Assalamu’alaikum Uni!

Assalamu’alaikum Uni,

Kenapa ‘uni’? Karena dirimu sepuluh tahun lebih tua daripada aku kini. Apa kabar Uni? Sehat-sehat saja kan Ni? Masih gemukkah atau makin gemukkah dirimu? Hayo, lupa ya sama nikmatnya “Runner’s High”? Sama ringannya pikiran dan hati sehabis olahraga apa saja? Anak tidak boleh dijadikan dalih Uni tidak sempat menjaga kesehatan lho. Sebab, menjaga kesehatan merupakan bentuk tanggung jawab terhadap orang-orang yang kita kasihi. Sempatkan minimal seminggu tiga kali ya, Uni?

Uni, kumohon matikan dulu keran airmatamu saat membaca surat ini. Apalagi jika kedua orang terkasih yang tadi masih menonton Mario Teguh bersamaku tak ada lagi dalam jarak peluk dan cium Uni. Bayangkan perasaanku saat menuliskan surat ini.

Uni, inget ngga? 23 tahun yang lalu ketika Uni terjaga di sisi Mama setelah sebelumnya puas ngerumpi soal bang Iwan langganan di warung Mama yang sopan lagi tampan. Sampai-sampai Papa yang tergusur sempat menegur, “Hei, udah dong ketawa-ketiwinya. Papa mau tidur….”

Uni inget? Uni akan menahan nafas, menyaring bunyi di kegelapan, deg-degan menunggu dada mama naik turun dan nafas dengkurnya yang halus. Uni lalu berdoa untuk keselamatan Mama dan Papa. Uni inget?

Selain ‘rabbighfirlii wali wali daiyya warhamhumaa kamaa rabbayanii sigharaan‘ disertai doa yang sering kita tambahkan kalau pas sempat dan ingat, “Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami anak-anak yang senantiasa menyejukkan hati kedua orang tua kami. Anak-anak yang bertutur penuh kelembutan dan kasih sayang. Ampunilah dosa keduanya, jauhkanlah dari siksa api neraka, siksa kubur dan azab dunia. Bukakanlah pintu maaf di hati orang-orang yang tanpa sadar telah mereka sakiti. Berikanlah keduanya kemuliaan di dunia, Alam Penantian dan Akhirat kelak, ya Allah. Kami sangat bersyukur memiliki mereka sebagai orang tua. Terimalah doa dan rasa syukur kami.”

Uni, masihkah doa itu Uni ingat? Masihkah Uni membaca ayat-ayat di pagi dan petang hari? Menyigi dan meniti baris Qurani di rumah yang mereka bangun dengan niat suci? Memuliakan rumah dan seisinya, mengirim doa berupa bentuk kasih sayang yang tak terputus bagi keduanya di manapun mereka berada. Sebab itu merupakan Janji-Nya.

Aku sungguh berharap Uni lebih telaten, rajin dan gesit dibandingkan aku kini. Berharap Uni terus bangun pagi, seperti Mama, lantas sholat subuh dan mengaji. Setelah sebelumnya, merapihkan peraduan untuk kenyamanan pandangan suami. Kemudian setelah puas mengisi diri dengan baterai Ilahi siap mengabdi sepanjang hari.

Mulai dari mengurus anak-anak yang meski sudah besar tetap membutuhkan perhatian, menjaga ketertiban dan keindahan hunian, melayani kebutuhan suami, menekuni hobi, terapi, olahraga, mendoakan seluruh keluarga. Semua dengan mengandalkan satu kata kunci IKHLAS. Sudahkah Uni menemukan ikhlas sejati? Kuharap sudah ya.. Amiin..

Uni sudah berhasil mewujudkan impian yang terus Uni gembar-gemborkan ke Papa bukan? Menulis novel dari hati? Menulis untuk The Jakarta Post dan Kompas sampai diterbitkan, kan Uni? Uni tentu tak menyia-nyiakan ribuan pujian dan arahan dari beliau bukan? Yang semenjak Uni masih kelas 4 SD sudah telaten mengoreksi dan mengedit tulisan-tulisan khayali yang beliau maksudkan untuk menjaga kekayaan bahasa yang dimiliki oleh putra dan putrinya.

Uni jangan menangis ya.. Duh. Tuh kan.. *lemparin Uni sekotak tisu dari masa lalu*

Ijinkan aku mengajak Uni mengingat keduanya selaku ikon cinta sejati dalam hati. Sepasang suami-istri yang bahteranya terus terapung meski cuaca kehidupan tak ada dalam ramalan. Kuharap Uni telah menemukan dia yang tetap menghidupkan malam-malam dengan obrolan santai seperti pasutri di kamar sebelah. Tak jarang memperdengarkan gurau dan tawa di malam yang larut. Kuharap Uni menemukan sosok pria yang mampu mencipta suasana yang demikian. Menjaga komunikasi dalam segala situasi.

Oh ya, Uni ingat ngga sikap Mama saat sedang bertengkar dengan Papa? Mama akan tetap menjalani tugasnya sebagai istri. Tak ada yang berkurang dari pelayanannya terhadap suami. Tetap memasakkan masakan yang diinginkan, tetap menurut dan bukan pergi kelayapan seperti yang biasa dilakukan istri yang sedang protes kepada suami. Sikap Mama yang selalu meruntuhkan ego dan beroleh restu Ilahi, mengusir segenap setan penyebar dengki, terkaing-kaing mengiri.

Uni teruslah perkaya khasanah diri. Sering-seringlah menonton tayangan berita bermutu seperti Al Jazeera kesayangan Papa, dan Metro TV atau TV One kegemaran Mama. Pilihlah film-film bermutu yang memetakan hati pada posisi yang hakiki.

Sssst, Uni ini sudah jam 22:55 dan masih kudengar kelakar keduanya mengomentari tayangan di televisi.

Apa? Uni mau titip kecup dan peluk untuk keduanya? Sebentar ya, aku sampaikan..

Hahaha! Uni….!! Mama ngomel tuh. Katanya “Apa-apaan sih kamu itu. Ngga pantes berkata seperti itu. Anak yang aneh.” Papa pun mengusir-usirku dari tempat tidurnya, “Hei, awas! Nanti tempat tidur Papa panas.”

Hadeehh… cape deh… Uni… Tidur aja yuk? Hihihi…

Take care Uni dearest. Kecup mesra untuk suamiku dan dekap sayang untuk anak-anakku. Bilang, dari Mama yang masih seksi & belum keriput.

I love you, Uni!

Wassalam & xoxoxo from the past!!

P.S. Inget pesan Pak Paul, supir Golden taksi yang sempat Uni curhati pas Mama Papa di Kyoto selama setahun, “Orang tua, sejatinya selalu hidup dalam hati putra-putrinya.”

Hei, Kamu!

Hai kamu,

Ya, kamu!

Masih ingat akan cita-citamu?
Kamu bilang pada semua hendak menjadi jurnalis medan perang yang memenangkan Pulitzer Prize.
Semoga kamera Nikon A500 berlensa tele warisan dari kakek ngga cuma jadi gantungan leher ya. Ngga sedikit uang yang gue keluarin buat ‘ngidupin’ lagi itu kamera. Loper koran sedari subuh, sampai nilai anjlok karena kebanyakan tidur di kelas. Untung ada Darla sang penyelamat dengan catatan rapinya yang boleh gue fotokopi kapan saja.

Oh yeah, bagaimana kabar Dinda? Berhasilkah kamu mengabadikan mata sayunya dalam bingkai dengan cetakan B&W? Atau jangan-jangan ada lusinan Dinda yang sempat mengendap di kamar gelap. Tapi itu mustahil, tampang kita pas-pasan plus jerawatan. Sudah adakah gadis yang sudi melihat ke balik itu semua? Atau yang sekedar melongok. Sudah ada?

Bagaimana kabar Mama? Masih suka sakit kepala? Mama masih ada kan?

==================================

Surat itu berhenti di situ. Aku berusaha mengingat-ingat kenapa surat itu tak kulanjutkan. Kenapa aku tidak menulis tentang Papa yang dulu musuh bebuyutan. Papa yang selalu membela kakak yang menurutku tak becus apa-apa dan hanya bikin Mama sakit kepala.

‘Kepada Aku 15 Tahun Mendatang’ Judul PR guru nyentrik yang sampai kini masih sering kukunjungi. Mengajar sastra malah pakai lirik lagu Dewa. Kasihan Dhani Ahmad habis dicela berkelas-kelas anak SMA. Ibu Evi yang memalingkan wajah kami pada pemilik sejati bait-bait melankoli si Dhani.

“Anak-anak yang budiman, sebagai cinderamata kelulusan kalian dari bangku SMA ini, Ibu minta kalian menuliskan Surat untuk diri kalian 15 tahun mendatang. Kelak, jika Tuhan merestui kita adakan reuni, dan masing-masing Surat akan ibu minta kalian bacakan lagi.”

Guru jenius. Beliau tahu betul manusia selalu berubah. Dan untuk membuktikannya, tak ada yang secerdik caranya. Membuat kami melahap daya pikir kami sendiri. Kami yang masih remaja mengira tak ada yang tak bisa.

Padahal nyatanya, aku tidak menjadi jurnalis perang. Ayahku terkena stroke tak lama setelah Ibu meninggal dunia. Mengharuskanku lebih banyak bekerja dari rumah untuk menunggui ayah.

Kakak beroleh beasiswa ke luar negeri dan tersangkut gadis Eropa yang membuatnya lebih memilih menjadi warga negara kelas dua.

Aku kini wartawan freelance. Bukan yang berisiko tinggi. Sesekali menulis cerpen dan comic strip, kadang ditanggap untuk memfoto juga melukis karikatur tokoh masyarakat.

Ingat Darla? Yang catatannya selalu jadi penyelamat? Dia sudah menikah dan punya 4 anak. Benji, Eugene, Sophie dan Laila. Aku kenal betul dengan anak-anaknya, juga suami Darla. Setiap pagi aku bertemu dengannya, di dalam cermin.

Dear Heart,

I will put you out there.

To soak in the sun.

Get drenched in the rain.

The wind will blow, twist, and sway you.

In changing seasons shall you be seasoned.

O heart, be that of a lush green tree.

Soothe the eyes that see you and shelter the ones who come near you.

‘O heart, love for the sake of loving.

Cotton Candy

If only love could always be as sweet.

I’d stand in line for eternity simply for a teeny bit.

Yet, what renders the senses doesn’t necessarily coax the soul.

It’s only sugar, pink food coloring and a manipulating machine.

Winding the plain, plain ingredients into strands of sweet spiderwebs that disappear once you take a bite.

‘It’s only sugar, honey…’ you say, as I gleefully chomp away.

But the clouds up there this afternoon look a lot like the cotton candy you bought me that Sekaten last year when you disappeared.

Just like the sun will do too. Taking away the pink, purple and orange to paint them black and blue.

Pria Bersorban

Namanya Ali Bin Mahmood. Aku melihatnya pertama kali pagi tadi. Ia berjalan dengan tergesa. Sehelai sajadah tersampir di bahunya. Air menetes dari ujung hidung mancungnya. Lolongan adzan yang semakin ramai bersahut-sahutan memicunya untuk mempercepat langkah. Ia melewatiku yang tak terlihat. Aku yang menjadi satu dengan bayangan celah-celah antar rumah yang masih memperdengarkan alunan merdu dengkuran-dengkuran.

Tadi siang, aku mengamatinya bekerja. Berpeluh keringat tak kenal lelah. Tersenyum ramah pada siapa saja. Kaki kurusnya menari di atas debu dan batu-batu menghindar wanita-wanita bercadar. Mengangkut karpet-karpet dari Tunisia, Maroko, Turki dan Kandahar. Dari gudang Abah Suleman di bagian belakang pasar.

Dan sesuai rencanaku, ia mengajakku berkenalan saat jam makan siang.
“Assalamu’alaikum! Ya, Akhi baru berjualan di sini?” ia ikut jongkok di dekatku dan dagangan yang kugelar di atas sehelai tikar.
“Saya seorang musafir, berjualan sekedar agar bisa tiba di dusun kakekku di dataran Kashmir. Tamish ini kubeli dari pedagang lain di gerbang seberang.”
“Biar kubeli Tamishmu satu. Berapa?”
“1 ryal, tuan. Silahkan.”
“Tidak bolehkah aku meminta sedikit Foul untuk mencelupkannya? Tapi selain selembar ryal tadi, aku tak punya uang lagi.”
Aku mengangguk dan menuangkan secawan saus kacang untuk melengkapi makannya.

Ia menyantap tamish dan foul dengan sangat lahap. Sambil bercerita tentang dusunnya di Afghanistan yang porak-poranda oleh tentara Amerika. Selama itu pulalah otakku berputar keras. Bagaimana cara menjerumuskan orang seperti dia. Beribu muslihat hadir mengajukan diri hanya untuk tenggelam dalam silau ketulusan yang dipancarkannya.
“Ya Akhi, saya harus kembali bekerja. Terima kasih untuk hidangannya dan semoga selamat tiba di dusun tujuan.” ia menepuk-nepuk celana jinsnya sambil bangkit dari duduk.
“Sebentar, ini kembaliannya.” aku berusaha menjebaknya dengan harta. Kusodorkan uang 9,5 ryal.
“Lho, akhi lupa? Uangku kan hanya selembar tadi.” di akhir ucapannya yang terdengar prihatin ia tersenyum menepuk pundakku. Lalu beranjak pergi.
Aku merutuk. Sial. Manusia ini lebih susah dari yang kuduga.

Sore hari, saat matahari menyentuh cakrawala dan menyulutnya. Langit merah, senada darah. Di hatiku semacam amarah, saat lolongan adzan kembali menggema untuk keempat kalinya dan manusia ini belum sekalipun berbuat dosa.

Aku ikuti dia ke mesjid. Karpet mesjid yang empuk dan mewah seolah baja panas memanggang kakiku. Tetapi bukankah panas itu surga bagi yang terbuat dari api? Inilah bentuk murka-Nya pada kami yang api namun tersiksa pedas api.

Setelah semua pria berdiri rapih. Imam menoleh padaku dan mempersilahkanku membaca Qamat. Aku gelagapan. “Biar saya saja, Ammu.” Ali mengajukan diri.

Betapa jernih suaranya menyebutkan Qamat, lamat-lamat.
Tak terburu-buru, sepintas mirip adzan tapi jauh lebih bening.

‘Haiyaalas solah..’
‘Haiyaalal falah..’
‘Qadqamatis solah Qadqamatis solah..’
‘Allahu Akbar Allahu Akbar. La ilahaillallah..’

Di sampingnya aku terbakar. Kutahan tubuhku agar tak gemetar.
Sorbanku lebih erat kubebat, menutupi tandukku yang panas mencuat.
Aku lari meninggalkan syaf tanpa ada yang peduli.
Seolah aku tak pernah ada.
===============================================================================================
FIKSIMINI

@dedirahyudi TAK BISA KUTAHAN. Lantunan kata suci dr mulutmu menyayat hati. Kubebat sorban ini erat, menutupi tanduk yg mencuat. Panas.

FilmFiksimini by @OmBastian (edit by @adrainy & @dikiumbara)

Keterangan Kata Asing :
tamish : termasuk makanan murah, roti khas Afganistan, diameter 35cm mirip adonan Pizza
foul : kuah kacang, mirip saus mayonaise tapi ada tekstur kacang yang renyah
Akhi : Mas, Abang
Ammu : Paman

Bukan Surat Cinta Bila Bisa Kaumakan.

“Sayang?” kupanggil tanpa peroleh sahutan.
Dari kamar mandi kudengar suara air diguyurkan.
Sambil mengencangkan sarung aku berjalan ke ruang makan.
Di atas meja makan terdapat secarik post-it.

“Maaf, Sayang. Hari ini tak ada surat cinta yang bisa kutuliskan.
Sepertinya kata-kata bosan dimanfaatkan untuk melancarkan sebuah hubungan.”

Di bawah songkok kutemukan sepiring penuh biskuit keping coklat yang baru saja diangkat dari panggangan.  

Badut Kelas

Gue si badut kelas. Gue duduk di bangku kedua dari belakang, paling pinggir mepet tembok. Celetukan gue efeknya dahsyat. Dasar anak SMA yang belum sepenuhnya meluruhkan sayap beo mereka, lelucon garing pun akan menghasilkan tawa yang berlebihan.

Jam istirahat, sambil pura-pura asik mainan Twitter, gue curi foto-foto teman sekelas yang lagi nyipet. Jarum suntik bertukar tangan hanya disterilkan cairan sebotol ANTIS! Kupotret juga dua cowok yang asyik making-out di pojokan.

Enam tahun yang lalu gue pernah SMA. Di SMA Favorit ibukota. Bukan SMA kampung macam SMA Seroja ini. Demi bisa memasuki segala ‘klik’, gue pilih jadi badut kelas. Ngga apa-apa sering disetrap dan dipanggil guru BK, yang penting gue dapet berita.

From Kyoto With Love

Kepada AM~

Hello My Love!

Today I’m writing you a letter pretending I’m in Kyoto.
I’ll be sitting near the window with my pink coffee mug that misses the baby blue color of her lover.
All is white outside. The snow reminds me of the yummy icing atop the cinnamon rolls we both love.

What are my plans for this brilliantly chilly day, you ask?

It’s morning and two degrees below here.
So of course the heater is on and I’d rather go nowhere.
I’m still wearing my PJs and thinking about putting on some Cyndi Lauper songs to sing and dance my heart out.

Of course I miss you. Must you always ask the same old question?

I wish we were cuddled up beneath a warm blanket.
So we could play our favorite game.
Of who could hold in their thoughts the longest.
Which will only end us up in seeing who giggles the soonest.
I’ll tickle you if I have to.
And you’ll might even tackle me too.
In the end, we’ll end up talking about whatever, whenever and wherever like we always do.

Ah, and of course, the question of love.

No matter how often we ask for love’s reassurance, it’s never enough.
Especially with this distance between us.
I know I’m here in Jakarta while you’re one hour ahead of me in Makassar.
But if I can pretend I am in Kyoto, then why can’t you pretend that I’m forever in love with you?
Not that it’s not true.

Err, you get me don’t you?

Okay, I’ll say it.

[strong] I Love You. [/strong]

Pagi di Puncak

Tegel yang seharusnya kuning, kini warnanya tak jelas. Jejak sepatu pria penuh mengotori. Sudah seminggu tidak dipel sejak pembantu sialan itu kedapatan meminum susu Ultra anaknya.

Gina malas mengingat-ingat kejadian itu, pula kontrakan yang kotornya minta ampun. Diletakkan rokok mentolnya yang masih menyala di meja teras, untuk meraih ukulele di sebelahnya.

Petikannya mendatangkan celoteh tak jelas dari stroller merah bermerek milik Lenka. Gina menggerakkan stroller itu dengan kaki jenjangnya. “Sshh.. Mau ibu nyanyikan lagu apa, Sayang?” masih dengan kaki, memutar stroller agar putrinya menghadapnya.

Dimainkannya lagu ‘The Show’ yang gembira. Lenka bergeming, matanya kosong menatap Gina. Gina berusaha agar tetap ceria.

“Tetooot! Tetoooot!” tukang balon lewat, dan seketika mata Lenka bercahaya.

Rumah Di Atas Bukit

Undakan yang terbuat dari batu alam dinaikinya mantap tanpa harus berpegangan pada railing. Kakinya telah menghapal jarak setiap panjatan. Kunci sepeda dilontarkan lalu ditangkap mengikuti irama lagu dari earplug iPod yang menyumpal telinganya. Bibirnya menyenandungkan lirik, lirih. Malu-malu. Awan-awan kecil hilang muncul dari nafasnya yang sedikit terengah.

Ia tiba di depan pintu rumahnya. Sebuah rumah kayu yang berdiri gagah puncak bukit. Cat putihnya mulai mengelupas di sana-sini, seperti luka koreng yang gatal minta dikopek. Bulan ini harus mengecat rumah, catatnya dalam hati. Langit senada beludru baju dodot Ibu di foto pernikahannya dulu, bertahtakan gemintang serupa berlian. Ia menghela nafas, nafas yang bila dieja berbunyi “Subhanallah.”

“Assalamu’alaikum.” ucapnya pada foyer yang sepi. “Haha, mana ada yang jawab.” ia terkekeh sendiri. Kering. Kunci rumah dan kunci sepeda diletakkannya di atas meja kopi di ruang televisi. Ruang yang lebih pantas disebutnya perpustakaan. Sejak ibu pulang ke Indonesia, taplak batik penutup televisi nyaris tak pernah berpindah posisi. Hanya mengonggok di situ memenjarakan bunyi dan gambar frekuensi.
kuro

Matanya mulai terbiasa pada minimnya cahaya. Sinar bulan membentuk bilah-bilah panjang pada karpet dan dinding-dinding ruangan. Sepasang mata hijau menghampirinya dengan eongan manja yang sudah akrab di telinganya. “Kuro.” sapanya lembut, diraihnya kucing hitam yang tubuhnya langsung melemas, pasrah hendak dibawa ke mana saja.

Sambil memeluk Kuro dengan satu tangan Yoga membuka pintu kulkas. Untuk sesaat cahaya kuningnya menusuk mata. Diambilnya kotak pizza semalam punya, dan sekaleng Heineken. Lalu ditutup kembali pintu kulkasnya pakai kaki.

Di atas, di kamarnya, Yoga membuka jendela. Angin musim gugur menyeruak masuk. Ia lalu duduk di atas kursi goyangnya yang sengaja dihadapkan ke luar jendela. Ia terpekur menatap horizon malam itu, di mana kerlap-kerlip manusiawi menyatu dengan kedap-kedip Ilahi.

Matanya terpaku pada sebuah cahaya kuning di antara lampu kota kecil di bawah sana yang berkedip teratur seperti kode. “Ah, benar! Itu kode Morse! Tapi yang kutahu hanya S.O.S.!” Yoga berbicara sendiri. Kebiasaan yang disadarinya muncul lagi setelah ia kembali hidup sendiri. Hampir menubruk lemari baju, Yoga meraih laptop dan dinyalakan. Sambil terus memperhatikan urutan kedip morse di kejauhan itu.

.-.. – – – …-
..-
..
.-.. – – –

Tak lama laptopnya menyala. Segera ia ketikkan kata ‘morse’ di dalam kolom pencarian Google. Ia meraih secarik kertas dari meja kerjanya dan mulai menerjemahkan kode-kode tadi. L, O, V, E, U dan I. Mendadak ia merasa kembali menjadi kanak-kanak. Bermain detektif-detektifan dengan Teddy dan Ganjar. Tergesa Yoga merogoh laci mencari senternya. Dapat!
Ia kembali ke pinggir jendela. Sambil melirik layar laptop di pangkuannya Yoga mengarahkan cahaya senternya ke titik di mana kedap-kedip morse masih berulang-ulang.

” .– …. -.– W-H-Y” tanyanya. Sekedar iseng.

Cahaya itu menghilang. Yoga kecewa. “Aku pasti telah menakutinya.” Dalam pikirannya ia berharap seseorang itu adalah seorang gadis manis yang butuh teman. Tapi bayangan itu cepat ia tepis, manakala ia sadar bisa saja itu om-om pedofil yang mengincar anak-anak tanggung kurang perhatian.

Cahaya itu muncul kembali!

-.. – – – . … .-.. – – – …- -. . . -.. .- .-. … – – – -.

“WOI PELAN-PELAN!” Yoga berteriak ke luar jendela. Bahasa yang mustahil dipahami orang-orang yang hidup di sekitarnya apa lagi jika sampai di tempat cahaya kecil itu berada. Gelagapan dalam kegelapan Yoga mencatat satu per satu kode dan mengartikannya. Rupanya pemilik cahaya kecil di ujung sana adalah orang yang cukup sabar. Diulangnya beberapa kali lalu terdiam. Menunggu Yoga menanggapi.

“Sek..sek..” Yoga bergumam sendiri.

D O E S L O V N E E D A R E A S O N

“Ah…” hanya itu yang dapat Yoga ucapkan. Ia tak tahu harus menjawab apa lagi. Sepertinya tak ada yang bisa dia kodekan untuk menjawab pernyataan yang selama ini iapun meyakini.

Ia terdiam. Senternya masih menyala. Membuat bulatan kuning berpendar di dekat kakinya. Tanpa sadar, Yoga menggoyangkan kursi. Bibirnya kembali menyenandungkan lagu yang didengarnya sepanjang sore tadi…

Begitu jauh, waktu kutempuh.
Sendiri mengayuh biduk kecil hampa berlayar akankah berlabuh?
Hanya diam menjawab kerisauan.
Kadang kala aku berkhayal seorang di ujung sana juga tengah menanti tiba saatnya…

Tak butuh waktu lama Yoga terlelap, lampu kecil di seberang sana kembali menyala.

-.– – – – –. .-

.-.-.-