetarian! Pasti karena Mama sudah besar!”dengan mata memicing jenaka ia menunjukku.
“Betul sekali.”jawabku kembali berbohong demi tumbuh kembang kembangku.

KTP

‘Lho, ini ngga salah?’ gumamku. Kuperhatikan baik-baik kartu identitas yang tadi diklip rapih pada berkas lamaran. KTP Asli. Satu poin negatif, Te-Le-Dor. Fotonya sih cantik, tapi aku sudah terlatih untuk tidak terkecoh oleh foto. Terlalu banyak bohongnya. Filter ini-itu. Crop di sini-situ. Putihin dikit, hilangin jerawatnya dikit. Saya lebih percaya sama Surat Izin Mengemudi, foto di situ biasanya lebih jujur.

Namanya cukup cantik, Kirana Karenina. Tinggal di daerah Meruya. Usianya baru 22 tahun. Status perkawinan. Nah, ini yang penting! ‘Menikah’, bah! Kulempar KTP tersebut ke boks bertuliskan ‘Shred’, lalu meraih amplop yang masih tertutup. Teleponku berbunyi.

“Bro, ini gue Alex. Barusan gue nitip lamaran bini gue. Namanya Kirana, ada di meja lo.”

Hari Ke-2135

Dingin pagi masih menggigit. Kutarik lebih rapat sarung tidurku. Lamat-lamat, kudengar suara Ibu mengaji dari balik dinding bambu. Harum nasi yang sedang ditanak memenuhi hunian kami yang sempit. Kulihat jam, 5.14. Abah pasti sudah berangkat. Menyupiri bos-bos Jepang. Rasanya baru 3 jam yang lalu beliau pulang. Kuhalau malas dengan duduk bersila di atas tikar. Berusaha mengumpulkan nyawa yang masih terserak. Kokok ayam dan kicau burung bersahut-sahutan. Beda jenis tapi sepertinya saling paham. Jingle-jingle tukang rotipun bermunculan. Jangan terkecoh, yang lagunya bagus belum tentu rotinya enak. Titik-titik matahari menembus dinding gedeg sebelah Timur, macam bilah-bilah laser menembakiku dengan hangatnya. Aku tersenyum kecil, mengucap Hamdalah, Ta’awudz dan Basmalah. “Ayo, Cok! Semangat! Hari ini pasti dapat kerja!”