“Bismillah.” gerak bibir Leandra saat menaiki Kopaja yang tak sepenuhnya berhenti untuk mengangkutnya. Leandra memandang sekeliling. Tempat duduknya terisi semua. Diperbaikinya posisi ransel yang sengaja digantungkan di depan untuk menghindari tangan-tangan copet. Di dalamnya, kamera yang dibelinya dengan menyisihkan honor memberi les privat melukis. Kamera yang kini jadi pewujud impiannya, memiliki hobi yang menghasilkan uang.
Kantong kertas besar berisi properti pemotretan dikempit di antara kedua betisnya karena kepanasan dan butuh dua tangan untuk menguncir rambut ikal tebalnya. Angin dari jendela Kopaja langsung menyapa tengkuknya. Nikmat. Leandra tersenyum, bersyukur atas rahmat kecil yang dirasakannya besar. Nafasnya jadi lega. Ia sudah bisa tersenyum tulus dan melupakan perlakuan mengesalkan dari kliennya seharian tadi. Setidaknya, balita yang menjadi model sangat kooperatif dan tak sekalipun menangis sepanjang sesi foto.
Flier penawaran kartu kredit yang tanpa sadar digenggamnya sedari tadi, dipakai untuk berkipas sambil mengamati orang-orang satu Kopaja dengannya. Rata-rata pegawai kantoran dengan wajah letih dan jutek.
“Mbak ini ramah ya? Ngga kayak kebanyakan cewek yang saya angkut. Mukanya seperti terlahir kusut, cemberuuuut terus.” komentar supir angkot pada Leandra suatu kali.
“Ah, pasti mbak-mbak itu wajahnya cantik. Lah saya? Mana mungkin saya cemberut, wajah pas-pasan begini? Kalau manyun nanti makin kasihan yang ngeliat dong, bang. Makanya, abang harus sering-sering senyum juga.” canda Leandra bermaksud meledek supir angkot tersebut.
“Maksud mbak?” di kaca spion, alisnya yang tebal mirip ulat bulu sedang berciuman.
“Hehe, kiri bang!” Leandra buru-buru memberi ongkos dan melompat turun.
Leandra kembali senyum-senyum sendiri. Beberapa mata mulai meliriknya sinis dan curiga Leandra setengah gila. Leandra cuek dan asik kipas-kipas, sampai matanya bertemu dengan sepasang mata yang amat dikenalnya. Duduk di deret bangku belakang, tak sampai semeter jarak darinya.
“Leandra?” tegur pemilik mata coklat itu hati-hati.
Leandra tersenyum.
“Rafa?”
“Iya! Apa kabar lo?” Rafa mengulurkan tangannya.
“Baik!” jawab Leandra berusaha menyamai antusiasme Rafa.
“Eh, kenalin nih. Tetha, pacar gue.”
“Hai, gue Leandra. Temen kampus Rafa dulu.”
“Tetha.” wajah melankolis itu tersenyum sopan sambil menjabat tangan Leandra. Cincin mereka beradu.
“Eh? Pacar apa tunangan nih atau jangan-jangan mantan pacar?” goda Leandra saat melihat lingkaran emas di jari manis Tetha.
Rafa tertawa. Tetha meliriknya sambil tersenyum malu-malu.
“Doain aja ya.” hidung Rafa kembang-kempis. Seperti dulu, kalau lagi GR, selalu begitu.
Leandra terkekeh.
“Iya, gue doain tapi jangan lupa undangannya ya?”
“Sip. Eh, ID YM lo masih yang lama kan?”
“Masih. Lo pake BB ngga, ntar PMin gue pin lo.”
“Sorry, Ndra. Gue pakenya iPhone.”
“Yaudah, iPhone bisa YM-an kan?”
“Bisa.”
“Karet! Karet!” teriakan kondektur segera disahut Leandra, “Karet Bang. Eh, Fa, gue duluan ya. Mau mampir ke Ambass bentar.”
“Sek, biar gue tebak, pasti mau borong DVD serial Jepang kan?”
“Hahaha.. Am I that obvious?” jawab Leandra sambil tertawa geli sambil melangkah turun.
“Not obvious! You just haven’t changed!”
“Yeah! Why should I?” teriak Leandra sambil berbalik melambai pada Rafa dan Tetha.
Beberapa pengendara motor dengan kesal memencet klakson, memaksa Leandra minggir. Leandra memeletkan lidah sambil membopong barang bawaannya. Sesampainya di bawah tangga jembatan Transjakarta, Leandra disambut tukang-tukang ojek yang mangkal. “Ojek, neng?” Leandra menggeleng. Ia butuh tempat bersandar, bukan ojek.
Lutut Leandra terasa lemas. Untuk beberapa saat, ia berdiri di situ mengatur nafas. Rafa. Bukankah dia sedang mengambil S2 di Melbourne? Tetha calonnya, tidak terlalu cantik tetapi lembut dan kalem. Jauh sekali dari seorang Leandra yang tidak bisa diam, yang 5 hari dalam seminggu rambutnya akan bau asem, meski setiap sore atau malam dikeramas.
Berbagai kenangan yang dilaluinya bersama Rafa di Jogja mendadak tayang di kepala Leandra. Hal-hal seru yang pernah diceritakan pada keluarga dan sahabat terdekatnya pula hal-hal saru yang hanya diketahui oleh dirinya dan Rafa.
Sebuah Kopaja mendekat. Nomornya sama dengan yang tadi Leandra naiki. Arahnya juga. Yang ini menawarkan Leandra tempat duduk di pojok belakang.
cup cup cup… leandra jangan ampe nangis yak.. :D