Pluviophile Chronicles (1) 

Saya lahir di bulan Desember, di negara yang hanya memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim gerah. Saya lahir saat hujan tapi matahari panas terik. Konon, hujan seperti itu hujan orang mati. Tak heran saya sering diledek mirip zombie. Muka pucat, rambut keriting tak terawat. Harapan mirip rambut Shakira apa daya hasilnya selalu mepet Eddie Brokoli atau paling banter Bastian Ex Coboy Junior. 

Rupanya pubertas juga tidak berpihak padaku. Growth spurts dari Hong Kong, minishirt-ku aja belum lulus-lulus masih kepake terus. Kalau ada yang tanya aku bilang itu sports bra. 

Saya juga gak pernah berharap atau membayangkan menjadi narator dari sebuah kisah perjalanan hidup beberapa orang yang sebelumnya tak ada urusan denganku. Mungkin eksistensiku yang sedikit banyak mirip celurut  menjadikanku pengamat dan penutur yang baik.  

Drama Jepang yang sedang kutonton di ponsel tiba-tiba hilang berganti tulisan ‘Bapak’ ditemani tombol merah dan hijau yang selalu memaksaku mengambil keputusan seketika. Accept? Decline?

Dengan malas aku mengangkat telpon darinya. “Assalamu’alaikum.” 
“Wa’alaikum salam. Ini Papa.” 

Aku memutar mata sebelum menjawab, “Iya, Pa.” dengan nada sedatar mungkin. 

“Sudah dapat kost-an?” 

“Belum. Nanti pulang kerja mau lanjut cari lagi.” 

“Syukurlah. Tadi Papa ada telpon teman lama Papa. Dia ada kamar nganggur kalau kamu mau lihat. Sepertinya dekat sekali dengan kantormu. Jadi kamu tidak harus menghabiskan 4 jam PP ke rumah Tante Lia di Bekasi.” 

“Daerah mana?”

“Menteng.” 

“Mahal pasti.” 

“Gratis, tapi bersyarat.” 

“Ha?” 

“Teman Papa setengah buta.” 

“Haaa?” aku mulai kesal. Percuma juga kalau pulang kerja harus jagain kakek-kakek setengah buta. Rentetan omelan sudah berbaris di pangkal lidah. 

“Dengar dulu.” 

Aku menghela napas. Sengaja kubuat sampai terdengar ke seberang. 

“Dia sudah ada yang rawat. Dia hanya butuh seseorang untuk merapihkan dan menjaga toko buku bekasnya setiap akhir pekan.” 

“Ya. SMS-in aja alamatnya. Nanti kalau sempat aku tengok.” 

“Iya.” 

Lalu jeda.

“Mama dan adik-adikmu kangen.” 

“Iya. Besok aku telpon.” jawabku masih datar. 

“Baik. Jangan ninggal sholat.” 

“Iya, terima kasih.”