Gadis Hantu

Jadi Ini kafe pilihan pekerja kantoran ibukota? How cliché. Pikirku sambil memandang berkeliling. Sebuah kafe di sudut mal penuh toko-toko kelas atas yang harga sebuah tas bisa membuat si Mbok jatuh koma sampai entah kapan bila tahu.

Jendela yang menghadap deret bambu kuning yang sengaja ditanamkan untuk menutupi kali penuh sampah yang mengintip di baliknya. Mobil-mobil bagus berseliweran, menaikkan dan menurunkan pengunjung mal di balik kaca tak jauh dari  tempat saya duduk.

Cahaya sore yang menembus daun-daun bambu, mengimbangi hembusan pendingin ruangan yang terasa terlalu kuat untuk orang desa sepertiku. 

Sepuluh kursi saja kuhitung. Sepuluh sofa dengan sandaran siku yang empuk dan punggung kursi yang berlebihan. Tinggi dan melebar ke atas. Sepuluh kursi dengan warna-warna permen. Fungsi dan estetika tidak menemukan titik temu di sini. Sekali lagi saya pastikan sedang tidak keliru tempat, smsnya mengafirmasi. 

Kulirik jam. Jam lima thit. Dia mungkin belum bubar kantor. Seperti apa bubar kantor itu? Apakah sama seperti mbak-mbak SPG mal-mal di Jogja yang selalu ramai ditunggui pacar atau suami di tepi trotoar setiap malam selepas jam sembilan atau sepuluh?  

 

Malam itu, ia tampak nyaman-nyaman saja duduk di atas tikar anyaman yang dihamparkan di atas trotoar yang lembab. Berbekal secangkir kopi tubruk dipermanis beberapa bongkah gula batu, di remang-remang malam yang makin larut, ia menuangkan seluruh kegelapan masa lalunya ke atasku. 

Rahasia-rahasia yang bila tercecer akan mencekalnya dari kehidupan ideal seorang anak perempuan di mata kedua orang tuanya, agamanya dan pasangan hidupnya kelak. Rahasia yang bahkan Tuhan masih bersedia menutupinya. 

Tapi untukku, ia menceritakan semuanya. Mengalir begitu saja, seolah menceritakan seseorang yang bukan dirinya. 

Saya berkenalan dengannya beberapa tahun sebelum rendezvous malam itu. 

Di pembukaan sebuah galeri seni di Jogja. Teman yang mengundangnya sibuk mengawal jalannya acara, dia duduk di tembok teras yang membatasi galeri dengan taman bunga di depannya. Seorang diri. 

Tudung hoodie biru tua menutupi kepala dan sisi-sisi wajahnya. Kedua  tangannya memegang pinggiran tembok di sisi kiri dan kanan pahanya. Di belakangnya, orang-orang mondar-mandir keluar-masuk galeri. 

Aku duduk di sebelahnya, membelakangi taman bunga. Siku kami sempat bersinggungan. Ia bergeming. Umumnya orang akan memberi jarak atau menarik diri menjauh selama tempat yang tersedia masih luas. Ia tidak. Malahan aku jadi bisa mendengar senandung lembut darinya. Tumit sepatu ketsnya dibentur-benturkan lembut ke tembok batu, membiarkan daya membal karet memantulkan kakinya lebih tinggi setiap kalinya. 

Aku menahan badanku dengan berpegangan pada tembok batu lalu memundurkan punggung untuk melihat wajahnya. Ekspresinya saat wajahku muncul di sampingnya sulit diartikan. Ada kesedihan, kesepian berbalut senyuman. Seperti hantu. 

“Reza.”

“Riza.”  

 Begitu saja dan ia kembali ke dalam dunia senandungnya. Aku kembali sibuk menyapa dan disapa teman-teman yang datang dan pergi. 

“Dia teman kost Mita.” wanti Marcus. 

“Terus?” 

“Ngasih tau aja.” 

“Thanks.” 

Toh, semester berikutnya dia pindah kost. Semester berikutnya juga. Berikutnya juga. Tapi aku tahu di mana bisa menemuinya setiap saat dan mengunjungi isi kepalanya yang mengejutkan. 

“Buat apa traveling kalau National Geographic bisa menangkap dan menjelaskan keindahan alam dan budaya dari mana saja.” cibirnya ketika baliho travel fair setinggi rumah dua lantai itu baru digelar di sudut jalan besar. 

“Beda dong. Live music dan musik rekaman beda ngga?” tanyaku. 

“Beda. Live musik berisik dan ramai. Banyak gangguan. Musik rekaman bersih.” 

“Wah, susah sih kalau belum pernah nonton konser.” 

“Kata siapa?” ia menyentil-nyentil daun Bougenville yang ditanam di sisi-sisi jembatan penyeberangan. Dari sini, pasangan muda-mudi yang tak henti-henti melempar tangan mereka menyambut pecundang-pecundang yang datang ke ibukota tampak jelas. Dia pernah bertanya kalau mereka dilempari batu, apa ada yang marah gak? Mereka = Patung Selamat Datang = Surti dan Tedjo adalah nama yang ia berikan. 

“Konser apa?” 

“Hm.. Waktu di Austin yang pernah datang siapa aja ya?” ia sengaja memenggal kalimatnya lalu mengangkat tangannya sebelah dan memulai gerakan menghitung. 

“RHCP, Pearl Jam, pernah roadtrip ke Woodstock juga, Loolapalooza, Rock Fest, Coldplay, Incubus,–” 

“Incubus?” potongku dengan muka seperti orang yang hilang selera. 

“Intinya, harga tiket konser di Indonesia menurutku bullshit.” 

 Aku tergelak menyetujui. 

Ia tersenyum, lagi-lagi seperti hantu tapi kali ini hantu yang bingung. 

——  

“Udah lama?” tanyanya setelah  meletakkan gembolan kerjanya yang tampak berat. 

“Baru.” jawabku berbohong. 

Aku suka kelihaiannya melepaskan topeng-topeng sosialnya, lalu mengenakan wajahnya sendiri seperti barusan. Seolah superhero, tapi ia tak harus mencari booth telpon atau berputar tiga kali. Ia cukup melepas kacamatanya, meski kita sama-sama tahu matanya setengah buta. 

“Udah pesen?” 

“Belum.” 

Begitu saja, ia kumpulkan kembali gembolannya dan berkata,
“Yuk, ke bunderan.”

 #nowplaying  

  
Illustration : Pascal Campion

Novels by Novels

And when we sleep at night I hope that we write novels in our heads, of what to tell the other when we wake.

And when morning comes, before we’re done, with volumes left to choose lets say, “I love you.”

Just,

“I love you”

“I love you.”

and

“I love you too.”

View on Path

Selamat ulang tahun, teladan cinta dan ikhlasku.

Guru sholat dan alif-ba-tsa ku.

Pemilik tabah dan doa yang tak henti di hadapan anak perempuannya semata wayang yang pembangkang dan pemberang.

Maaf, Ma.

Hanya satu kado yang bisa Dian janjikan, yakni doa yang tak putus anak yang masih jauh dari soleha.

Agar kelak kita dapat merayakan Cinta dan Kasih Ilahi di Istana Surgawi.

Amiiin..

Love, murid Taichi-mu. – with Nahdia

View on Path