Sebuah Prolog

Kuburan di belakang sekolah – kata Adi, kata Myle itu samping, kata Pak Rustam itu depan – selalu indah menjelang Magrib. Saat semua murid bergegas pulang ke rumah masing-masing. Di mana makan malam menu komplit sudah tersedia.

Adi bercerita kalau Ibunya suka mengajaknya dan dua adiknya makan menu komplit setiap Sabtu dan Minggu, dari resepsi ke resepsi. Adi baru tahu kalau ibunya tak pernah diundang ke satupun resepsi yang telah mereka datangi ketika mereka berbalik pulang saat ada sebuah alat pendeteksi bom di pintu masuk disertai pemeriksaan undangan yang tidak ibunya punya.

Beberapa bulan kemudian, Adi membaca di koran bungkus buncis, kalau resepsi yang gagal mereka susupi adalah resepsi pernikahan cucu mantan presiden. Presiden yang meninggal, dengan meninggalkan tanda tanya dan keberatan banyak orang.

Myle menyela, "Percuma kaya kalau tidak bahagia. Kalau ada orang-orang yang tercuri haknya." Tangan Myle mulai ke kepalanya, Adi menarik tangannya. Menahannya di atas pangkuan Myle, di atas meja kelas yang mereka duduki menghadap kuburan dan matahari yang terbenam di depannya, di belakangnya kata Pak Rustam, di sampingnya kata Myle.
"Cantik-cantik kok pitak." tegur Pak Rustam.
"Pak Rustam, botak tapi ngga cantik-cantik." timpal Adi membuat Myle tertawa. Pak Rustam juga.

Pak Rustam mengangkat kepala dari pekerjaannya dan menoleh ke arah siluet perempuan yang duduk membelakangi matahari terbenam. Rambutnya yang panjang dan awut-awutan seolah membara memerangkap sinar senja. Menciptakan halo di sekeliling kepalanya. Sekeliling titik botak tempat ia mencabuti rambutnya saat gelisah.

Di pangkuannya seekor kucing mendengkur pelan, kucing yang ia namai Pangeran Adi. Adi, murid tak berpunya yang sebelumnya mendapat uang tambahan membantu Pak Rustam menyapu seluruh ruangan di lantai 2 Gedung Barat setiap sore. Adi yang memilih meninggal lantaran tak tahan dibully,

"Salah, aku gak bunuh diri, aku memilih jadi kucing." Adi mengeong membela diri. Myle, mengiyakannya dengan menggaruk leher Adi dengan penuh sayang.

Pak Rustam menertawakan nasibnya harus berkawan dengan dua makhluk astral selalu yang datang menjelang Magrib, selalu di ruangan ini. Seakan ingin berbagi kehangatan yang mereka punya dengannya. Dan lucunya Pak Rustam selalu mengatur agar jadwalnya sesuai dengan jadwal mereka.

Dream-O-logue 26072017

We were outdoors, me and someone couldn't make out who it was.

But wait, first it started out like an action movie. I was running away from someone on a emergency staircase, working my legs till I got to the bottom floor which was a supermarket.

A group of young delinquents have taken over the supermarket and were having anything they wanted. Busting open the cash registers, drinking all the cola their stomachs could handle. Hoarding the expensive chocolates. I pretended to be one of them simply because I'm chicken like that.

Suddenly the scene changes.

We're outdoors in a backyard of some school. There was going to be a spectacle. A launching of a satellite of some sort. We sat on some used newspapers talking and drinking coffee, enjoying the atmosphere. A whole bunch of youngsters were out there with us too.

The night was cool. The sky a purplish orange just the kind I love.
We were talking when, the satellite took flight. Funny looking thing. Like a building. Just as it got to it's curve peak, it began descending. Everyone, held their breaths, as if praying, "No. Please. Don't fall."

But no.

It fell.

A huge explosion followed after.

The night turned all sorts of red. Debris flew our way. But it was all so pretty, I just kept taking pictures with my cellphone. Debris caught in flames flying towards us. Faint and bright. Faint and light.

You had to drag me to the school building. Where everyone else was escaping.

The night, ended with remorseful beauty.

And I woke up. Again.

5:05

Simple Chewy Choco Chip Cookies 

A very nice treat to ease your PMS, because chocolate calms you down.

1/2 mug gula pasir

1/2 mug gula palmsuiker

1 bungkus blue band sachet (200gr)

Telur 1 aja.

(Mix sampe fluffy)

Masukin telur.

Baking soda 1/2sdt

Baking powder 3/4sdt

Extract Vanili 1 1/2 sdt.

Garam secubit karena harusnya tadi pake unsalted butter (Uni pake margarin murah Hehe)

Mixer lagi.

Tepung serbaguna 1 3/4 mug (mix lagi)

Masukin choco chip 1 mug.

(Tadi Uni ganti colatta 1 bar dipotong dadu 0,5cm)

Added walnuts segenggam (optional)

(Jangan mix, aduk sample rata aja pake spatula).

Masukin freezer biar enak bulet2innya.

Mentegain loyang.

Bulet2in segede bola bekel kecil. Kasih jarak 3-4cm.


Panasin oven 160derajat kalo di oven Uni gak tau Celcius atau apa Huhu..

jangan kelamaan. Masih agak putih, dikeluarin. Soalnya kalo kematangan, pas dingin, keras doi.. :(

Jadi deh chewy choco chip cookies ala ala.. selamat mencoba..Note:

Colattanya pilih yang dark choco, enak ngimbangin manis doughnya..

 Tokyo Dini Hari

Tak seharusnya saya berada di sini jam segini. Jika Saito-san sampai tahu, saya bakal diceramahi panjang lebar esok hari. Soal keamanan, tanggung jawab perusahaan, compliance dkk. Tapi, saya bosan memandang tembok hotel lain dari jendela kamarku yang kelewat mahal itu. 

Ini musim gugur, musim favoritku. Meski lebih banyak beton daripada pohon, sejuk udara dan sudut tenggelam matahari menghasilkan tarian pulang awan-awan yang lebih genit dari biasanya.

 Kalau dibolehkan memilih, saya inginnya ada di kantor Osaka, biar bisa melipir ke kota kesayangan. Naik kereta terakhir ke Utara dan “terpaksa” menginap di sebuah ryokan untuk bangun dini hari dan berendam telanjang di bawah bintang-bintang. Sampai pohon-pohon yang hitam oleh malam, dibangunkan pagi. Sarapanku semarak warna-warni musim gugur.

Tapi ini business bukan pleasure, elingku. Kurapatkan parka kembar yang kita punya, menuruti langkah kaki. Sesekali angin mengelus pipi. 

Dengan kamera milik adik, batere full, batere cadangan, kartu memori tambahan, dengan kagok aku mencoba memerangkap Tokyo malam itu dalam megapixel-megapixel memory. Ratusan foto, bahan mainan bila rindu Jepang lagi, nanti. 

Toko-toko di Shinjuku sudah tutup dari 4 jam yang lalu. Orang-orang kantoran mulai tumpah dari bar-bar dan tempat-tempat karaoke. Wangi parfum campur sake. Mereka saling menggiring masuk taksi-taksi yang siap menampung. 

Aku belok melewati kolong stasiun yang tak jauh dari Harajuku. Kubayangkan bunyi “teketeketeketeke” tiba-tiba mengikutiku dari belakang, Ayat Kursi mempan ngga ya kira-kira sama makhluk jadi-jadian di sini? 

Naik tangga, turun tangga, mencari-cari cahaya, keindahan-keindahan yang tak lazim, menyalakan mata hati. Mencari. Menjepret. Kembali mencari. Kembali melangkah. 

Aku hanya ingin, apa yang kulihat, kamu juga lihat. Meski tangan itu takkan pernah menemukan tangan ini dan dahi ini akan selalu membayangkan lembut rasa bibir itu. 


http://masa-photo.tumblr.com/&nbsp

Pada Sebuah Kapal – NH Dini : Mungkin Sebuah Resensi

Haru. Adalah yang terlintas saat tiba di kata terakhir buku ini yakni; Paris. Kita tidak diberitahu apakah benar Sri dan Michel akan bergandengan tangan menyusuri tepian Seine. Menapaki jalan-jalan batu mengilap melewati etalase-etalase toko menuju ke studio apartemen kecil yang disewa Michel untuk berkasihan dalam temaram langit Paris yang abu-abu.

Banyak bahasa dan pilihan kata yang tak lazim dibaca oleh pembaca hari ini, tetapi saya justru menikmati rasa janggal yang ditimbulkannya.


Buku ini adalah koleksi milik ayah saya. Saya ingat pernah membacanya ketika SMP. Tapi sekadar lalu. Mungkin banyak hal yang belum nyandak di otak polos saya ketika itu. Tapi kini, setelah belasan kali patah hati, beberapa kali benar-benar menitipkan cinta, merasakan kehidupan berumah tangga, mempertanyakan jodoh dan pilihan-pilihan hidup; buku ini jadi sangat relevan untuk perempuan Indonesia kebanyakan dan kalau boleh dibilang, sangat “kekinian”.

Berkisah tentang Sri, seorang perempuan penari yang kehilangan cintanya di udara untuk kemudian menemukan cintanya di laut.

Tak perlu diceritakan ditelnya karena buku yang terbit 1976 ini kemungkinan besar sudah pernah sampai di tangan dan Anda baca. Tentunya tiap orang punya reaksi dan rasa yang berbeda-beda. Saya yang 15 tahun dan saya yang 37 tahun saja memaknainya dengan amat berbeda.

Satu yang pasti, buku ini adalah kekayaan sastra Indonesia yang akan terus hidup membekali kalbu dan pikir pembacanya. Termasuk barangkali aku yang berusia 78 tahun kelak dan memilih kembali membaca karya ini untuk kesekian kalinya.