Kereta Malam – Franky & Jane

Dengan kereta malam kupulang sendiri
Mengikuti rasa rindu
Pada kampung halamanku
Pada Ayah yang menunggu
Pada Ibu yang mengasihiku

Duduk di hadapanku seorang ibu
Dengan wajah sendu, sendu kelabu

Penuh rasa haru ia menatapku
Penuh rasa haru ia menatapku
Seakan ingin mememeluk diriku

Dia
Lalu
Bercerita
Tentang
Anak Gadisnya yang t’lah tiada
Karna sakit dan tak terobati

Yang wajahnya mirip denganku. Yang wajahnya mirip denganku…

Adopsi

Ia senang duduk di tepi jendela. Memainkan gitarku, menyanyikan lagu-lagu tanpa pernah utuh. Lagu dengan bahasa yang tak kukenal. Semacam bahasa bangsa Skandinavia, barangkali. Ibu tak pernah menanyakan nama gadis yang sering mampir ke kamarku malam-malam. Ayah juga diam saja. Kurasa mereka lega aku tak lagi merutuki kepindahan kami ke kota ini.

Hampir setiap malam ia akan melempari jendelaku dengan kerikil dan begitu aku membukanya, ia sudah duduk di dahan terdekat menungguku menjangkaukan tangan. Entahlah. Bersamanya seolah, detik, menit, jam dan hari kehilangan arti. Ia selalu punya cerita-cerita luar biasa. Tentang ayahnya yang seorang pelaut penjelajah samudera waktu, ibunya yang penyihir. Ia juga punya kakak yang bisa menjelma hewan apa saja, animorfis atau apalah katanya. Kakaknya yang lain pandai sekali meracik ramuan ajaib. Setiap malam ada saja cerita luar biasa keluar dari mulutnya. Aku menikmati kehadirannya dan imajinasinya yang mempesona.

“Sekali-kali ajaklah aku berkenalan dengan mereka.” selaku suatu malam, saat ia sedang menceritakan pengalaman kakaknya menjadi singa sirkus dan kakak perempuannya yang mengajaknya berburu tikus untuk diambil ekornya karena stok untuk ramuannya sudah hampir habis.

“Um.. Boleh aja sih.” jawabnya setelah meragu sejenak.

“Salahmu selalu menceritakan mereka dengan kiasan-kiasan ajaib. Bikin penasaran pengen kenal langsung dengan mereka. Biar kutebak, ayahmu bekerja di perusahaan pelayaran, lalu ibu dan kakak perempuanmu jago masak. Mereka bisnis katering pasti. Dan kakakmu, kakakmu yang laki-laki animorfis atau apalah itu, pasti ahli Zoologi. Bener ngga?” tebakku bersemangat.

Ia diam. Gantian ia tersenyum mendengar isi pikiranku. Semacam afirmasi bahwa tebakanku jitu. Jemarinya kembali memainkan chord yang tak kukenal.

“Kalau kamu? Keajaibanmu apa? Selain pandai memanjat pohon, bernyanyi dan bercerita tentunya. Kamu kayaknya ngga pernah cerita tentang dirimu.” aku penasaran ingin tahu ‘kiasan’nya untuk dirinya sendiri apa. Gadis ajaib yang imajinasinya tumpah-ruah. Imajinasi bisa mengubah gadis biasa-biasa saja menjadi cantik luar biasa.

“Aku…” suaranya mendadak pelan dan agak tercekat.

“Aku sebetulnya anak pungut.”

Entah kenapa kali ini aku percaya. Semua ceritanya jadi masuk akal. Cerita-cerita ajaibnya adalah mekanisme perlindungan diri terhadap kenyataan yang sebenarnya. Dan aku, yang tadinya bisa ia andalkan sebagai pendengar yang tak banyak protes malah memaksanya bercerita. Bego kok ngga kira-kira sih lo, Za.

“Loh kok. Malah diem. Aku bahagia kok diangkat anak oleh mereka.” ucapnya sumringah.

Tiba-tiba, di kamarku bermunculan satu persatu. Seperti hologram. Pria paruh baya yang penampilannya bak Indiana Jones. Dua penyihir cantik yang mirip kakak-adik, dan seekor kucing Rusia berwarna abu-abu yang menggosokkan badannya pada sudut kasurku.

“Kenalin, ini keluargaku.”

Lalu semua mendadak gelap.

@Fiksimini RT @jemarimenari: ADOPSI. Aku senang keluarga ini yang menemukanku di semak-semak dulu. Mereka keren, bisa terbang menembus tembok.

Di Surga

Keduanya adalah penghuni surga. Setiap hari aroma manis nan sejuk berhembus. Dua hari sekali langit beraksesori pelangi. Di sana, mereka tetap bekerja. Yang Hawa terjaga oleh adzan Subuh yang tak berkumandang. Yang Adam yakin istrinya dijaga dan digugah oleh malaikat-malaikat mulia. Di sudut dapur, telah berpendar api di kompor dan di hati wanita tua Ibunda Hawa. Yang restunya melepas Hawa dan Adam dari pucuk tangga apartemen ke jalan Kalakaua.

Di surga, bis datang tepat waktu dan supir bis selalu menyapa keduanya dengan ramah. Dengan teguran yang tak pernah basa apalagi basi. Matahari belum lagi terjaga, Hawa sudah tiba di Bakery Kapiolani milik Mr. Miyai. Semerbak kopi dan irisan bacon babi menggelitik kelenjar ludah Adam. Adam bisa mengambil duduk di mana saja ia suka. Yang ia suka adalah sudut coffee shop. Di sana Adam bisa menangkap kelebat Hawa, juga menghitung kecepatan naiknya matahari di balik jendela.

Secangkir kopi dan sepotong waffle panas menemaninya duduk di sana.

Lalu ia akan kembali ke buku-bukunya.

Pendengaran Hawa berada di frekuensi yang berbeda, manakala rekan kerjanya menyindir bayi dalam perutnya. Hawa tak merasa perlu green card untuk memasuki surga. Di mana pun ia berada, surga mengikutinya. Penglihatan Hawa tak mampu menangkap kedipan genit para supir bis. Matanya hanya fokus pada amanah Mr. Miyai. Menyiapkan bumbu spaghetti, membuat relish, melayani tetamu, membersihkan meja, membalik burger dan lainnya. Sampai jam dua siangnya tiba.

Kadang surga suka memberinya kejutan. Seperti siang ini. Adam datang membawa ketiga buah hati sepulangnya mereka dari sekolah. Mereka bercerita telah memperkaya waktu dengan bermain ayunan tak jauh dari sekolah mereka. Mobil tua Adam mogok dan tahu-tahu perusahaan taksi langganan mereka kehabisan armada biasa. Anak-anak begitu heboh bercerita tentang limosin. Hotdog kenamaan Bakery Kapiolani yang masih dilabeli harga 50¢ adalah kebahagiaan tambahan yang tak hanya mengenyangkan perut melainkan juga hati.

Dan surga adalah berkotak-kotak kue tar, yang sudah harus memberi tempat bagi kue tar yang lebih segar. Dobash, Coconut Tart, Orange Cake, Carrot Cake yang selalu dihindari anak-anak dan pastry lain-lain mendapat rumah baru di kulkas mereka. Di atas bis pulang ke rumah, seperti biasa, ada malaikat berwujud manusia yang memberi duduk untuk Hawa.

Di surga, anak-anak berebut membukakan sepatu kets putih milik Hawa lalu memijat-mijat tempat yang bagi mereka, terdekat dengan surga.