Kelahiran

“Bukan. Ini salah. Tak harusnya begini.” aku berusaha menenangkan adikku yang melolong di tempat tidurku. Tangisnya adalah campuran amarah, rasa bingung dan yang paling terasa adalah kehilangan. Aku sudah lelah berteriak. Karena apapun yang kukatakan atau perbuat tidak sampai padanya. Tidak akan pernah. Aku sudah mati. Membunuh diriku sendiri. Dan Mala masih saja bertanya.

Kupikir dengan mati, segala sakit akan berakhir. Segala tanggung jawab dan tekanan akan hilang.  Kelar.

Sejak dulu, aku tidak pernah percaya pada kelahiran kembali dan hidup setelah mati. Tidak masuk akal saja. Mati ya selesai. Titik. Tamat. Tanggung jawab hanya urusan dunia. Maka jika aku mati, ibarat menyadarkan diri dari mimpi buruk, segala yang tidak mengenakkan akan sirna. Surga? Neraka? Itu hanya akal-akalan para pemuka agama dan orang-orang berharap pada yang ‘eksternal’ untuk disalahkan atas segala kekurangan dan kegagalan mereka.

Ternyata aku yang keliru. Setiap ada yang menyebut namaku atau mengingatku, aku terlahir kembali.  Seperti terjaga dari tidur yang abadi dan diharuskan menyaksikan. Hanya menyaksikan. Jelas sekali, seolah aku ada di antara mereka. Tapi tak kasatmata.

Baba, Mama dan Mala tergelak mendengar Alan mengulang cerita ketika aku meniru gaya bicara dan tingkah Mbak Pia dan tertangkap basah oleh yang bersangkutan, yang karenanya aku didiamkan selama berbulan-bulan. Dan cerita ketika Mala dan aku mencuri mangga tetangga dan harus dibalur minyak tawon dan menahan gatal semalaman gara-gara ulat bulu belum lagi kena omel Baba dan Mama dan mangga hasil curian dimakan habis Alan.

“Kak Lara suka banget ngeledekin Mbak Pia. ‘Mbak Pia dari Jogja ya?’ trus Mbak Pia jawabnya lugu banget, ‘Iya, Non.’ trus, Kak Lara nanya lagi ‘nah, kalo Lumpia dari mana?’ Mbak Pianya belum ngeh kalo dikerjain, Kak Laranya udah ngeloyor pergi. Hihihi.” Mala menyeka airmata sambil melempar pandangan keluar jendela mobil. Tangannya yang kiri meremas lembut tangan Mama.

Tiap terjaga, hanya sakit yang kurasa. Awalnya mungkin bisa ikut ketawa-ketawa. Tapi, rasa kehilangan yang aku hadirkan begitu menusuk dengan caranya yang membingungkan.

Setiap Mama melihat Mala melakukan sesuatu yang baru dengan kehidupannya, ia akan mengingat ‘anak perempuannya yang satu’ lagi. Bertanya-tanya apa kesalahannya dalam mendidikku. Apa yang harusnya ia lakukan yang luput dilakukannya untukku. Tapi suaraku sudah kugadaikan. Dan hukuman ini akan terus berlangsung selama masih ada yang merasa kehilangan Lara.

 

#cubinoters

#NewVemberMenulis

#365derajat

Leave a comment