Appetizer

Appetizer

Lala gelisah. Sudah tiga kali dikeluarkannya kantong peralatan makeup untuk membedaki hidungnya yang berkeringat dan melirik riasannya pada kaca kecil bergambar Hello Kitty.

Ia duduk di booth, di atas kursi vinyl yang empuk sekali. Tubuh mungilnya nyaris tenggelam. Kalau saja Lala adalah seekor kucing mungkin ia sudah melingkar dan tidur. Sebaliknya, dia keluarkan novel Harlequin dari dalam tas sandang vintage kulitnya.

Ia membetulkan posisi duduk agar terkesan sophisticated dan dewasa. Novel cinta-cintaan itu sudah memasuki bagian yang ‘panas’, tetapi pikiran Lala sama sekali tidak ada di sana. Di atas deretan kata yang bergumul mesra.

“Permisi Mbak, sudah siap pesan?” waiter yang tampaknya seusia dengannya datang dengan pena dan noteblok daftar pesanan.
“Eh, iya bentar.”
Lala cepat-cepat meraih menu besar yang sejak tadi diacuhkannya. Dipilihnya minuman pertama yang menangkap minatnya karena warnanya yang hijau dan segar.
“Melon Spritz, please?”
“Baik. Melon Spritz satu. Ada lagi? Appetizernya mungkin?”
“Sementara itu dulu. Terima kasih.” Lala tersenyum.
Pelayan itu membalas senyumnya dan berlalu.

“Ah! Itu dia!” pekik Lala dalam hati.
Gerak-gerik anggunnya begitu familiar di mata Lala. Lala mengangkat tangan tinggi-tinggi, lambaiannya begitu antusias. Terlalu malah. Tetapi Lala tak peduli.

Melihat tingkah Lala, Sarah tertawa kecil lalu balas melambai. Penampilan Lala begitu menggemaskan malam ini. Berbalut halter dress hitam yang diberi aksen pashmina hijau toska untuk melindungi bahu telanjangnya dari sejuknya malam. Pipinya bersemu kemerahan persis pipi bayi-bayi Asia Timur di musim pendingin.

“Hai, gadis kecilku. Maaf ya, tante telat. Ada masalah kantor yang tak bisa ditinggal tadi.” bisik Sarah di telinga Lala, sambil mengecup pipi kiri dan kanannya.
“Hai Tante. Iya. Ngga papa kok. Lala belum lama kok.” sahut Lala sedikit gemetar. Sedikit berdusta.

Wangi parfum Sarah dengan rakus dihirup oleh Lala. Ia ingin wangi itu terekam di kepalanya, hingga bertahun-tahun dari sekarang.

Mata Lala tak sedikitpun lepas dari sosok wanita dewasa di hadapannya. Usia Lala baru 21 tahun, dan ia berharap bisa sesukses dan semenarik tantenya bila kelak seusianya.

“Orang tuamu tahu kan kamu di sini?” tanya Sarah membuyarkan khayalan Lala akan dirinya sendiri 9 tahun lagi.
“Tahu. Tadi diantar Pak Roy kok.”
Lalu diam. Mereka hanya saling tatap. Mata bulat Lala yang sekelilingnya dipoles sedikit glitter berpendar seperti mata hijau Tinkerbell.

Sarah lalu membelai lembut rambut Lala.
“Cantik.” gerak bibirnya tanpa suara.  
Lala bersyukur ia sedang dalam posisi duduk sebab lututnya mendadak lemas. Ada perasaan geli di area kewanitaannya yang sering ia rasa bila terlalu menghayati novel Harlequin. Tapi Lala belum paham mengapa hal itu dirasakannya pada tantenya, bukan pada Donny pacarnya?

“Melon Spritz-nya, mbak.”
Sarah menarik tangannya tapi tidak tergesa. Tangannya tersebut malah dipakai untuk menyapukan beberapa helai rambut ke balik telinga.
Pelayan itu mengangguk sopan ke arah Sarah.
“Selamat Malam, Mbak. Selamat Datang, bisa saya bantu dengan pesanannya?”
“Cosmopolitannya satu. Terima kasih.”

Saat pelayan beranjak pergi Sarah memutar matanya jenaka. Lala tertawa.

“Sayang.” Sarah mulai berbicara. Tampaknya sesuatu yang penting.
“Iya, tante?”
“Kamu ngga keberatan kalau malam ini kami ditemani seorang lagi?”
“Siapa tante?” hati Lala sedikit menciut. Ia mengira malam ini akan jadi malam spesial antara dia dan tantenya saja. “Mas Hedy. Itu lho, yang selalu Tante ceritakan di BM. Masa Lala lupa?”

Lala tidak lupa, Lala hanya memfilter kata-kata yang ingin ia baca seperti sapaan pagi-siang-malam dari Sarah; perhatian-perhatian tantenya di saat ia terbaring sakit; nasihat-nasihatnya dalam berpacaran. Tentang Mas Hedy memang selalu ada, tapi Lala jarang sekali mau mempedulikannya, terlebih mengomentarinya.

Mendadak air menggenang di pelupuk mata Lala. Ia merasa begitu bodoh telah dandan secantik ini untuk bertemu dengan tantenya. Ingin rasanya ia meninggalkan restoran itu segera.

“Lho? Lala kenapa sedih?” Sarah yang sesaat lalu masih bercerita panjang lebar tentang Mas Hedy, seketika bingung melihat ekspresi Lala yang mendadak mendung.
Dengan segenap keberanian yang dimilikinya Lala berkata, “Lala sayang tante..” air matanya menetes juga.
“Tante juga sayang Lala. Sayang banget malah. So, what’s with the tears, Sweetie?”
“Entah. Lala.. ” Lala kebingungan mencari kata-kata. Sebuah kata besar yang selama ini menghantui benaknya kini menampar-namparnya minta disadari. Kata itu: LESBI.

Sarah bingung. Ia meraih tangan Lala yang terasa begitu dingin. Ia remas, berusaha menjalarkan kehangatan. Lala semakin tidak tahan.

“Maaf. Lala ke toilet dulu ya, Tante.” ia meraih tasnya sambil menunjuk riasannya yang dirasa luntur oleh air mata.

Di dalam kamar mandi yang seluruh temboknya dilapis marmer hitam, Lala lari memasuki salah satu bilik. Ditumpahkan tangisnya di sana. Ia meraih tisu gulung di sampingnya untuk menangkap air matanya sambil terus menahan isak tangisnya agar tak terdengar ke luar.

“hatchi!” Blackberry-nya berbunyi.
Lala merogoh-rogoh tasnya.
Pesan dari Sarah.
“Lala..”
“Iya, tante.” Lala otomatis menjawab.
“Apa yang mengganggumu sayang?”
“Lala mencintai Tante. Tapi bukan sebagaimana mestinya!” di dalam bilik toilet ini, entah kenapa Lala tiba-tiba berani.
Jawaban Sarah tak kunjung datang. Lala kembali menangis, putus asa. Mengumpati dirinya sendiri. Pasti tantenya sudah terlanjur jijik.

‘hatchi!’
Balasan dari Tante Sarah.

“Lalaku sayang. Tante juga mencintaimu seperti yang kamu takutkan itu. Jangan kaupikir tante tak pernah membayangkan melakukan hal-hal nakal seperti yang ada dalam novel-novel Harlequin kesayanganmu itu terhadapmu ya. Terlalu banyak malam yang tante habiskan hanya membayangkan tubuh telanjangmu menegang dan mengejang di bawah sentuhan Tante.”

Tangis Lala berubah haru.

“Tapi kenapa tante malah menerima lamaran Mas Hedy?” balasnya cepat.
“Karena ia mencintai tante, sayang.”
“Lala juga! Cinta Lala pada tante jauh lebih menggila!”
“Cinta kita ini memang gila, Sayang. Tapi pikirkan berapa banyak hati yang akan hancur demi cinta kita berdua ini sayang.. Ayahmu, Kakak Tante. Ibumu, seluruh keluarga besar kita. Apa kamu siap menghadapi mereka semua?”

Lala terdiam. Muncul wajah sedih kedua orang tuanya. Tatapan sinis keluarga besar mereka. Apakah ia sanggup hidup terkucilkan? Apakah Tante Sarah akan bahagia bersamanya? Cinta yang mengorbankan cinta lain karena alasan egois hanya membawa kesedihan. Lala teringat sebuah kutipan yang pernah ia baca. Tapi lupa milik siapa.

‘hatchi!’
“Tante yakin Lala juga pasti akan memilih menjaga perasaan orang tua dibandingkan perasaan tante, kan? Sebab Lala anak yang baik. Perempuan yang pintar. Seperti tante. Jadi bisakah kamu menolong Tante, benahi riasanmu dan kembali ke meja? Sebentar lagi Mas Hedy tiba. P.S. Pembicaraan ini kita lanjutkan di apartemen Tante nanti malam.”

Sepanjang makan malam, Lala dan Sarah melayani Mas Hedy dengan ceria. Bukan berpura-pura. Melainkan gembira karena membayangkan apa yang akan mereka lakukan di apartemen Sarah beberapa jam kemudian. Belaian kaki Sarah pada betis Lala adalah appetizernya.

Monolog

Aku mengenalnya sejak dulu. Perempuan kecil berpipi gembil dari belahan dunia yang kaya matahari. Perempuan kecil yang sering asik dengan pikirannya sendiri dan sering heran mengapa tak banyak yang mengerti atau tak banyak yang mau mengerti.

Usianya ketika itu mungkin 5 tahun. Banyak hal yang mengisi benaknya.’ Kenapa anak-anak perempuan tidak mau berteman denganku dan kenapa anak-anak laki selalu menghindar jika kukejar-kejar? Malahan overacting lantas berteriak-teriak sambil ngibrit, “Run!! Run!! The Kisser Girl!!! The Kisser Girl!!!” ’.

Istirahat kedua, ketika ia telah lelah berlari-larian, ia akan duduk sendirian di ayunan, bertanya dalam hatinya yang sedih mengapa tidak ada yang mau berteman dengannya? ‘Sebaiknya aku bunuh diri saja, toh tak akan ada yang kehilangan.’

Menunggu kedua kakaknya di bawah pohon rimbun untuk pulang bersama, ia menengadahkan kepala mengangakan mulut menyambut air yang menetes dari pohon. Sisa-sisa hujan tadi siang.
“Eww!! Your sister is so wierd!” teman seorang kakaknya yang kebetulan melihat bergidik jijik.
Kakaknya akan melotot memperingati.
Ia akan menunduk menurut dan memainkan tali-temali ranselnya.

Perjalanan pulang menyusuri jalan pintas, yang dalam pikiran kecilnya merupakan petualangan melalui hutan belantara menyusuri jembatan-jembatan bobrok menakutkan. Ia akan melangkah 1-2 langkah di belakang kakak-kakaknya sembari mengingat-ingat sebuah film. Film Indiana Jones and The Temple of Doom. Kali ini jagoannya seorang anak perempuan dengan dua kakak laki-laki. Yang satu lembut bertanggung jawab, yang satu nakal penuh rasa ingin tahu. Begitulah ia, selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri hingga sekian tahun kemudian, ketika ditanyakan rute perjalanan pulang dari sekolah ke rumah ia takkan bisa menjelaskan dengan benar. Padahal hanya perjalanan di tengah kompleks perumahan sejauh lima blok.

Pikirannya seringkali berbeda dari anak-anak seumurnya pada umumnya. Manakala ayahnya mengajaknya main lempar-lempar ke kasur ia akan mengeluarkan kata-kata yang mungkin pada saat pertama mendengarnya alismu akan bertaut heran.
“Sini, Papa lempar ke laut ya!” dengan gemas ayahnya membopong tubuh kecil anak perempuannya untuk dihempaskan ke kasur.
Sambil terkikik kegirangan si anak menjawab,
“Biarin! Lempar aja C-loud! Cloud kan empuk!!!”

Yah, seorang anak ingusan yang hingga umur lima tahun masih menggunakan lidahnya sebagai saputangan di kala tangannya terbungkus mittens dan bahu lengan windbreaker merahnya terlalu tebal untuk bisa sampai memeper ingusnya yang meleleh-leleh di tengah salju. Ingus yang hingga 4 tahun kemudian ia masih saja doyan. Sambil sembunyi-sembunyi tentunya. Sayangnya, pada tahun terakhir ketahuan oleh si Kakak. Malulah ia hingga habis masa remaja.

Sumpah, sejak itu dan jauh sebelum itu aku mengenalnya. Ketika ia merasakan ciuman pertamanya di usia 7 tahun. Ketika ia menggaruk nadinya dengan isi stapler di usia 14 tahun. Ketika ia menulis surat ‘Melarikan Diri’ lalu bersembunyi di dalam lemari selama 3 jam hanya karena tak tahan dimarahi. Sambil mendengarkan pembicaraan orang tuanya yang menyesal memarahinya sampai surat itu harus tercipta. Ia menangis di dalam lemari menyesali perbuatannya, ditambah karena kesal di dalam situ gelap dan berdebu. Ketika itu usianya masih 6 tahun.

Aku mengenalnya ketika ia ditanya, “Untuk siapa kamu sholat?”
“Karena disuruh mama dan papa.”
Jawaban yang akhirnya berbuntut pada penjelasan penuh kelembutan bahwa sholat itu karena Allah yang memerintahkan. Mama dan Papa hanya menjalankan tugas sebagai orang tua agar kamu tidak dimurkai Allah kelak.
“Untuk siapa kamu mengaji?” take two.
“Karena Allah.”
“Anak pintar!”
Ketika itu jawabannya masih sekedar pengertian hasil trial and error. Pengertian yang sesungguhnya baru ia dapatkan berpuluh-puluh tahun kemudian. Akupun menjadi saksinya.

Saksi keterpurukannya. Kesalahan-kesalahannya. Jalan-jalan yang dipilihnya yang ternyata salah dan membenamkannya dalam bermacam kesulitan. Sebagian besar karena ia lupa. Lupa pada ajaran lembut orang tuanya ketika ia kecil. Lupa, mungkin kurang pas. Mungkin lebih pas jika dikatakan ia memang belum diberi ‘Pemahaman’. Aku hanya bisa melihatnya, mengawasi setiap pilihannya dengan sabar dan menolongnya di setiap kesempatan aku bisa.

Ada usianya di mana ia terlihat begitu indah. Ketika ia akhirnya menemukan pasangan jiwanya dan melahirkan anak-anaknya. Aku teringat hari pertama aku ditugaskan mendampinginya. Ada temanku berkata, lihatlah Ibunya, begitu ikhlas dan cekatan dalam menjalani tugasnya sebagai apapun peran yang diembannya. Ia seorang mama, seorang istri, pelayan restoran, seorang adik, seorang anak, seorang Muslimah yang hanya ingin diridhoi setiap langkahnya oleh Allah. Temanku yang lain berkata, lihatlah ayahnya, seorang Bapak yang sangat mengasihi anak-anaknya, selalu berpikir dengan kepala dingin demi memperoleh solusi untuk setiap ganjalan di dalam arungan bahtera kapal yang dinahkodainya. Ia tak pernah alpa menyentuhkan Al Qur’annya ke dahi, mengecupnya dan merapatkannya ke dada setiap sehabis membaca, seolah ingin meresapkan cahaya Ilahi sebagai bekalnya kelak di hari nanti. Aku beruntung kata mereka, seperti mereka, terpilih untuk menjaga dan mengawasi salah satu anak dari keluarga ini.

Ada kalanya aku ragu pada ramalan teman-temanku tadi mengenai dirinya. Terutama ketika ia sedang bereksperimen dengan seberapa jauh Allah bisa murka. Seringkali aku dikecewakannya ketika ia mendzalimi dirinya dengan sengaja ‘lupa’. Aku tahu ia pintar dan bisa berpikir. Sejak ia kecil aku tahu. Aku tahu Allah telah menggariskan hidupnya dengan segala kebaikan, kebaikan yang tidak serta merta ‘ada’ begitu saja. Sebab ia adalah yang pintar dan berpikir. Jadilah adanya saat-saat sulit buatnya yang juga memedihkanku.

Ketika ia telah menemukan arti hidupnya persis seperti ibunya dulu, sebagai ibu, sebagai anak, sebagai istri dan langkah yang membawanya mewujudkan impiannya menjadi penulis, aku semakin mencintainya. Aku menunggu malam-malam di mana aku bisa duduk di sebelahnya. Menyaksikan air matanya yang berderai memohon ampun atas kesalahan-kesalahan di masa lalunya meminta kebaikan demi masa depannya. Menikmati salamnya manakala ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Di usia akhir 20an, ia tersadar pula akhirnya akan hadirku dan memberi senyum manisnya meski tak melihatku.

Suatu subuh, ia membaca lxxxii : 10-12 dan menangis. Membenamkan wajahnya dalam tafsir. Selama ini ia tak sendiri. Ada aku yang selalu mendampingi dan menjaga. Mengawasi. Itu yang dibacanya hingga tersedu. Aku merasa menjelma semakin nyata dalam hidupnya. Aku semakin menyayanginya.

Ketika usianya 57 tahun, dengan cucu pertama tertidur lelap dalam pangkuan, ia membaca Tafsir yang sama. Yang sudah bolak-balik ke toko fotokopi untuk berulang-ulang dirapihkan jilidannya. Kitabnya telah menguning. Rambutnya kini telah memutih. Wajahnya memancarkan cahaya yang mungkin seputih rambutnya. Ia sedang berpikir untuk menulis. Sesuatu untuk teman-teman feminist-nya yang skeptis:

Janganlah menyimpulkan, hanya karena sering disebutkan di dalam Al Qur’an bahwa surga dipenuhi bidadari-bidadari cantik molek yang tak pernah terjamah pria sebelumnya, yang duduk anggun di atas sofa-sofa hijau berbeludru, berarti Allah menciptakan surga hanya untuk pria. Jangan lupa kisah Maryam ketika didatangi malaikat tampan. Jangan lupa kisah umat Nabi Luth yang kotanya didatangi malaikat-malaikat pria yang mampu menggoyahkan iman para pria. Kaum homoseksual yang kukenal ketika muda dulu di kala hobi membentuk badan di fitness center mahal itu, tampan-tampan luar biasa. Apa lagi para malaikat Allah. Jadi jangan berkecil hati sahabat feminist-ku jika kau beriman dan positif thinking pada Sang Tuhan. Ia Maha Mengerti dan Maha Tepat Janji. Selain bidadari cantik, untuk kita juga disediakan malaikat tampan.

Hari itu aku sedikit berbesar hati. GR tepatnya.

Hari ini, sesuai janji, sahabatku Izrail, datang. Anak, cucu, keponakan, adik, kakak dan para menantu dengan wajah sedih duduk mengelilinginya. Ia meminta agar ruang tamu disulap jadi ruang tidurnya. Agar luas ruangan bisa menyambut teman-teman yang mengunjungi jasadnya yang masih bernyawa dan agar susunan ruang tidak perlu dirubah setelah ruhnya berangkat. Cukup diganti seprainya menjadi kain batik dan selimuti ia dengan kain kafan, pesannya saja. Beberapa cucu terus-terus menangis sambil membacakan do’a-do’a di kiri dan kanannya, mengelus-elus lengannya yang keriput. Membelai-belai dahi dan rambutnya. Tak ada unsur tidak sopan di situ karena beliau sendiri yang menganjurkan. Dahi adalah salah satu pusat trigger endorphin, morphin alami manusia. Rajin-rajinlah membelai dahi orang yang ingin kau buat bahagia. Salah satu dari ribuan petuah bijak kasih nenek dan ibu pada cucu dan anak.

Ia tersenyum penuh kelembutan seolah meredam kebahagiaan. Ia bahagia karena tahu waktunya hampir tiba. Pertemuan yang ia nanti-nanti sejak Cahaya itu mulai menerangi hari-harinya. Ada terbersit kekhawatiran apakah cukup amalannya, apakah masih ada dosanya yang belum dipohonkan ampun? Tapi tak lama ia menghela nafas lega bahwa ia hampir saja lupa Tuhannya Maha Pengasih lagi Penyayang, juga Maha Pengampun. Ia kembali menata benaknya yang masih ditingkahi si Setan yang semakin kerdil di hadapannya. Set otak: Berpikir Positif akan Tuhanmu. Binasalah, wahai Iblis!

Hatinya penuh puja-puji terhadap Pencipta Semesta, berdetak tak sabar agar Izrail menjalankan tugasnya. Ia memberi senyum manis pada anak-cucunya. Terhembuslah selarik udara yang berbahagia menjadi yang terakhir menyusuri rongga dadanya karena ditempeli sebaris kata, ‘Laa ilaaha illallaaahh..’

Manusiaku, sampai bertemu lagi di akhirat nanti. Terimakasih untuk 76 tahun Bumi kau mengajariku betapa Allah telah begitu baik menyusun rencana. Betapa tidak mudah menjadi manusia. Tanpa perlu mengikuti jejak Harut dan Marut. Aku telah jatuh cinta. Tapi aku tahu diri. Cintamu untuk-Nya. Untuk keluargamu yang selalu kau doakan dan nasihati agar dapat berkumpul bersama Nanti. Untuk suamimu yang kau kasihi sepenuh hati karena tidak hanya membiarkanmu melangkah sendiri tapi kadang menggandeng, menyeret bahkan mendorongmu agar benar jalurmu menuju Tujuan yang sama. Sudah ada yang ingin kau temui di sana. Mungkinkah aku kan termasuk?

Aku hanya bisa bersyukur. Berterima kasih untuk setiap senyum manismu di akhir sholat dan salam penuh makna untuk kami di sisi kiri dan kananmu. Aku tahu kok, isi hatimu ketika itu. Karena aku mengenalmu sejak dulu.

Suatu Senja di Jl. Surabaya

Jihan berdiri sambil merapihkan roknya, kemudian berusaha meraih pegangan di atasnya, berjinjit. Belum sempat menggenggam pegangan, MetroMini direm mendadak. Jihan terkesiap. Tangan Jihan cepat meraih apa saja yang dapat dijadikannya pegangan. Alhasil, tali ransel pemuda yang duduk di sampingnya menjadi korban. Keduanya terdesak oleh gaya kinetis bis. Pemuda itu nyaris mencium pegangan besi yang juga berkarat pada bangku di depannya, jika ia tidak cepat-cepat menahan dorongan tubuh Jihan.
“Maaf.” ucap Jihan sungkan.
Pemuda yang sejak tadi sibuk dengan smartphone-nya itu hanya mengangguk lalu kembali menekuni situs messenger.

Dengan hati-hati Jihan berjalan ke bagian depan MetroMini. Tempat perhentiannya masih 100 meter di depan.
“Surabaya ya!” ujarnya lantang agar terdengar oleh supir.

——————————————————————

Handi mengangkat kepala. Diamatinya gadis yang menubruknya tadi. Entah kenapa suaranya begitu familiar. ‘Criing!’ smartphonenya kembali memanggil. Diacuhkannya. Gadis itu membelakanginya, rambutnya lebat berombak, tubuhnya pendek dan sedikit chubby, kulit lengannya putih. Handi berharap gadis itu menoleh, membenarkan dugaannya.

Lampu lalu lintas berubah warna dan MetroMini berhenti.

Saat gadis itu turun. Handi menangkap sisi kiri wajahnya dan dugaannya benar!
“Jihan!”
Itu Jihan, gadis yang ketika kelas 4 SD hingga tamat SMP ditaksirnya diam-diam.

——————————————————————

Jihan menoleh mendengar namanya dipanggil. Urung turun, ia cari sumber suara itu. Pemuda yang ditubruknya tadi! Jihan berusaha mengingat-ingat siapa dia dan bagaimana pemuda itu tahu namanya.

“Oi, Neng! Jadi turun ngga?!” bentak supir MetroMini tak sabar. Lampu lalu lintas sudah berubah warna lagi. Dan klakson sudah mendesak dari sana-sini.

“Eh, iya.. Maaf..” panik Jihan turun, hampir-hampir menginjak roknya sendiri.

——————————————————————-

MetroMini beranjak meraih kecepatan, Jihan dan Handi saling tatap. Di mata Handi ada rindu yang kembali menggedor memaksa masuk. Hidungnya yang bangir, kumis tipis yang seharusnya tak terlihat andai saja kulitnya tidak demikian putih. Putih yang memberi kontras luar biasa indah hingga dapat menonjolkan warna bibir merahnya yang menggoda. ‘Jihan..’ bisiknya pada diri sendiri.

Di mata Jihan, Handi melihat tanda tanya. ‘Ah, yang benar aja. Masa gadis sepopuler dia ingat siapa gue. Wajar aja mukanya bingung begitu.’
Jari telunjuk Jihan menempel lucu pada dagu. ‘Aha, kebiasaan berpikirnya sejak SD belum berubah.’ Handi tersenyum. Makin lebar senyumnya manakala melihat gerakan bibir Jihan dan telunjuk Jihan yang mengacung sesaat sebelum MetroMini yang ditumpanginya benar-benar berlalu dari hadapan. Gerakan yang kira-kira berbunyi, ‘Handi?’

‘Criiinng!’

Burung-burung di dada Handi serentak terbang menghilang manakala telepon genggamnya berbunyi dan menampilkan tulisan:

Erika93: Ayang? Kok ga dijawab-jawab sih? U_U

Persetan

Adalah kegelapan yang menelanmu bulat-bulat. Dengan tangis yang kau rasa dibuat-buat. Ingin kau berteriak kuat-kuat, “PERSETAN KAU TUHAN”

Lalu kau coba ambil wudhlu, kenakan sarung terbaikmu. Berdiri mengucap takbir. Tapi teringat hidupmu yang tak kunjung menentu. Amarah itu makin menggebu.

Ia yang katanya tak membebani seseorang melebihi dari yang disanggupi, bahkan akan menjebloskanmu ke neraka jika kau nekad bunuh diri.

Di mana cinta-Nya? 
DI MANA??? 

Sholatmu penuh amarah. Ayat-ayat dibaca tetapi tetap dengan dengki. Kau lihat ini Raqib? Catat semua ini Atid! Jangan tunggu saya taubat sebab semua sudah terlambat! 

Dzikir terasa melubangi tiap-tiap buku jari. Panas neraka sudah membakar diri. Tapi kau tetap menyebut Asma-Nya berharap belas kasih yang tak kunjung dihantarkan-Nya. 

Lalu kau raih Kitab Suci al Quran. Berharap disana kan temukan jawaban. Tapi hatimu tetap terbakar panas. Kumpulan kertas itu kauhempas.

Segala penyakit yang menggerogoti hati sedang berpesta menyantap kendali diri. 

Mana cahaya? 
Mana cinta? 

Mengapa Kau membenciku begini rupa?
Kau yang membuatku ada. 
Kau yang membuatku ada. 
Kau yang membuatku ada.
Kau yang membuatku ada.
Kenapa tidak Kau bunuh saja?

Ampun. Ampun. Ampun. 
Jangan siksa aku lagi Tuhan. 
Pekikmu dalam hati. Hati yang diliputi benci.

Lalu sudut matamu menangkap sosok seorang kakek, duduk di teras mesjid. Kurus dan bungkuk dilapis pakaian lusuh.

Ia relakan sepotong rotinya untuk seekor kucing. 

Kucing itu hanya mengendusnya lalu pergi. Serpihan roti yang dipungut lagi oleh sang kakek untuk dimakan. 

Kakek itu tidak mengeluh. 
Ia ikhlas saat memberikan rotinya
Ia ikhlas saat harus memakannya

Kakek bodoh pikirmu. 
Sesuatu menetes darii matamu.

Jejak Jarak

Vanya menekuk kaki hingga mampu mencium lututnya sendiri di atas kursi lipat merah. Sendiri di sudut locker jurusan. Tangan kanannya memuntir-muntir pensil mekanik, bibirnya bergerak-gerak menyanyikan lagu yang didengarnya pada iPod. Sepenggal-penggal, sebentar lantang sebentar lirih. Album itu baru dibelinya kemarin sore dan ia masih belum begitu hafal lirik-liriknya.
Tangan kirinya menelusuri kamus Webster super tebal, mencari arti kata ‘obnoxious’. Mulutnya kini membentuk huruf ‘o’.. “Oo.. Oo.. Ob.. Nah! Obnoxious! Gotcha!” ia berseru.

Dengan hati-hati dan teramat rapih, ia menyalin kata tersebut beserta artinya dalam sebuah buku notes kecil. Notes khusus kata-kata yang baru diketahui artinya itu sudah hampir penuh. ‘Obnoxious’ adalah kata dengan nomor 305 di depannya.

Di teras locker Jurusan Sastra Inggris, sedang ada konser dadakan Pak Arief Rahman dengan gitar klasik milik Joko, anak Sastra Perancis. Sinar senja menggelitiknya dari luar jendela. Vanya akhirnya mengalah dan memutuskan untuk istirahat sejenak dari bacaannya. Bergabung dengan teman-temannya. Setelah mematikan iPod, dia kumpulkan buku-buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan kampus. Gabriel Garcia Marquez, Kafka, Shakespeare. ‘Untuk kampus yang berhasil masuk 100 kampus terbaik sedunia, kenapa buku-bukunya macam artefak saja?’ benak Vanya suatu ketika. Tapi tak mengapa. Toh, buku-buku yang dipinjamnya adalah Masterpiece kelas dunia dan yang namanya mahakarya takkan lekang oleh jaman. Pasti ada sesuatu yang bisa diperolehnya. Kata-kata baru untuk menambah koleksinya. Bukan sekedar mempersiapkan diri sebelum Ibu Ani, pengampu mata kuliah English Lit. menggelar tanya. Melainkan pemacu semangat belajar antara dirinya dan Sakai.

♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦

Sakai adalah anak bawaan dari ayah tirinya. Tak lama setelah Ayah Vanya meninggal, ibu dilamar. Pak Hadi adalah teman ibu semasa SMA, ia pun telah menduda. Berbeda dengan Ibu Vanya, Pak Hadi menduda sejak hari Sakai dilahirkan. Vanya berusaha untuk bersikap dewasa, berusaha mengerti kebutuhan ibunya, berusaha mengingat kata-kata terakhir Alm.Ayahnya untuknya, “Bahagiakan ibumu, nak.” kata-kata yang pada hari-hari buruknya, justru diartikan Vanya sebagai tanda bahwa cinta Ayah pada dirinya tidak seberapa.

Sakai yang pembawaannya tenang justru mengisi lubang yang menganga di hati Vanya sejak Ayahnya pergi. Bermula dari Sakai yang berhasil menemukan tempat persembunyian Vanya di sore hari. Tempat jingga dan pink menari dengan awan-awan yang melambai pada matahari yang beranjak pamit. Dengan gaya yang tak pernah sama setiap harinya.
“Geser.”
“Ganggu aja sih.” tapi Vanya tetap menggeser pantatnya di atas tikar jerami yang digelarkan untuknya oleh ayah dulu sekali. Berdua memang lebih terasa pas.

Angin. Adzan. Serpih-serpih mentari yang terepih lalu, damai.

/Angin, sampaikan salam untuknya di sana / Jika gelap, pinjamlah cahaya senja yang hangat untuk menerangi ruangnya / Katakan, anaknya sangat merindukannya. Ia baik-baik saja. /

Sakai berpuisi? Sosok hitam dan pendiam ini? Berpuisi? Tetapi, Vanya sadar puisi itu belum tentu untuknya, sebab Sakai pun telah kehilangan Ibunya.

“Permisi dong, gue mau turun.” tanpa melihat Sakai, Vanya meminta.
Sakai memiringkan tubuhnya agar Vanya bisa lewat. Membisu.
Hanya getar yang menyelinap tak tahu malu saat tangan Vanya tanpa sengaja memegang pundaknya berusaha menjaga keseimbangan.

♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦

2 bulan pertama memiliki abang memberi rasa baru pada ruang gerak Vanya. Ia kini tidak sembarangan keluar masuk kamar mandi berkemben handuk. Ia jadi lebih sering menyisir rambut dan saat makan pun Vanya sebisa mungkin tidak menekuk sebelah kaki ke atas kursi, kebiasaannya selama ini.

2 bulan saja Sakai menempati rumah Ayah Vanya. Ia kembali ke Jakarta, menempati paviliun rumah lamanya yang kini beralih fungsi jadi kost-kostan. Sakai diterima di UI. Vanya di UGM. Lucunya keduanya ternyata memilih jurusan yang sama.

“What? Lo punya dosen keren kayak gitu? Kirim ke sini!” sahutnya sore itu, saat Vanya mengirim BBM berisi suara Pak Arief yang menyanyikan lagu Edwin McCain yang ‘I’ll Be’. “Hohoho, No Way, Jose!” balas Vanya dengan emoticon mencibir. “Pak Arief Rahman, dosen gondrong berhati nyaman”, Vanya sering menyebutnya, sering ikut nimbrung bersama mahasiswa-mahasiswa yang males pulang ke rumah atau kost-kosan dan malah gitaran sampai adzan Magrib. Kegiatan yang belakangan menggantikan sore-sore Vanya di atas atap tempat jemuran. Tanpa Ayah, dan kini tanpa Sakai, tempat itu terlalu sepi. Lucunya, berkat Blackberry di tangan rasanya Sakai selalu dekat dengannya. Vanya hanya takut mengartikan hubungan mereka selain yang tertera pada kartu keluarga.

♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦

Sakai berbaring di atap paviliun yang dikreasikan mirip sekali dengan jemuran rumah Jogja. Blackberry-nya diletakkannya di dada. 2 bulan lagi bulan puasa. Ia pungut notes vocabularynya yang sudah lusuh karena dibawanya kemana-mana. “Peripheral” adalah kata nomor 305. 2 bulan lagi bila sudah genap 365 kata, buku itu akan berpindah tangan. Kelak di tangannya akan ada buku catatan milik Vanya.

Ditekannya kembali tombol play pada lagu yang dikirim Vanya lalu menikmati kecup terakhir mentari untuknya hari ini.

Tell me that we belong together,
Dress it up with the trappings of love.
I’ll be captivated,
I’ll hang from your lips,
Instead of the gallows of heartache that hang from above

Ucapan Ultah Untukku 3 Tahun Lalu. (dulu dia jauh lebih dewasa)

For 27 years of life. 27 years of breathing. 27 years of eating. Sleeping. Playing. Exploring. Learning. Needing. Becoming.

Our culture treats women like goods. Why am I saying this? Because, I feel the pressure society gives to a 27 year old single woman. Especially from my dear mother. I know she wants to see me happy, she wants to make sure I’m safe in someone else’s arms before she leaves. It’s not that I don’t appreciate her concern. But, it seems I’m making her anxious, sad, and impatient. And it’s all because our patrilinnear society. It’s not that I don’t believe in the sanctity of a marriage. I know for a fact that a woman’s capacity to love and protect her family is best only in a legal institution called wedlock. But, somehow, I just don’t agree with the ‘time limits’ our people set out for us (women). FYI, our future and destiny is not our’s to choose. We can plan, we can try, but The Big Boss Upstairs calls the shots for us.

Happy Birthday, Dian Harigelita.

Let’s have a brilliant 2007, shall we?

Love, Dian Harigelita

Aku dan Gadis Hujan

Dia yang membukakan mataku akan tingkah laku hujan. 180 derajat mengubah cara pandangku yang sedari kecil membenci hujan. Cinta memang begitu. Mengubah kita seperti yang ia mau. Ia, ya cinta itu.

Pada kerudungnya singgah buli-bulir rintik lucu mirip manik-manik, yang sejurus kemudian meresap menghilang. “Sepertinya hujan sedang berada di pihakmu.” ia menunduk sambil bersusah payah menjaga jarak di bawah canopy sempit yang melindungi kita dari hujan. “Fine. Aku angkat tangan deh.” selorohku sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. Ubun-ubunnya persis di bawah daguku. Wajahnya tak terlihat tapi besar kemungkinan sedang tersipu. Dan mau tak mau bisa kurasakan hangat tubuhnya, menghidu aroma pengharum setrikanya. Dalam hati aku berkata, ‘Jika surga hanya sebegini, aku ikhlas.’

Lama-lama lenganku terasa pegal. Pemilik kerudung di depanku malahan asyik menadah tetes-tetes hujan dengan tangan.
“Dik, pegel dik.” ucapku mengiba.
Ia menoleh ke belakang.
“Lah? Dari tadi Mas begitu terus?”
Aku mengangguk layu. Memijit-mijit otot lengan yang pegal.
“Hihihi siapa yang suruh?”
“Ngga ada.”

******

Darinya aku tahu kalau tetes hujan tidak seperti yang selama ini digambarkan.

“Bukan begitu Mas.” protesnya saat aku mencorat-coret buku sketsanya di Bakoel Koffie suatu hari.
Diraihnya pensilku lalu membuat beberapa bulatan. Dari yang kecil sampai yang agak besar.
“Kalau gerimis, bentuknya seperti ini. Ukurannya kira-kira 0,1 milimeter. Jika lebih kecil dari ini biasanya partikelnya akan pecah bercampur udara. Nah semakin besar diameter tetesannya ia akan berbentuk seperti setengah bulatan, disebabkan tekanan udara di bawahnya.”
Malamnya aku cek di wikipedia dan ia benar sepenuhnya, bahkan situs ensiklopedi itu tak mampu bercerita tentang hujan selengkap dirinya.

******

“Kenapa kamu begitu menyukai hujan?” tanyaku pada suatu hari yang cerah, saat ia malah menyeletuk merindukan hujan.

“Hujan itu baik. Ia ada untuk mereka yang sedang berduka. Membasuh sedih, melarutkan pilu. Saking baiknya hujan, ia takkan kesal pada mentari yang ingin cepat-cepat meredakannya. Ia sambut matahari dengan suka cita spektrum cahaya.”

Tak jarang kurasa, rasa sukanya terhadap hujan terlalu berlebihan.

Sebulan kemudian kami tak lagi berpacaran. Namun pemahamanku akan hujan mau tak mau telah tertanam dalam-dalam. Aroma aspal yang menguapkan tetes-tetes pertama hujan selalu memicu benak untuk membuka file teduh senyumnya di pelupuk mata.

Entah siapa yang menjadi ‘matahari’ nya.

*******

“Nak, tetes hujan yang asli bentuknya tidak seperti itu… ” bisikku pada anakku sambil meminjam pensil warnanya, “Sini, Ayah ajari.”
“Ah, Ayah nggaya. Taunya juga dari Ibu.” celetuknya dari sisi lain tempat tidur.

Gadis Yang Sendirian Di Kafe

Itu aku.

Dengan rambut lurus sebahu. Sebuah buku tertutup di pangkuanku. Aku sedang menunggu seseorang. Berharap tak terlihat betapa tegangnya diriku. Betapa fasih doa-doa yang mengalir di balik bibirku yang terkatup.

“Dik, aku pengen ngobrol sama kamu. Di Coffeeteria, bisa?”

Singkat saja smsnya. Namun, isi kepalaku mampu dibuat berantakan olehnya. Aku berpikir untuk menjeda waktu sebelum membalasnya. Tetapi buat apa? Supaya dia tidak curiga? Menolaknya bukankah hanya memperpanjang masalah?

Tentu saja ia sudah tahu rahasia kami. Buat apa ia ingin bertemu denganku empat mata saja? Matilah, aku pasti habis didampratnya.

“Boleh kak, tunggu ya?” ibu jariku bergetar menjawab smsnya.

Gadis yang duduk sendirian di sudut kafe itu aku. Menunggu istri bossku.

Minggu, Mama, Pantai, McDonalds.

Wanita Asia Tenggara itu membiarkan rambutnya ditiup angin sore yang membuai. Sisa-sisa air dan angin laut membuat rambutnya berjumput-jumput. Di bahunya menggelantung tas besar hijau toska bertuliskan Le Bag, seolah yang membaca tidak mengerti bahwa yang disandangnya adalah sebuah tas, orang Perancis terutama sebab mereka suka kekeh soal bahasa :p. Ia mengenakan blus bunga-bunga biru dan celana jins 3/4. Langkahnya anggun meski mendorong stroller. Tubuhnya tetap memikat walau empat manusia pernah menghuni rahimnya.

Tiga anaknya yang lain berlari-larian menyusuri King’s Street menghampiri kotak-kotak brosur yang menyediakan buklet-buklet pariwisata. Bukan keterangan mengenai hotel-hotel mewah tak terjangkau yang mereka buru, melainkan kupon ‘Free Fries and Coke for purchase of 1 Burger’ yang terselip di salah satu halaman buklet. Promosi McDonalds untuk para turis, kenyataannya kami bukan turis. Empat buklet saja cukup, ujarnya pada anak keduanya yang terlihat hendak mengosongkan kotak dimana buklet-buklet tersebut tersedia.

Sambil duduk di salah satu sudut restoran, kami menyantap hamburger, french fries dan coca cola dengan puas. Di luar sana, matahari terbenam di sepanjang pantai Waikiki tidaklah begitu berarti. Ini adalah pungkasan kegembiraan akhir pekan kami, kira-kira duapuluh tahun yang lalu di Honolulu.

Minggu siang, setelah kakak-kakak kembali dari berjualan koran dengan sekantong tip di tangan, aku dan Papa kembali dari laundromat dengan sekeranjang penuh cucian yang hangat, harum terlipat, dan Mama yang telah menyiapkan bekal dan peralatan dalam Le Bag, tas tempurnya. Roti isi selai kacang dan jeli, air minum sebotol, handuk-handuk lebar, baju renang anak-anak, baju ganti adik bayi, popok, sabun, shampo, kacamata renang, ban pelampung yang masih kempes, snorklers, ember dan sekop plastik.

“Pa! Pergi dulu ya! Assalamu’alaikum!” serempak kami yang sudah kebelet berenang berseru dari muka pintu apartemen tanpa menunggu jawaban. Sendal jepit terdengar berbalapan menuruni tangga lalu menghilang sesampai mereka di parkiran. “Waktu tenang telah datang,” benak Papa “satu jam istirahat, lalu lanjut menulis tesis. Zzzz…”. Ini adalah pungkasan kegembiraan Papa, kira-kira duapuluh tahun yang lalu di Honolulu.

Cinta Sepasang Cincin

“Setengah jam saja ya, Pak.”
“Terima kasih, suster.” 

Ia duduk di balik meja berwarna lavender. Sibuk menulisi sebuah notes. Matahari pagi menyiraminya dari sisi kiri, membuat rambut ikalnya yang hitam tergerai bagai tersambar api. Bagai lukisan Dewi Yunani.

Kutarik perlahan kursi di depannya. Ia mengangkat wajah, menatapku, tersenyum, lalu kembali asik dengan tulisannya. Tangan kanannya diulurkan kepadaku. Seperti biasa. Ia ingin aku memainkan cincin yang melingkar di situ.

Kuraih tangannya dengan kedua tanganku. Menciuminya. Mengenang wangi vanilla yang dulu mewarnai hari. Sebelum perampokan sadis yang merenggut segala miliknya kecuali sejumput nyawa. Itupun rusak. 

Di balik kaca, istriku yang sedang hamil tua menunggu dengan sabar. Cincin yang sama melingkar pula di sana.