Lost in Thought

Lost in Thought

She sat there all alone. Lost in thought. The day to herself was about to end. She left for work, but called in sick.

A Rose Dawson lost in the memories of Jack’s touch.

Funny how a few days of loving can fuel you for months, years even decades.

Interesting how the hopes of some dead man lying frozenly charming on the bottom of the Atlantic can live in her forever.

This is her playground. The corner table with the corn blue sofa. She could sit there all day and night.

Sometimes dozing off into sleep with her current read resting on her chest, hugging it like she would her baby, a content smile across her soft features.

If not she’d be drawing, writing, humming and singing along to the songs she knows the words to, knowing well the speakers are loud enough to hide her voice.

The owner would drop by her table, give her an extra serving of Macadamia nut cookies and they would both light up that dim corner with laughter and the twinkles in their eyes.

Her favorite has always been the house blend. She said it tasted like the coffee she used to sneak a sip or two from her grandfather’s mug when she was little.

I would love to have known her back then. I would love to have known her way before. Perhaps if I did, she would be mine instead of his.

photo by @tahaphoto Instagram.

View on Path

[ Crossroads ]

She pressed the brakes of her secondhand bike at the intersection on Demachi.

The setting sun over her left shoulder, above the Kamo River, was doing magical things to the sky. To the clouds. Clouds that were floating home too, just in the opposite way. Golden and blue.

The light turned green again. Around her, people continued their journey. But she stood still. In awe with the view. Carefully sorting the feelings she thought she knew.

She wanted to lock time.

For in her bicycle basket lay a thousand frazzled pieces of the puzzle she calls her heart.

View on Path

Warisan tak ternilai dari AyahBunda.

Sahabat Dunia – Akhirat untuk Ananda.

May Allah Bless you Always, Mom & Dad!

– Ayat Kursi ( Al Baqarah 255 )
– Al Imraan 8 – 9
– Al Imraan 26 – 27
– Al Imraan 133 – 139
– Al Imraan 191 – 195
– Bani Israail 78 – 82
– Nuur 35 – 36
– Hashr 18 – 24
– Al Muzzamil
– Al Inshirah
– As Syu’araa 83 – 87

View on Path

100 Yen Love
A Review.

Film ini berkisah tentang Ichiko (Sakura Ando) yang bekerja membantu di toko bento milik keluarganya.

Semua baik-baik saja, sampai kakak perempuannya yang bercerai kembali ke rumah.

Ichiko yang selebihnya pemalas, hobi main video game dan jajan di toko 100 yen, membuat sang kakak gemas.

Sebuah pertengkaran hebat dengan kakaknya menjadi alasan Ichiko memutuskan untuk pergi dari rumah dan mendapat kerja di toko 100 yen langganannya. Dipilihnya jam ‘ronda’ karena digaji 1.200yen per jam dari jam 12 malam sampai jam 6 pagi.

Rute apartemen ke toko 100 yen tempat Ichiko bekerja melewati sasana tinju. Di sana, ada seorang petinju ( diperankan Arai Hirofumi ) yang menarik perhatiannya . Karena pria tersebut dan beberapa ‘musibah’ lainnya, Ichiko memutuskan untuk berlatih tinju.

Setiap kesempatan dipakai Ichiko untuk berlatih, dari gerakan yang gontai sampai super gesit. Sampai-sampai, menghajar supervisor nyinyir di toko 100 yen tempatnya bekerja yang selalu marah apabila Ichiko membiarkan seorang ibu-ibu tunawisma ‘langganan’ mengambil sisa makanan kadaluwarsa yang sedianya dibuang.

Ichiko ingin sekali bertanding tinju di atas ring. Meski usianya sudah sampai di batas maksimum wanita untuk bertinju secara profesional. Ichiko yang sudah 32 tahun itu ingin menang meski hanya sekali.

Kisah yang sederhana, miris tapi menggugah hati. Tidak ada adegan yang mubazir. Semua mengalir tanpa kejanggalan. Tokoh utama digambarkan berubah dengan natural sekali. Dan tahu-tahu kita sudah menjelma jadi suporternya di pinggir ring.

Tidak perlu artis yang cantik.

Pun, Arai Hirofumi pun bukan tipikal pria hero ganteng di film-film atau dorama-dorama. Biasanya dia cuma jadi pelengkap bagi tokoh utama hotties macam Kimutaku atau Matsuda Ryuhei, tapi di sini kehadirannya yang cuek cukup bikin deg-degan sih.

Kisah cinta antara Ichiko dan pensiunan petinju itu pun bukan yang romantis menye-menye. Si ex-petinju itu malah bilang terus terang tidak suka melihat Ichiko terlalu berusaha. Baik upayanya membuat ex-petinju itu care sama dia, maupun dalam hal keinginannya untuk bertinju.

Satu hal lagi yang saya suka dari film Jepang adalah ditel setting yang sangat mirip realita. Bukan kamar-kamar yang lebih pas disebut “model room” atau kamar “IKEA” yang biasa ditampilkan oleh PH-PH Indonesia. Bahwa di samping barang-barang kece, ada juga barang-barang yang dibuang sayang.

Moral of the movie: it’s never too late to change for the better.

View on Path