Book Review: Malam Terakhir | Leila S. Chudori

Kumpulan cerpen ini terbit pertama kali tahun 1989. Saat saya baru membiasakan diri berbahasa Indonesia. Saya membaca apapun yang tersedia, mulai dari kolom Indonesiana di majalah Tempo, sampai “Oh, Mama. Oh, Papa” di majalah Kartini milik Mama, tak ketinggalan kolom asuhan dr. Naek L. Tobing. Tontonan siang hari kalau isinya bukan Ray Sahetapi pastilah ada Roy Marten.

Membaca kumpulan cerpen ini seperti memutar kembali tahun-tahun di mana Jakarta terasa begitu artifisial. Begitu ingin menyusul kota-kota maju dunia. Padahal pusat perbelanjaan belum sebanyak sekarang.

Saat Pemerintah seperti berguru pada novel 1984 milik George Orwell. Sandiwara-sandiwara bertajuk swasembada pangan dan mencerdaskan kehidupan bangsa tayang hampir setiap malam setelah Dunia Dalam Berita, Laporan Khusus mereka yang mau dibohongi dengan bahagia.

Tokoh-tokoh dalam kumcer ini kebanyakan perempuan-perempuan yang menolak tunduk pada norma. Perempuan-perempuan yang membaca, melihat serta mendengar sekitar. Tidak berhenti di situ, mereka ikut aktif mempertanyakan kejanggalan dan ketimpangan.

Beberapa perempuan takluk dan kalah, beberapa perempuan menemukan tempat dan tetap bertahan hidup meski caranya menerabas norma. Perempuan-perempuan abu-abu.

Perempuan-perempuan di mata Leila S. Chudori adalah yang mandiri penuh kontroversi, seperti Ilona, Rain (nama anaknya sendiri) dan Dila yang akhirnya memilih mati. Di atas semuanya, perempuan-perempuan yang digambarkan Leila S. Chudori, bergerak lebih dengan kepekaan hati. Setidaknya itu yang aku tangkap.

Seperti Sita yang setia namun geram dan Salikha yang berharap gelap menyalakan Hamdani di matanya.

The Female Brain by Louann Brizendine

Pertama kali jumpa dengan buku ini, sekitar 5 tahun yang lalu. Ketika itu saya masih sering menyambangi Plaza Semanggi untuk kumpul-kumpul dengan kawan-kawan kampus. Biasanya kami janjian di Gramedia, secara sahabat-sahabatku itu book freaks dan salah satu dari mereka masih bekerja untuk Elexmedia. Satu kata saja ya : Diskon!

Berhubung saya selalu sangsi terhadap buku terjemahan (padahal pernah nerjemahin ‘High School Musical’ | justru.. :p), dan tidak suka ikut-ikutan beli buku yang sedang ‘ngetrend’, saya memilih melihat-lihat buku impor (#sombongunite yoben). Setelah beberapa saat merambah buku-buku 100ribu ke atas, buku “The Female Brain” yang paling menarik minatku.

What? There’s a female brain? So is the saying that female brains weigh less than male brains true? How does a female brain think. Why do we cry easily during PMS? What happens to our brains when we fall in love, why are we all gullible all of a sudden? Holding the book for the first time got me all excited. I didn’t mind waiting for my ‘ngaret’ friends. Because the price label on the back of the book read Rp.368.000,-. Of which I never could consider buying.

And thank God, for openning Gramedia at GI and making their marketing team make a 30% of promo on all items except electronics. I finally was able to buy it. :D

The way this Doctor explains is as if she’s talking to her girlfriends. Smart, witty and fun. In the first few pages we are given a breakdown of how this book will unfold the mysteries of a female brain. From a female baby all the way to an elderly female brain. We are given a picture of the parts of a female brain, showing the Hypothalamus, Hippocampus and the Amygdala etc. No, those are not zoo animals and Amygdala isn’t Luke Skywalker’s mom, okay boys.. Dr. Brezendine will show you how the different parts of a female brain work for women. And is a male brain really superion to a female brain?
Here she says that although a female brain weighs lighter than a male brain, its cell counts are actually denser. And even at certain periods in a woman’s life her brain weight can vary.

Why I like this book is, because it explains a lot of hormonal mechanisms that even as a woman I didn’t fully understand. Why does PMS happen? Why did I resent my mom so much as a teen? What goes on in a mother-to-be’s head? What happens after menopause? Most of the mysteries are laid bare in this book.

Last but not least, I highly recommend this book to Martians (baca: C O W O K S) who think they’ve got us Venusians (baca: C E W E K S) figured out. Think again!

Note: sudah ada edisi terjemahannya dan versi lawan jenisnya “The Male Brain” :D

Gardens of Water


The one on the left.

Penulis : Alan Drew
Penerbit : Literati Books
Terbit : Februari 2010

Gardens of Water bercerita tentang dua keluarga beda budaya. Sinan Basioglu hidup bersama istrinya Nilufer dan dua anaknya, Irem remaja putri 15 tahun dan Ismail bocah lelaki yang baru selesai dikhitan. Di apartemen di atas tempat tinggal mereka, hiduplah keluarga guru expatriat bernama Marcus, istrinya dan Dylan putra mereka yang juga remaja.

Di halaman-halaman awal novel, pembaca sudah dapat melihat bibit-bibit petaka dalam keluarga Sinan. Bagaimana Sinan yang pincang tak mampu mengimbangi langkah Ismail yang gesit, hingga hampir ia kehilangan Ismail di tengah keramaian kapal ferry. Digambarkan pula Irem yang menemukan kesenangan dari pertemanan rahasianya dengan Dylan. Di saat keluarga Sinan begitu bergembira menyiapkan perayaan khitanan Ismail, Irem menyimpan cemburu yang mulai mendidih. Lalu tanpa diduga-duga, gempa dahsyat menggulung mereka semua menjadi adonan kisah yang tragis dan miris.

Inti novel ini adalah para individu yang terjebak dalam dilema antara apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka yakini. Untuk Sinan, berarti menyeimbangkan cintanya untuk anak-anaknya dengan keyakinan agama dan adat suku Kurdi yang ia junjung tinggi. Namun preferensinya atas Ismail secara tak langsung melukai perasaan Irem. Di kamp pengungsi, Sinan yang kehilangan perannya sebagai pemberi nafkah keluarga harus menghadapi perasaan-perasaan yang saling bertentangan tersebut untuk pertama kalinya. Sementara itu, Irem putri semata wayangnya, mencoba untuk menyeimbangkan harapannya untuk tidak bernasib seperti ibunya namun tetap ingin dicintai dan mencintai keluarga, negeri dan keyakinannya. Irem menganggap Dylan sebagai kunci keluar dari segala kekolotan kehidupannya di Turki. Terlebih setelah mengetahui keinginan ayahnya untuk kembali pulang ke desanya yang membosankan. Novel ini hendak menunjukkan bahwa tidak ada jawaban yang mudah bagi tiap individu, namun pada akhirnya sebuah keputusan tetap harus dibuat.

Apa yang paling saya sukai tentang novel ini adalah tiap-tiap karakter dirasa sangat ‘hidup’, mulai dari Sinan dan Irem, Marcus dan Dylan. Bahwa tidak ada yang betul-betul benar dan baik dan tak ada yang sepenuhnya jahat dan buruk. Masing-masing dihadapkan pada ketakutan, kegagalan, dan usaha mereka untuk memahami kehendak alam semesta. Semua abu-abu. Seperti saya. Seperti Anda.

Kisah ini berjalan cepat karena pembaca diajak mengikuti jejak Irem dan Sinan secara berganti-gantian. Jika Irem melakukan A, kira-kira apa yang dilakukan Sinan? Lalu jika Sinan memutuskan B, apakah reaksi Irem? ‘Kejar-kejaran’ antara ayah dan anak ini pun berakhir pada sesuatu yang memang tak terelakkan. Hingga akhir kisah, Drew tidak memihak pada satupun tokoh dalam novelnya. Ia memberi nafas pada mereka. Pada akhirnya, Drew mengembalikan kepada pembaca untuk merenungi babak-babak kehidupan yang telah tersaji di hadapan mereka dengan harapan dapat mengambil hikmahnya.

Setelah membaca tamat kisah yang mengharukan ini, saya mencari tahu lebih mengenai profil sang penulis. Dan wajar saja, selaku akademisi sastra, ia membuat novel ini sebagai pengganti thesisnya untuk meraih gelar Master of Arts. Terungkap sudah mengapa ditel-ditel budaya dan agama digambarkan dengan persisi, rupanya riset yang dilakukannya untuk novel ini bukan sembarang riset. Tambahan lagi, ini adalah novel pertama dari Alan Drew! Bravo!