Setengah Lingkaran

Duduknya tegak bak keturunan aristokrat. Dagunya sedikit terangkat. Ia memejamkan mata. Jarinya menari di tuts-tuts komputer. Seolah sedang memainkan sebuah lagu rumit pada piano. Kepalanya seperti diayunkan oleh nada-nada dari kuncup earphone yang tertanam di kedua lubang telinganya. Pergelangan tangannya melentik-mengendur, sesekali melompat dan mengudara untuk beberapa saat setiap selesai menekan tombol spasi. Puisi yang menulis puisi.
Kuraih kameraku, untuk mencuri simpan ekspresinya itu. Menjadikannya milikku. Mereka-reka sudut agar gerak tubuhnya yang menipu membuatnya betul-betul tampak seperti seorang pianis piawai.

Mubazir adalah kamar hotel yang dibayari hanya untuk ditempati sendiri. Interior warna jerami dan pendar lampu bohlam menambah hangat yang beradiasi dari pipa pemanas yang terletak di dekat jendela. Di luar, salju tampak seperti gula kastor menempel pada kusen-kusen jendela. Fasad rumah-rumah brownstone yang berpura-pura Eropa. Langit senja menghadirkan warna-warna manja yang disukainya. Di luar, jumlah orang yang lalu-lalang tak surut dikarenakan masuknya waktu sholat Magrib. Kubuka kancing lengan kemejaku sambil berjalan meninggalkan kamar menuju ke kamar mandi bersama di ujung gang.
Ia sempat mengantarkanku ke bandara. Dari kantornya ia ijin setengah hari. Pada suaminya ia tak cerita. “Kamu ngga takut dilihat orang yang kenal kamu?” cemasku bertanya.
“Apakah dosa yang kita lakukan? Aku toh hanya mengantar seorang teman.” jawabnya tenang. Terlalu tenang. Seperti air, tandanya dalam. Kadangkala menakutkan. Langkah kami berbelok ke restoran cepat saji untuk menikmati santap malam yang kesorean. Aku mengajaknya membicarakan hal-hal lain. Seperti tulisan terakhirnya yang terbit di koran. Yang terasa semakin berbobot. Ia mengaku telah mulai menambah varian bacaan, meninggalkan zona-zona nyaman. Ia sempat meminta tips-tips memotret manusia. Padahal sebetulnya ia tak perlu meminta padaku. Bakat yang ia miliki bakat alami. Ia pintar membingkai kehidupan, baik dalam foto maupun tulisan. Hanya saja ia terlalu malas untuk belajar teknik dan teori. Ia termasuk mudah berpuas diri.
Aku memikirkan apa yang dipikirkannya dalam bus Damri yang membawanya pulang seorang diri. Di ruang tunggu, pikiranku selalu menjadi miliknya. Ia yang pulang pada suami yang konon ia kasihi dengan label cinta yang berbeda. Ia terlahir dalam keluarga dengan literatur berlimpah. Dan aku, katanya, adalah katalis yang mengubahnya dari gadis manja yang nyaris sia-sia. Untuk itu, katanya, ia mencintaiku dengan label yang berbeda dari suaminya. Konon.
“Tapi kalau kau nanti punya anak, tentu porsi cintamu untukku akan semakin sedikit.”
Ia menjawab dengan tenang. Tidak mengelak, tak pula mengiyakan.
Sebetulnya aku kehilangan. Canda jahilnya yang menyerempet bahaya. Yang menggoda. Yang kerap membuat tanganku lupa lalu menonjok pelan bahunya. Ia yang sekarang pandai berhati-hati. Pernyataan-pernyataan cintanya semakin subtil. Membuatku bertanya apakah aku terlalu merasa? Apakah kepalaku telah membesar?
“Kenapa malah kamu yang ke New York sih?” gumamnya pelan. Merajuk? Kedua tangannya bersembunyi di saku blazer warna kopi susu yang dikenakannya. Padahal aku sudah harus masuk ruang tunggu. Padahal ini adalah adegan di mana harusnya ia memelukku, membisikkan mantra keselamatan perjalanan pergi sampai kembali pulang. Tak ingin memperpanjang perpisahan, kurengkuh tubuh mungilnya, melunasi jatah peluk untuk kami berdua. Tubuhnya mengendur dalam dekapku. Dagunya bersandar di bahuku. Untuk beberapa detik lamanya telinga kami menempel. Saling mendengarkan. Kesedihan.

Ia begitu cinta pada kota ini. Padahal yang ia cintai semu. Akal-akalan Hollywood saja. Banyak sudut bau pesing. Di hari kedatanganku di sini sudah enam gembel, selusin pengamen dan tiga pelacur kujumpai. Harga makanan di restoran-restoran yang membuatku memutuskan untuk mengisi kulkas communal kitchen dengan bahan makanan pokok yang kubutuhkan. Ia berpesan agar aku mengunjungi tempat ini-itu. Buku Lonely Planet yang dipinjaminya padaku dipenuhi belasan post it warna-warni. Ia meminta oleh-oleh foto kesemua tempat yang ditandainya itu. Berbeda dengannya aku tidak pernah berjanji.

Ia hidup dari ‘to do list’ yang satu ke ‘to do list’ lainnya. Hidupku mengalir begitu saja. Ia terlalu keras pada diri sendiri. Aku seperti foto slow exposure. Tidak tegas, buram, kadang tampak seperti sebuah kesalahan. Indah bagi mereka yang mau mengerti.

Kurasa ia hanya korban. Karena terlahir perempuan. Ia marah ketika kusimpulkan begitu. Ia bersikeras menunjukkan bahwa perempuan mampu menjalani kehidupan(-kehidupan) yang telah dipilihnya dengan baik. Istri, Ibu, Anak, Sekretaris, Saudari, Penulis, Guru, Perpustakaan, Bibi, Pembantu, Juru Masak, Juru Cuci Setrika, Akuntan Rumah Tangga. Bisa jadi itu sebabnya wanita mengalami PMS, agar mereka memiliki kambing hitam atas tangis pelampiasan akibat lelah menjalankan begitu banyak peran. Lagi-lagi aku sok-sokan menyimpulkan. Tapi kesimpulan kali ini kusimpan sendiri.

Tubuhku terasa segar setelah mandi. Kuputuskan untuk menjelajahi ketiga lantai hotel ini. Tadi aku sempat bingung mencari plank namanya. Yang rupanya memang tidak ada. Hanya pintu merah dengan nomor 110 sebagai penanda. Sebuah bangunan tiga tingkat berwarna karat. Tidak ada elevator, hanya tangga sempit bercahaya minim. Akan tetapi begitu memasuki ruangan-ruangan, terasa sekali keakraban. Pun, sentuhan pengelolanya untuk memudahkan tamu-tamu mereka menjelajahi kota. Satu tembok didedikasikan sebagai mading. Di sana, peta kota disediakan cuma-cuma, poster-poster kegiatan yang akan diselenggarakan beberapa pekan ke depan, dan nama-nama restoran yang harganya masuk jangkauan.
Agenku menelpon memberitahu jam berapa aku diminta siap besok. Ia baru pulang dari galeri tempat pameran fotoku diselenggarakan. Mengecek segala sesuatu terkendali dan aman. Sebelum kembali ke kamar, aku menyempatkan mampir ke ruang duduk bersama demi secangkir kopi untuk dibawa ke kamar. Kamar yang mubazir itu.

“Sebetulnya apa yang sedang kita lakukan?” tanyanya pelan di suatu kesempatan.
Berdua kami duduk di pinggir tempat tidur, menghadap jendela lantai tiga yang menghadap ke kolam berenang.
Kuraih bahunya, menyingkirkan jarak. Ia lalu menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Ada hal-hal yang tak perlu diberi label. Seperti: ‘sahabat’; ‘cinta’; ‘suami’; ‘istri’. “ aku berusaha merangkai bujuk, tapi tak yakin.
“Bagaimana dengan ‘selingkuh’?”
Kedua tanganku meraih pangkal lengannya dan mendorongnya rebah perlahan. Matanya menatapku tak berkedip. Matanya yang belakangan ini terlalu tenang dan kering. Matanya yang kini begitu asing. Manakala tubuh kami telentang bersisian, ia yang lebih dulu memiringkan badan. Mendekapku. Menelusupkan wajahnya ke ceruk bahuku. Hangat nafasnya menggelitik leher. Di saat yang sama wangi parfumnya menguasai satu sudut memori.
Aku diam mendengarkannya bercerita. Kadang tentang filosofi, kadang tentang karma, kadang tentang Tuhan dan kaitan kesemuanya dengan apa yang ia rasakan terhadapku, terhadap kehidupan yang terlanjur ia kaulkan. Aku memilih bersetia dengan diamku.
Ia bilang beberapa tulisannya terinspirasi dari foto-fotoku.
Aku akhirnya terkekeh.
“Bagaimana bisa? Beberapa fotoku justru terinspirasi oleh tulisan-tulisanmu.”
Kulengkapi dekapnya dengan pelukku. Lingkaran yang mungkin bisa utuh. Di suatu barangkali nanti.