To Illustrate or Not To illustrate

Belakangan berpikir untuk menambah ilustrasi pada postingan di koprolkata ini.

Tapi menurutku di satu sisi ilustrasi adalah pencurian hak pembaca untuk berimajinasi.

Apakah maksud adanya ilustrasi itu untuk membantu pembaca dalam memvisualisasi cerita? Menambah bumbu estetis pada kisah? Atau semacam dekorasi? *ponders*

Sejak mulai membaca buku tanpa ilustrasi (baca: “buku orang gede” cie..) saya mulai menikmati kebebasan sebagai pembaca untuk membayangkan apa yang dideskripsikan oleh penulis. Menjadikan kisah itu sebagai milikku setidaknya selama ia dalam genggaman daya khayalku.

Barangkali jika dianalogikan, buku tanpa ilustrasi adalah sepeda tanpa roda bantu. Lebih ‘wuuushh’ larinya. You can feel the wind in your hair.

Lalu untuk blog. Apa perlu mencomot dari ribuan gambar yang tersedia dan tinggal menyalin-tempel alamat sumber dengan kata-kata manis ‘courtesy of’, dengan harapan apa yang dibayangkan penulis tidak disalahartikan oleh pembaca?

Entahlah. Barangkali aku salah.

Pengantar Pesan

Kami beroperasi dari sebuah ruko yang letaknya praktis strategis, di sebelah sebuah waralaba makanan cepat saji yang usianya jauh lebih tua dari kami. Kalau Anda sedang berada di sekitar Kampung Selo, carilah logo ‘m’ raksasa berwarna kuning nah, kami persis di sebelahnya. Siap mengantarkan apapun pesanan Anda.

Nama kantor kami “the essengers”. M-nya ke mana? Well, untuk mengirit listrik dan biaya neon keriting, sengaja kami posisikan ia di dekat logo ‘m’ restoran sebelah yang sebisa mungkin dari sudut manapun jadi terbaca “the m essengers”. Tapi itu biar jadi rahasia kami dan orang-orang yang berpikir di luar kotak lainnya. Takut yang punya resto sebelah marah. Hahahah!

Kami bekerja juga tinggal di sini. Di lantai dua ruko, kami tidur di antara properti dan kostum kami. Tiga springbed menempel tiga sisi tembok yang tersisa sesudah sisi tangga dan kamar mandi.

Punya Barry, yang bernama asli Samsulbahri, menghadap ke barat. Punyaku menghadap ke timur dan punya Chiko, iya ‘Chiko’, konon ia lahir sebelum orang-orang mulai menggunakan namanya untuk anjing. Jadi, ia memaafkan orang yang menuliskan nama itu pada secarik kertas sebelum meninggalkannya di depan pagar panti. Yang tak ia maafkan adalah tindakan mereka sesudahnya.

Oh ya. Kasur Chiko terletak di bawah jendela yang menghadap ke Selatan, ke parkiran lalu jalanan dan sejauh jendela itu bisa membingkai pemandangan.

Aku terbangun oleh sinar matahari yang menembus lubang-lubang ventilasi. Oranye kemerahan. Segera kusibak selimut, mencuri rokok Barry sebatang, lalu naik ke tempat jemuran. Satu-satunya kebiasaan yang masih kupertahankan sejak dari panti: menyapa matahari.

Senam-senam kecil dengan rokok terselip di bibir. Sun salutions. Dog pose. Tree pose. Fetal position. Direpetisi dua atau tiga kali. Seperti sembahyangnya orang Muslim.

Aku tak punya agama. Belum. Entahlah. Di panti mereka mendidik kami secara Islam. Tapi setelah agak besar aku tahu ada panti asuhan lain yang mendidik anak-anak asuh mereka secara Kristen, Hindu lalu Buddha. Apa dasar mereka memilihkan agama untuk kita ‘anak-anak tak bertuan’ seperti kami? Tidakkah akan lebih baik bila ada panti asuhan yang mengajarkan seluruh agama yang ada lalu pada umur tertentu membiarkan anak asuh mereka memilih dengan sendirinya?

Profesi kami adalah pengantar pesan. Pesan gembira, pesan duka, berita kelulusan, kabar kelahiran, salam perpisahan, ajakan kencan, ucapan selamat atas kenaikan pangkat, selamat ulang tahun, selamat hilang tahun, selamat hari jadi pernikahan, permintaan maaf bahkan mengantar surat cerai, semua siap kami lakukan untuk tua maupun muda dari yang masih hidup maupun dari yang telah tiada.

Barangkali Anda sudah bisa menduga alasan kami memilih profesi ini. Pula mengapa kami mengerjakannya dengan sepenuh hati.

Menulis Takdir

Tidak di bioskop, tidak di sofa ruang tamuku, posisi menontonnya selalu begitu. Duduk di ujung kursi bertopang dagu. Kalau penonton di bangku depan tidak protes, barangkali sudah ia sandarkan dagunya di bagian atas punggung kursi orang lain.

Seperti murid yang antusias menerima pelajaran di sekolah, itulah dia saat menonton film. Ada level dan dimensi lain yang ditangkapnya dan diselaminya setiap menonton film. Baginya, pelajaran hidup banyak bertebaran di film. Tak heran bila mendapatinya masih terpaku menatap layar perak yang mengalirkan nama-nama mereka yang telah bersusah payah menyajikan film itu untuknya dan jutaan orang lain di dunia.

“Kamu kenapa?” tanyaku khawatir. Waktu itu kami baru saja menonton ‘A Walk To Remember’ jaketku sudah jadi pengganti tisyu.

Ia hanya menggeleng. Masih dengan posisi duduknya yang antik. Dua, tiga menit kemudian baru dia bilang.

“Kadang kalau filmnya terlalu bagus butuh waktu untuk kembali ke realita.”

“Wah, itu baru yang nonton ya? Apa kabar para pemerannya?”

“Tanyakan pada Brad Pitt dan Angelina Jolie.” ucapnya sambil memungut kotak popcorn kosongnya. Bioskop nyaris kosong dan petugas-petugas kebersihan menatap kami dengan heran. Beberapa langkah di depanku ia menoleh, “Sorry about your jacket. Nanti ku-laundry-in deh.” ujarnya lalu terkekeh.

Malam ini sedikit berbeda. Ia terpaku pada layar televisiku tapi wajahnya sedikit kecewa. Kukira ia paling suka ending yang romantis tak terduga. Mangkok popcorn telah lama diletakkannya di atas meja. Padahal film yang barusan kami tonton termasuk genre yang paling disukainya. Seperti, ‘The Time Traveler’s Wife’ dan ‘Eternal Sunshine of The Spotless Mind’ kisah-kisah surealis-romantis.

Kali ini tentang seorang penulis yang dipertemukan dengan gadis yang direkanya dan apapun yang Ia ketik tentang gadis itu menjadi nyata seketika. Semacam playing god-lah. Di klimaks cerita ia terkena batunya. Menyadari dirinya bukan tuhan dan justru terlalu banyak kerusakan yang ia timpakan, ia akhirnya membebaskan gadis itu di halaman terakhir bukunya.

“Seharusnya endingnya di situ aja.” gumamnya setelah terlepas “trance”nya. Diraihnya mangkok popcorn yang terabaikan tadi dan seolah tersadar punggungnya butuh tempat bersandar.

“Iya,” ucapnya sambil meraup popcorn dan memasukkannya – biar kuralat- menyumpalnya ke mulut mungilnya. “udah aja. Selesai di situ aja pas Ruby dibebasin dan tulisannya jadi best seller.”

“Oh, maksudnya pertemuan di taman itu ngga perlu?”

“Iyalah. Maksa.”

“Kayak masakan kebanyakan bumbu ya?”

“Tul.”

“Well, not everything has to go your way, Miss.” kusentil hidungnya yang merah muda karena sempat terharu di bagian klimaks cerita.

“Film tak selalu bisa menghadirkan keajaiban novel dari mana ia diadopsi. Kekurangan di sana-sini pun kelebihan di sana-sini sudah pasti terjadi. Mungkin itu sebabnya beberapa penulis legendaris menolak “anak-anak” mereka diadopsi media lain.” tambahku sok tahu.

Ia terdiam sesaat, seperti membiarkan kata-kataku barusan meresap. Lalu kembali dengan celotehnya.

“Tapi tadi keren lho, pas adegan Calvin menulis dan memaksa Ruby berkata ‘I love your hair’ ‘I love your nose’ dan segala ‘i love your what-whats’ tadi. Tangannya yang kayak ‘STOP’ begini terus muter-muter. Teatrikal tapi kena banget.” ia pun tak tahan dan berdiri mencontohkan adegan tersebut. Meniru Ruby yang tak berdaya dikendalikan Calvin.

Orang yang begitu anteng saat menonton film bisa begini energik dan ekspresif beberapa menit setelahnya. Seolah-olah kehidupan rekaan itu telah mengisi ulang baterenya.

Barangkali dia tak pernah sadar bahwa yang paling kusukai dari menonton film dengannya adalah diskusi-diskusi sesudahnya. Kadang begitu mendalam kadang hanya konyol-konyolan saja.

Hmm, mungkin dia sadar juga.
Entahlah.
Semoga saja.

Memang, lebih banyak dia yang berpendapat tapi, sebetulnya aku yang lebih banyak ‘dapat’.

Tentang dia dan isi kepalanya yang menari-nari itu.

Dan karena itu secara langsung maupun tidak, ia adalah batereku.

Tiga Senjata

Hujan di pagi hari selalu bisa membuatku disorientasi. Matahari yang seolah absen bersinar dan suhu ruangan yang turun beberapa derajat adalah musuh pegawai kantoran paling hebat. Sadar akan menyesali perbuatanku nanti aku menekan tombol snooze pada alarm digitalku lalu kembali menarik selimut.

Dalam waktu 15 menit, aku sempat bermimpi mandi dan memakai baju kerja saat alarmku kembali berbunyi. Lelucon standar mimpi di pagi hari. Kali ini kesadaranku mulai kembali walau masih 3/4nya. Semalam aku terbangun sekitar jam 1 pagi karena batuk hebat yang harus diakui kehebatannya. Bercokol dalam tenggorokanku lebih dari 10 hari.

Ke dokter sudah, antibiotik sudah dihabiskan sesuai petunjuk. Tapi batuk gatal yang kadang menyesakkan dada ini terus memaksaku menyuarakannya sampai batas hendak muntah. Gag reflex. Aku pernah baca, di mananya, lupa.

Kupegang dahiku sendiri. Hangat. Tapi siapapun butuh tangan orang lain untuk memastikan demam tidaknya. Atau termometer. Itu yang belum kupunya. Ingatnya selalu saat sakit dan tak berdaya untuk ke mana-mana begini. Nanti kalau sudah sehat tak ingat untuk membelinya, meski sering keluar masuk toko obat untuk membeli suplemen atau jel rambut.

Yang kubutuh hanya termometer beling berisi air raksa. Yang saat digoyang-goyangkan sebelum dipakai harus sambil berdoa pada Tuhan agar tanganmu yang berkeringat karena demam tak membuat termometer kecil itu terlepas dan pecah berantakan. Entah mengapa, aku tak percaya termometer digital.

Batuk kembali membuyarkan pikiranku. Kulihat jam. Waktuku tersisa 40 menit untuk bersiap-siap dan sampai di kantor. Aku mencoba untuk duduk, tapi kepalaku seolah dipukuli puluhan troll. Troll yang lain menarik-narik kepalaku kembali ke bantal. Troll lainnya lagi melompat-lompat di atas perutku. Tak mungkin bisa kerja kalau seperti ini.

Kutelpon atasanku langsung, memastikan suara serakku terdengar olehnya. Ada kekesalan dalam suaranya tapi setidaknya ia mencoba tulus saat mengatakan ‘Get well soon, ya.’

Aku pun menuruti troll-troll yang menjadi bosku hari ini. Menarik selimut dan kembali tidur sampai serbuan batuk berikutnya membangunkanku.

Hujan sudah lama reda. Pagi sudah lama hilang. Hanya dengung kulkas dan suara pelan nafas AC yang terdengar. Beberapa troll masih berusaha menarikku kembali ke kasur. Tapi perutku memaksaku melangkah ke pantry.

Sisa pizza dua hari lalu dan salad 7-11 yang mulai berbau. Kututup kembali pintu kulkas. Daftar nomor telpon berjudul ‘In Case of Emergency‘ dipenuhi nomor-nomor 5 digit berawalan 14. Masa iya, mau sembuh kalau makannya hanya junkfood? Indomie? Kubuka lemari pantry, sahabat-sahabatku di kala bokek itu berbaris mengantri. Aku menutup kembali pintu lemari. Menggelengkan kepala yang masih berdenyut.

Kuputuskan untuk menyeduh teh. Setelah diisi teh panas mudah-mudahan badan ini mau diajak ke warteg ujung jalan. Jarum pendek jam di atas televisi berada di antara angka 4 dan 5. Pantas, lagu keroncong di perut mulai berubah jadi rock ‘n roll. Terakhir makan kemarin malam ditraktir Candra makan seafood di warung PKL di pelataran apartemen.

Tiba-tiba ponselku berbunyi.

‘Candra Kirana’

“Well, wadya know” angkatku, “was just thinking about you – Haha, don’t push your luck, Girl – iya, ijin sakit – batuk – Yup, yang itu-itu juga – hahaha *batuk* coba irresistiblenya sama cewek cantik gitu, bukan virus flu – iya deh, yang merasa cantik – belum nih, rekor baru dalam kehidupan seorang Okto Wiryawan kan?- Ohya? Apa tuh? Bentar lagi gue mau turun cari makan, kali aja bisa dibeli di supermarket bawah sekalian – bentar, bentar, gue cari pulpen sama kertas dulu – Lemon, noted. – *batuk* Madu kalo gak salah gue punya deh ntar gue cek lagi – kalau teh kebetulan lagi masak air. Tapi teh yang bagus buat flu yang mana lagi? Gue lupa – Ah! Ya ya! Teh hijau! Karena antioxidannya kan ya.. Kenapa bisa lupa sih? – ya, namanya juga lupa, karna ingat yang lain – Whatever. Smart ass. – Wew, gitu aja ngambek. Haram hukumnya ngambek sama orang sakit. Btw, udah sampai mana? Macet? Ya udah, yang sabar aja. – Ngga usah. Kemarin udah nraktir. Kasian kamunya. Cepet bokek. Ntar ketularan pula. – Iya – Iyaa – Iyaaa – Iyaaaaa, Mamaaaa! *batuk* – Hahahahaha! Lagian! – Thanks, dear. I feel a helluvalot better now thanks to who – Hehehe, love you too.”

Ada yang pernah bilang, ‘Fake it till you make it’ dan itulah yang selalu kulakukan setiap Candra mengakhiri pertemuan ataupun perbincangan dengan “Love you..”

Tanpa subjek. Aku pun menjawabnya tanpa subjek. Jadi yang me-“love” bisa siapa saja. Belum tentu dia, belum tentu aku.

Semoga aku bisa sembuh, dari masa laluku dan penyakit batuk terkutuk ini.

Peluit tekoku akhirnya berbunyi.

Lima Menit Kemudian

Nana bersandar pada punggung sofa dan melempar pandangan ke luar mal, ke arah orang-orang yang berbaris mengantri taksi juga orang-orang yang menunggu mobil mereka menghampiri. Sudah beberapa menit ia berusaha ‘menulikan’ telinganya dari perbincangan yang berlangsung seru di dekatnya. Oleh teman-teman Nina saudara kembarnya.

“Taruhan yuk!” ujar Nina saudara kembar Nana sambil terus menatap layar smartphonenya. Multi-tasking yang sama juga dilakukan oleh ketiga sahabat Nina. Ngerumpi sambil ngetweet, sambil ngepath, sambil main linepop, candy crush, narsis-narsisan di instagram dan kawan-kawan.

“Apa?” sahut Dea anteng, seakan tak tertarik.
“Sebentar. Taruhan ini hanya berlaku buat yang punya cowok friendzone. Yang mana Nana ngga punya, jadi ngga bisa ikutan.” celoteh Nina antara sok tahu dan mengejek sebelum melanjutkan aturan mainnya.

Merasa namanya disebut, Nana menoleh, memutar mata seolah berkata, ‘please deh’. Nina yang melihat gesture kembarannya membalas dengan meleletkan lidah.

“Jadi, siapa yang cowok friendzone-nya paling cepet nyamperin kita di sini pemenangnya dan berhak menghukum dalam tanda kutip yang lainnya.” Nina melanjutkan.

“Bentar-bentar. Ngga fair dong. Rino dan Emil kantornya di Selatan. Ngga mungkin bisa cepet nyampe sini.” Hani protes.

“Itu DL. Derita Lo.” sahut Chika.

Hani memanyunkan bibirnya sambil kembali asik dengan gadget kesayangannya.
Nana tersenyum sambil terus menatap ke luar jendela. Ada perempuan berwajah Indonesia digandeng pria bule paruh baya. Semoga cewek-cewek ini tak melihat ke arah yang sama dan mulai merendahkan perempuan Indonesia itu.

Seperti halnya dengan para penyuka sejenis, Nana penganut kebijakan, “live and let live.” Dan itu pula barangkali sebabnya Ia tak menolak ajakan saudara kembarnya untuk kongkow-kongkow hedon seperti ini. Sekalian menenangkan hati orang tua yang mulai khawatir Nana berbeda dengan anak SMA pada umumnya.

Apa salahnya? Bukankah semua manusia diciptakan berbeda-beda? Kenapa harus seragam? Bukankah hidup diciptakan beragam? Apa salahnya punya anak yang tidak sesuai stereotype ABG yang mereka tahu? Bukankah lebih seru menghadapi kejutan-kejutan tak terduga? Katanya anak bisa jadi berkah bisa juga jadi cobaan bagi orangtuanya. Nana lebih memilih menjadi yang kedua.

“Punya suami bule enak kayaknya ya?” tiba-tiba ia berkata di meja makan suatu pagi. Nina keselek jus jeruknya dan Nana berlagak seperti saudara yang baik menepuk-nepuk punggung Nina.

Ayah menurunkan koran yang setiap pagi memagari ‘kehadirannya’ dan hampir mengucapkan sesuatu saat Ibu menahannya dengan menyentuh paha Ayah di bawah meja. Dan mencoba mengambil kendali situasi.

“Ohya? Bagaimana tuh enaknya?” tanya Ibu tersenyum bijak sambil menuangkan kopi ke cangkir.

“Kayaknya enak aja. Kan Nana tadi bilang ‘kayaknya’, Bu.” sahut Nana ringan. Seringan hampir seluruh ucapannya belakangan yang bikin jantung orangtuanya jumpalitan.

“Ya, kan harusnya ada pembanding dong. Sampai kamu bisa mengatakan sesuatu enak atau tidak enak.” Ayah angkat bicara, gregetan mendengar jawaban asal-asalan dari Nana.

Nana berlagak mikir. “Enaknya..” ia memulai “..bisa diajak tinggal di negara asalnya. Terus, bisa punya anak indo yang lucu-lucu. Uang belanjanya dalam bentuk dollar.”

“Tapi ngga sunat.” Nina menyeletuk.

“Kalau cinta pasti apa aja bakal dilakukan. Kecillah kalau cuma sunat mah.” Nana menyahut asal-asalan. Puas dengan ‘hasil karyanya’ pagi ini, ia mohon pamit ke sekolah tanpa menunggu Nina yang masih berusaha mencari argumen balasan.

“Gue ikut.” ucap Nana setelah Nina selesai menjelaskan peraturan. Intinya peraturannya hanya siapa yang cowok friendzonenya yang paling cepat datang, itu yang menang. Konyol memang.

Dea, Nina, Hani dan Chika menoleh ke Nana yang sejak tadi seolah tak menyimak obrolan mereka.

“Kenapa? Boleh kan?” tanya Nana kalem.

“Emang punya?” Dea bertanya dengan polosnya berakibat kakinya ditendang di bawah meja oleh Chika.

“Oke. Siapkan HP masing-masing. Pokoknya begitu ada yang dateng, dia yang menang.” Nina memberi aba-aba lalu menghitung sampai tiga.

Hanya Nana yang tidak menelepon siapa-siapa. Ia merasa cukup dengan menuliskan pesan pada whatsappnya.

Lima menit kemudian, seorang pria bule datang menghampiri rombongan mereka.

Nana berdiri.

“Girls, ini David. David, as you can see that’s my twin sister, Nina and these are our friends.” ucapnya dengan bahasa Inggris Brittish yang baru kali ini didengar Nina. “Dan santai girls, sebetulnya gue yang difriendzone-in sama David.”

“Liar.” ucap David terkekeh. Lesung pipit pada wajahnya yang bule campur Hispanik, membuat mereka merasa rugi berkedip. “We’re dating.”

“Tapi? K-kok cepet amat? Apah? Dating!?” tanya Nina tergagap.

“Kantornya di sebelah. The Plaza. Ah, ngga kok. Itu bisa-bisanya David aja.” jawab Nana santai.

“Kenal di mana?” tanya Chika penasaran.

“Rahasia.” jawab Nana sambil mengedipkan sebelah mata.

“Sekarang enaknya kita hukum apa mereka?” tanya Nana sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan melirik jahil ke arah Nina.