Resep Rom-Com

Uni pernah ngetwit tentang ini beberapa tahun lalu. Setelah puas nonton rom-com Korea berjudul ‘Lost & Found’ barusan, rasa-rasanya pengen nulis list resep rom-com di sini. Kalau ada tambahan, monggo lho dibantu. Siapa tahu membantu lebih banyak rom-com writer wannabes di luar sana. Tambahannya pasti nanti Uni sertakan di posting ini. :)

1. The lead role is usualy a kind-hearted loser. Someone almost anyone can relate to. Since we are all losers in a way and in one way or another want to be considered good or kind.

2. The setting could be school, college, work place, neighborhood. Something common. If you want to be more specific, remeber to get your facts right. Later is OK. Because finishing your story first is a MUST.

3. The CUTE MEET. Definition? See The Holiday (Kate Winslet with old scriptwriter scene).

3. The lead role has an Object of Affection (OoA) that is almost always way out of his/her league.

4. As if being a loser isn’t enough, the lead role gets into trouble. Trouble that worsens as the plot thickens. How?

5. Why, by adding more characters of course? A role model sibling or a crazy best friend. A nosy neighbour. A doting parent. A cool teacher. Whatever. Play with them, allow their crazy quirks to interact and create funny scenes. Worsen the lead role’s circumstances.

6. The lead role somehow gets closer to his/her OoA as the inevitable doom looms. Keep the audience anticipating a disaster yet rooting for the lead role, nevertheless.

7. Give the lead role a secret admirer, but not a break. This fan will only fan the disaster sparks even more.

8. CHAOS!

9. The lead role has to come clean. Prepared to lose everything even his/her OoA and her/his goals.

10. As he/she does this, karma slowly reveals her good side.

11. The ‘AW AW AW’ moment(s) unfolds. Bread crumbs left along the story finally hit home. No explanations needed. Warning: hearts shall melt.

12. In the end, the lead role finds love and a happy ending. Not necessarrily with his/her OoA. Though. :)

Sekian dan terima masukan. :D

Selamat Hari Raya Natal, Bapak.

Langit masih berwarna biru. Biru yang paling biru. Di kampung kumuh yang tersembunyi tak jauh dari kompleks rumahnya, ayam jantan sibuk membangunkan matahari. Beberapa pelari pagi mengangguk ramah padaku. Seorang pemuda tanggung membukakan pagar dan mempersilakanku masuk. Aku menggeleng. Lebih senang menghirup harum embun yang menggenggam jemari daun-daun pinus. Wangi Natal, meski tak seberapa.

Tak lama ayahnya keluar menghampiri. Bersarung dan mengenakan kaos putih. Wajahnya hangat dan teduh sekaligus.
“Assalamu’alaikum, Om.”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah, Nak Hanif. Kok ngga masuk?”
“Ah, ngga apa Om. Di sini saja.”
“Dari Bandung jam berapa?”
“Jam 3, Om.”
“Wah pagi sekali. Lancar dong ya jalannya.”
“Wah, bukan lancar lagi, Om. Nyaris ngga nginjek rem sama sekali.”
“Sudah Subuh?”
“Sudah tadi, mampir di rest area sebentar.”
“Rumah Bapak ramai?” Anggi pasti sudah cerita banyak padanya. Rasa haru dan hormat memenuhi rongga dada atas perhatian dan penerimaannya.
“Ah, ngga Om. Cuma saya dan keluarga adik saya, Riza. Dari tadi malam, mengantar Bapak misa.”
“Salam untuk beliau ya. Selamat berhari raya.” ucapnya sambil menepuk pundakku.
“Siap, Om. Nanti disampaikan.”
“Biasanya acaranya apa? Pas kumpul-kumpul?”
“Biasanya sih, tukar kado. Nonton DVD seharian. Bapak hobi nonton. Riza biasanya masak macam-macam. Tahun lalu, Natal ala Jerman. Tahun ini kalau ngga salah dia bilang, menu Natal Italia.”
“Pasti delicioso itu.” ucapnya sambil mengecup ujung telunjuk dan ibu jari yang menempel membentuk “O”, sementara tiga jari yang tersisa membentuk “K”.
“Alhamdulillah, ngga percuma punya adik juru masak hotel.”
“Bolehlah dikirim-kirim kalau sisa.”
“Ah, Ayah. Kan masakan Anggi juga juara.” tahu-tahu yang ditunggu muncul dengan sebuah tas travel besar.
“Juara paling bontot. Suruh belajar sama adikmu nanti ya, Nif.” sahut ayahnya. “Eh, itu ngga salah tuh? Bawaan buat sehari aja kok segitu banyak?”
“Tenang aja. Anggi pulang hari kok, Yah. Ini isinya hadiah Natal.”
“Anggi pamit dulu ya, Yah.” ucapnya sambil mengecup punggung tangan ayahnya.

“Makasih ya.” ucapku begitu mobil mulai melaju di jalan tol Cipularang. Baru sempat kuperhatikan dandanannya pagi ini. Sebuah terusan merah kotak-kotak, stoking hitam, high heels coklat beludru berpita dan jepit sederhana berbentuk pita bertitahkan kristal-kristal yang menangkap cahaya matahari dan memancarkannya kembali dengan warna-warni. Rambut belah pinggir sederhana yang kukenal ikut berpesta.
“Sama-sama.” sahutnya.
“Cantik.”
“Makasih.” refleks, ia menyentuh jepitnya.

=========================================================

Bapak Nasrani.
Almarhumah Ibu Muslim.
Ayahku hanya memegang janji membesarkan kami menjadi anak-anak saleh yang doanya dijamin sampai pada orang tua meski telah berbeda dimensi.
“Apakah beda agama juga beda dimensi, Pak?” tanya Riza di hari Lebaran belasan tahun lalu.
“Wallahualam, Nak.” jawabnya sebelum mendekap kami berdua.

=========================================================

  

How strange it is. We have these deep terrible lingering fears about ourselves and the people we love. Yet we walk around, talk to people, eat and drink. We manage to function. The feelings are deep and real. Shouldn’t they paralyze us? How is it we can survive them, at least for a little while? We drive a car, we teach a class. How is it no one sees how deeply afraid we were, last night, this morning? Is it something we all hide from each other, by mutual consent? Or do we share the same secret without knowing it? Wear the same disguise?”

~ Don DeLillo

Susan Sontag On Photography

“To photograph people is to violate them, by seeing them as they never see themselves, by having knowledge of them that they can never have; it turns people into objects that can be symbolically possessed. Just as a camera is a sublimation of the gun, to photograph someone is a subliminal murder – a soft murder, appropriate to a sad, frightened time.”

“Words do not express thoughts very well. They always become a little different immediately after they are expressed, a little distorted, a little foolish.”
~ Hermann Hesse

Si Bego

“Shhh…” potongnya tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Sekarang jam berapa?”
“Jam kosong-kosong lewat tiga.”
“Yes!”
“Yes kenapa?”
“Kok tanya? Yes karena ngga jadi kiamat dong!”
“Yaelah, ngapain juga percaya sama ramalan peradaban yang udah punah.”
Di seberang sana ia tergelak.
“Bener juga, hahahaha. Ikite ite yokatta…” desahnya lega dengan bahasa Jepang yang tak kumengerti.
“Sampai di mana tadi? Oh ya, trus dia juga SMS ‘Jangan lupa makan ya’. Itu artinya suka kan?”
“Bisa jadi. Tandanya dia merhatiin. Merhatiin badan lo yang kayak anak Ethiopia. Prihatin.”
“Rasis lo. Asek, berarti ada harapan dong gue.”
“Kali.” mendadak moodnya hanyut ditelan entah. Antusiasmenya raib.
Sudah lima kali sepuluh menit sepasang anak primata nokturnal ini memanfaatkan freetalk provider kuning.
“Coba aja deketin. Kali aja bisa menyelamatkan salah satu dari kita dari status ‘jomblo akut’.”
“Males ah, providernya beda.” jawabku sekenanya.
“Hah? Jadi?” tanyanya.
“Wah, ya iya toh. Anak kost kan kudu ngirit.” jawabku sambil terbahak. Penghuni kamar sebelah berdeham cukup kencang. Protes.
Hening.
“Halo? Halo? Not? Lah kok putus? Perasaan belum sepuluh menit.” bisikku.
Kutekan ‘yes’ pada nomor panggil teratas.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar servis area.”

“Not!” seruku berlari melewati belasan mahasiswa yang berjalan menuju deret fakultas yang di ujungnya fakultas kami. Sastra.
Ia tidak menoleh. Begitu dekat, pundaknya kutepuk. Ia hanya melirik. Sepasang telinganya disumpal musik. Ia menoleh tanpa tawa cerah yang biasa ia lemparkan padaku. Seolah-olah mendung Desember pagi ini lebih memilih menggayut di wajahnya.
“Sarapan yuk?” ajakku berusaha membelokkannya ke Bonbin.
Dengan kasar ia membuka earphonenya untuk dimasukkannya ke dalam tas.
“Nah, gitu. Biar ngga budeg. Sarapan yuk?” ajakku dengan ekor tak kasatmata bergoyang-goyang.
“Udah sarapan burjo tadi.” jawabnya menolak diajak belok ke Bonbin.
“Temenin dong.”
“Sori, harus ngumpulin tugas ke jurusan. Oh ya, ini buku ‘Feminine Mystique’ yang aku kopi kemarin. Makasih ya.” sodornya lalu berlalu.
Aku terpaku. Memutar ulang percakapan semalam. Mencari penyebab mood jeleknya pagi ini. Nihil.
Aku belok sendiri ke Bonbin, memesan kofimik hangat. Tak lama, sudah tenggelam dalam obrolan sana-sini teman-teman pengkerap Bonbin.
“Nita ndi?” tanya Mas Wisnu.
“Nang jurusan. Ngumpulke tugas.” jawabku sambil mencomot mendoan dari gerobak Yu Par.

“Pram!” panggil wajah cantik itu. Aku mengangguk dengan mulut penuh tempe, mengangkat tangan kanan sebagai ganti ‘yo!’.
Bonbin mendadak terasa lebih beradab dengan kehadirannya. Cantik, modis dan wangi. Pisuhan-pisuhan mereda dengan sendirinya begitu ia mendekat. Ia menghampiri kami. Duduk di sebelahku, di bangku kayu panjang.
“Nita told me you’d be here.” ucapnya sebelum ikut memesan kofimiks.
“She did?” tanyaku kembali teringat wajah mendungnya tadi. Ngilu.
“Yeah, she said you’d be here with the book. May I see it? I just wanna check something. You see, I wrote my undergrad thesis on it. They want me to write a summary of it in bahasa, but I didn’t back up my thesis on my laptop. There are several quotes I’d like to note.” ucapnya menunjuk buku yang sejak tadi teronggok di meja di antara piring bekas makan dan gelas-gelas minuman.
“I see? Well, to be honest I myself haven’t read it all yet. I accidentally found this book at Shopping.”
While shopping, you mean?” koreksinya dengan ekspresi lucu. Cardigan fuschia yang melapisi ‘daster’ bunga-bunga aneka warna yang dikenakannya terlalu cerah untuk tempat sedekil Bonbin. Mendadak aku ingin menyelamatkannya dengan cara mengajaknya ke Kansas. Sebab Kansas adalah tempat yang pas bagi gadis pirang ini. Macam Dorothy.
“No. I meant at Shopping. Anyway, sure. Here you go.” ucapku kembali menyerahkan buku yang baru pulang ke tangan orang lain lagi.
“Thanks!” serunya langsung membuka-buka buku itu dengan akrab. Tiba-tiba ia bertanya, “What’s this?”
Ia menyerahkan sebuah amplop kecil. “I found it here.”
Kuraih amplop kecil tanpa tulisan itu kubuka. Sebuah kartu perdana dengan pulsa senilai sepuluh ribu rupiah dari provider kuning.
“Halah. Si bego.” gumamku pelan.

Sulap Kartu Remi

“Diundang Mama. Main remi.” dengan terbata dia berkata.
“Ah, maaf.” sahutku tanpa melihat ke arahnya, kubuka kunci rantai sepedaku lalu melilitkannya pada stang. “Malam ini ada baito. Gantiin temen.”
Sepasang sepatu Chuck Taylor  bututnya tampak basah.
“Ja, mata.” ucapku mengayuh menjauh. Putih nafasku tinggal, mungkin menemani putih nafasnya. Di sana. Di parkiran hotel bintang tiga tempat kami bekerja.

“Ada keluarga Indonesia di lantai 4.” Nita berkata sambil membuka botol kopi susu kesukaannya.
Setengah jam lagi shift pagi dimulai. Di ruang staff kami menikmati sarapan. Roti tangkup atau onigiri, jika tidak ikut catering yang harganya 250yen per hari.
“Biasa kan?” sahutku.
Di lantai 4 terdapat beberapa kamar double + kitchenette khusus keluarga-keluarga tamu jangka panjang. Mereka yang menginap lebih dari 3 minggu hingga 2 bulan. Biasanya keluarga peneliti atau penerima beasiswa yang masih harus menunggu giliran jatah kamar di apartemen mahasiswa internasional.
Nita menggeleng.
“Yang ini ngga biasa. Bawa anak. Tapi anaknya udah gede. Seumuran kita-kita.” tambahnya.
“Hah? Segede kita? Kuliah?”
Nita lagi-lagi menggeleng. “Jalan-jalan. Ayahnya dapet fellowship. Dia diajak karena kebetulan lulusan jurusan Sastra Jepang.”
“Ojosanka?” kulirik Uni yang setelah menyeletuk, kembali asik menyeruput sup miso dari cawan plastik.
“Turis.” timpalku terkekeh, diikuti Nita.
“Aku udah ketemu kok. Namanya Fia.” timpal Fariz yang sejak tadi asik mengetik sesuatu di HPnya. “Baik kok.”
Tiba-tiba Phet san yang menobatkan dirinya sendiri sebagai supervisor, seperti biasa sok mengingatkan kalau waktu kerja hampir mulai.
Percakapan-percakapan aneka bahasa mereda. Masing-masing menuju lokasi kerja. Minggu ini aku berpasangan dengan Fariz bertugas merapihkan kamar-kamar. Memberikan kesempatan untuk bertanya lebih banyak tentang keluarga Indonesia di lantai 4.

Hampir saja sekeranjang penuh kain lap yang kami pakai seharian jatuh menimpa sepatuku. Di pagar pembatas atap hotel, sesosok siluet duduk menghadap matahari. Matahari yang tampak besar dan jingga karena tipuan optik cakrawala. Kukira hantu lantai 5 yang sering diceritakan rekan-rekan. Hantu yang suka berkelebat di lorong-lorong, yang menghilang di balik sudut begitu kau memberanikan diri menoleh untuk memastikan, hantu atau bukan.

Ia menoleh. Rambutnya yang pendek diacak angin. Aku memicingkan mata berusaha melihat wajahnya namun silau oleh matahari. Untuk beberapa detik aku masih berusaha sampai ia kembali menatap matahari. Mengabaikanku. Usai memasukkan cucian dan menuangkan sabun cair sesuai takaran, kutekan tombol agar mesinnya bekerja. Besok, Fariz yang akan mengeluarkan kain lap yang sudah bersih lalu menjemurnya menggantikan kain lap yang ia jemur pagi sebelumnya.

Suara air mengisi mesin. Matahari tinggal seiris. Ia masih duduk di sana. Beberapa bintang berkedip kepagian. Ini toh, turis itu.

“Ini anak tante, Fia.”
Bu Ghazali, penghuni kamar 409. Double + kitchenette + sofabed. Kamar yang mengingatkanku pada rumah. Sampo Clear dan sabun Lifebouy. Wadah-wadah makanan dari plastik yang sempat diintip dan ditunjukkan Fariz padaku. Rendang, Kering Kentang dan perkedel jagung. Oleh karenanya, waktu kami membersihkan kamar itu agak lebih lama dari biasanya. Terutama karena kami berebut membaca majalah Femina yang ada Dian Sastrowardoyo di sampulnya.

Fia. Gadis manis berambut pendek. Sehari-hari hobi mengenakan celana jins dan sweater almamater. Tak sesigap ibunya dalam menimpali canda, tapi ia ahli di departemen tawa. Seperti keripik kentang yang dikemas kedap udara: renyah.

“Yang ini.” ia menunjuk sepeda berkeranjang. Kulirik label harganya, 2000 yen. Masih masuk budget, syukurlah. Sepeda pilihannya lalu diperiksa secara menyeluruh agar siap pakai. Setelah mengantongi surat kepemilikan sepeda aku mengajaknya keliling Kyoto untuk pertama kali. Ia tampak lebih hidup di atas sepeda. Menyatu.
“Hari ini libur?” tanyanya setelah menyusul dan memotong jalan sepedaku. Ia yang tadinya di kiri, sekarang di kananku.
“Yup.”
“Ngga kursus juga?”
“Libur semester.” sejujurnya aku malas ditanya soal pelajaran bahasa Jepang. Sudah 6 bulan di Kyoto tapi belum ada kemajuan. Tidak seperti Uni dan Fariz yang di bulan keenam sudah sibuk memilih hendak lanjut ke universitas mana di Kyoto atau sekitarnya.
“Ngomong-ngomong, gimana hasil interviewnya kemarin? Keterima?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Keterima!” sahutnya riang, lagi-lagi memutari aku dan sepedaku. Aku menjaga laju sepedaku.
“Ngajarnya setiap kapan? Berapa anak?”
“Sementara tiga dulu. Ada satu lagi rencananya, tapi ibunya masih ragu soalnya anaknya baru 2 tahun.”
“Segitu kepengen anaknya bisa bahasa Inggris, dari umur 3 tahun sudah dicekoki.”
“Yakin bisa nanganin anak-anak?” tanyaku sangsi. Gayanya yang tomboy tak menunjukkan sikap keibuan sedikitpun.
“Anak-anaknya sih tinggal diketekin. Emak-emaknya itu lho. Pasti bakalan ngawasin kayak apa tau deh.”
“Haha. Bener juga. Kuncinya PD dan senyum aja.”
“Senyum dan PD selama dua sampai tiga jam dua kali seminggu demi 2000 yen sekali pertemuan, buatku sih, ngga masalah. Fia kan pawang bocah.” aku membelokkan sepeda mengajaknya istirahat sejenak di pinggir sungai Kamogawa.

“Fahmi ngga suka, Ni. Comment kayak gitu kan dibaca semua. Kalau keluarga di Padang baca gimana? Kalau Mama sampai baca, gimana? Anaknya pergi jauh buat sekolah tapi ngga becus.” jawabku berusaha membela keputusanku untuk menjauhi Fia. Fia yang sudah kelewatan.
“Maksudnya mungkin baik. Supaya Fahmi lebih serius belajarnya.”
“Maksud baik harus dipikir juga kali. Efeknya apa aja. Kalau ngga, malah sia-sia. Baik itu relatif. Lagian siapa sih dia? Ada di sini juga karena nunut bapaknya. Bukan karena keringatnya sendiri.” setelah itu aku menutup mulut rapat-rapat. Uni juga.

“Tadi dia ke sini. Dikiranya kamu kerja. Duduk di kursi yang kamu dudukin itu.” cerita Mas Vino sambil membuat pesanan nasi goreng untuk tamu. Aku memilih diam.
“Dia minta saran gue.”
“Mas Vino bilang apa?”
“Ngga ngasih nasihat khusus sih. Cuma bilang suasana kayak gini buat Fahmi juga ngga enak. Terutama sama orang tua Fia dan Uni juga Fariz yang posisinya di tengah-tengah.”
Aku membenarkan dalam hati.
“Memangnya masih jauh ya?” tanya Mas Vino tiba-tiba.
“Apanya?” tanyaku balik.
“Maafmu.?”
Kembali kuteguk birku. Menunda jawab.

Pesta di restoran “Apa Kabar” ramai sekali. Mas Vino mengerahkan seluruh ‘adik-adik’nya untuk membantu tenaga pelayan dan pencuci piring. Pesta tujuhbelasan diisi penyanyi dangdut yang didatangkan langsung dari Indonesia. Tanganku mulai panas mencuci berlusin-lusin piring kotor yang seperti dikloning. Tak habis-habis.
“Geser dikit.”
Aku menoleh. Fia, sedang menyingsingkan lengan kebaya encimnya. Ia meraih sabut cuci piring yang tersedia dan mulai mencuci.
“Fahmi yang bilas.”
“Siap.” ucapku berusaha terdengar kalem.

Maafku, rupanya sudah lama duduk diam menunggunya.

Aku membaca kembali posting-posting puisi di blognya. Sebagian aku kenali sebagai permintaan maaf. Sebagian sebagai ungkapan hatinya yang paling lantang. Sebagian potret kebersamaan kita dengan tokoh-tokoh yang berganti nama. Tentang sulap kartu remi, matahari terbenam di bangku taman yang berjajar di tepian Kamogawa diiringi suara latihan klub jazz universitas.

Glossary:

Baito = kerja part time
Ja Mata = sampai nanti
Ojosan = Nona Muda
ka? = kah?