Gemintang

Berjingkat-jingkat di lorong gelap lalu dengan hati-hati kuputar kunci pintu kos-kosan. Masih jam 4 pagi. Daster kuning motif tabrakan kotak-kotak bunga-bunga dan sepasang sandal jepit. Harum cengkih dari pabrik balsem adalah khas hari-hariku di Sagan.

Kutelusuri sepi. Genangan-genangan sisa dagangan warung mi Godog dan sop Kaki Kambing yang dikerapi semalam menebarkan bau yang tak lagi sedap. Koran kubeli hanya sebagai alibi.

Langkahku tegas ke Utara, melewati Panti Rapih, Bunderan untuk tiba di ujung Boulevard.

Kusapa beringin itu dengan menyentuh sehelai dari ribuan daunnya.

Kulepas sandal jepitku.

Koran Minggu dan sandal kupegang dengan satu tangan lalu melompat kecil melewati parit ke atas rumput Graha Sabha Permana. Sejuk embun menyapa kaki.

Kutatap langit beribu bintang dengan sepasang mata berkekurangan.

Aku terus melangkah menuju tengah lapangan rumput.

Tubuhku mulai terbiasa dengan dinginnya udara, kembali kutengadah.

Kurasakan betapa kecilku di dunia kemudian terduduk, bersandar dengan kedua tangan sebagai penopang. Dengan serakah kunikmati kerlap-kerlip kuat dan lemah di atas sana, merah, kuning, putih, dan birunya mentari-mentari galaksi tetangga.

Kubaringkan tubuhku guna mereguk semua.

Airmata takzim mengalir luput memasuki lubang telinga.

Observatorium Jogja, 15 tahun yang lalu di bawah langit biru navy penuh konfeti Perayaan Kuasa Tuhan.