Ulang Tahun Nana

Aku asyik mengamati keadaan rumah kami sore ini. Ruang serba guna tersiram cahaya senja kuning, sekuning gigi anak-anak yang duduk mengelilingi kue tart merah muda yang cantik. Wajah mereka begitu ceria karena sepuluh menit lagi adzan Magrib akan berkumandang. Di hadapan tiap anak sudah ada sekotak Happy Meal untuk berbuka. Pak Ustadz sedang membacakan doa untuk Nana. Anak perempuan yang kini matanya berkaca-kaca di balik kacamata. Ayah dan Ibunya duduk jauh di belakang. Khawatir menampilkan kasih-sayang orangtua anak yang mungkin tak pernah dirasakan oleh anak-anak lain di rumah ini, termasuk aku, pun agar Nana bisa berempati.

Namaku Nana dan seharusnya aku juga milad yang kesepuluh tahun ini, tapi entah tanggal berapa.

Will You Still Marry Me?

Pelayan dengan anggun berlalu setelah kembali mengisi penuh gelas kami dengan anggur putih. Sekali lagi kami bersulang.
“To us.” katanya dengan senyum teramat lembut yang rasanya baru kali ini kulihat.
“To us.” sahutku berusaha mencerminkan senyumannya dengan suara agak bergetar.
Lembut bunyi baby grand piano di sudut ruangan menyatu dengan denting peralatan makan mahal di sekeliling. Untuk beberapa saat kami terdiam. Tepatnya aku terdiam. Dia menunggu.
Matanya yang jenaka kembali mengejar bola mataku yang sedari tadi berusaha menghindar. Karena takut tertangkap dan dimintai jawaban. Jawaban atas kotak berwarna hijau toska yang tergeletak menganga mempertontonkan seraut berlian pada lingkaran emas.
Seharusnya, sejak awal kami berkenalan sudah kukatakan, “Namaku Cindy, dulunya pernah lelaki.”

Ke Tempat Kau Berada

Hanya dengung mesin pesawat dan suasana interior yang remang-remang. Aku dan Jana terjaga, pandangan kami mengarah pada petak kecil jendela di mana bulatan besar berwarna kuning mengiringi perjalanan kami. Malam datang lebih cepat. Mala terlelap di pangkuanku. Jam di layar TV mini menunjukkan pukul 22.34.
“Ayah?” bisik Jana pelan.
“Iya, nak?”
“Kita mau ke mana lagi? Jana lupa.”
“Kita mau ke Tokyo, Nak. Ke sekolah baru Ayah.”
Heran. Rasanya saya sudah menjelaskan padanya tentang ini berkali-kali, namun Jana selalu saja bertanya lagi dan lagi.
Jana menunduk memainkan resleting di ujung jaketnya.
“Jana pikir kita mau ke tempat Bunda.”
“Jana tahu kan, Bunda ada di mana?” kubelai lembut ubun-ubunnya lalu kukecup.
“Di surga.”

Sky

Iseng-iseng membuka mailbox email yang lama, Lila tak begitu terkejut menemukan beberapa email dari beberapa pria-pria yang pernah mengisi hari-harinya. Baik dan bodoh beda tipis mungkin. Mungkin juga Lila adalah keduanya. Pria-pria itu dengan seenaknya keluar-masuk kehidupan Lila, seakan Lila hanya sebuah persinggahan. Sebuah hostel yang nyaman. Yang memberi kehangatan dan menampung semua keluh-kesah mereka akan kehidupan.
Dari sekian email yang masuk, Lila memutuskan menjawab milik Mas Dhanang. Singkat saja.

‘Wa’alaikumsalam wr. wb. Mas. Wah, kali ini Kobe ternyata. Dekat dengan Mesjidkah? Sudah kerasan belum? Sudah ketemu ‘saudara-saudara’ setanah air kan? Hm..untuk tips-tips menghindar dari culture shock, bisa-bisa email ini ngga kelar-kelar. Intinya di manapun kita harus menunjukkan itikad baik. Niat yang baik, bagaimanapun juga hasilnya pasti baik (eventually) *mendadak berasa tua nih*. Kali ini S3 kan? Semoga kali ini berangkatnya sudah ‘bersama’ istri yang cantik dan seksi. Kalau belum, malam ini juga Lila akan packing. Hehehe.. Take care, Wassalam.’

-SENT-

“Lila!”
“Ya, Bu?”
“Bisa tolong Ibu?”
“Ya?”
“Tolong ke toko buah, persediaan belimbing Bapak habis.”
“Siap, boss.”

Toko buah yang dimaksud hanya 15 menit jalan kaki dari rumah Lila. Sambil mendengarkan playlist kesayangannya Lila menikmati udara malam yang sedikit berpolusi. Langkahnya mantap dan ada segaris senyum yang menyembul malu-malu dari bibirnya. Biar bagaimanapun, masih menerima email dari ‘mereka’ menandakan Lila masih memiliki arti karena bersedia menjadi pendengar yang baik.

Dipilihnya belimbing yang mulus dan sedikit hijau. Bapak suka yang masih sedikit kecut. Tiba di kasir Lila terus menikmati musik. Kepalanya tanpa sadar bergoyang mengikuti irama. Sambil menunggu antrian, Lila memandang berkeliling. Ia lalu merasa ada yang memperhatikan.

Lila terkesiap.
“MAS HENDRIK!” karena telinganya disumpal earphone, Lila tak sadar kalau volume suaranya kencang sekali. Seisi toko melihat ke arahnya. Dengan sigap Mas Hendrik menghampiri dan mencopot earphone Lila.
“Makasih ya, sekarang satu toko tau nama Mas.”
Lila menutup mulutnya dengan tangan yang bebas dari keranjang belanjaannya, “Maaf..” sesalnya.
“Apa kabar, adik kecil?” tanya Mas Hendrik dengan lembut. Senyum Lila mendadak hambar.
“Baik. Um… Selamat.. Ya?” ucap Lila hati-hati, matanya tak bisa menatap mata Mas Hendrik seperti dulu.
“Selamat apa nih?” ada nada canggung dalam suaranya, disusul tawa terpaksa.
“Selamat aja. Pokoknya.” Lila memaksakan diri menatap mata Mas Hendrik demi menerangkan selamat apa yang dimaksud, sebab mengatakannya hanya akan membuat keduanya semakin serba salah. Jelas sekali ada kecewa di sepasang mata Lila.
“Makasih. Er, sendirian?”
Lila mengangguk.
Hening.
Diam.
Canggung.
“Er, Mas lanjut milih buah dulu ya?”
Lila lagi-lagi mengangguk.

***

“Mas Hendrik cerai sama istrinya.”
Lila hampir memuncratkan es teler ke muka sahabatnya.
“Kok bisa?!”
“Kawin lagi. Yang ini bisa hamil ternyata.” Poppy dan sarkasmenya.

***

“Ini yang terakhir ya, Mas.” Lila mengaduk-adukkan sendok gula ke dalam kopi pesanannya malam itu. Ibu tahunya Lila sedang tarawih keliling bersama teman-teman kompleks. Akan tetapi, Lila dan Mas Hendrik malah mampir ke cafe kecil di pusat kota.
“Lila tidak bisa menyakiti Kak Dina. Biar bagaimanapun. Kebahagiaan yang jadi hak Lila, takkan tercapai bila ada pihak yang dengan sadar kulukai. Letak bilik bahagia dan bilik ingatan di otak, terlalu berdekatan. Ingatan pasti akan mengingatkan kebahagiaan, seperti apa jalan yang telah ia tempuh.”
Mas Hendrik diam saja.
“Lila sebetulnya tidak mau seperti ini. Lila mau jadi orang jahat, sekali ini saja. Tapi setelah lama dipikir, Lila hanya ingin tetap menjadi Lila yang Mas Hendrik sukai.”
“Yang smart.” ucapnya parau.
“Ya, yang smart.” suara Lila bergetar.

***

Selesai memasukkan uang ke dalam kantong, Lila memandang keliling toko mencari sosok yang sangat diingatnya. Ketemu. Ia sedang memilih mangga yang belum musim. Mata mereka bertemu. Lila mengangguk pamit dan tanpa menunggu balasan, ia berbalik.