Aku mengenalnya sejak dulu. Perempuan kecil berpipi gembil dari belahan dunia yang kaya matahari. Perempuan kecil yang sering asik dengan pikirannya sendiri dan sering heran mengapa tak banyak yang mengerti atau tak banyak yang mau mengerti.
Usianya ketika itu mungkin 5 tahun. Banyak hal yang mengisi benaknya.’ Kenapa anak-anak perempuan tidak mau berteman denganku dan kenapa anak-anak laki selalu menghindar jika kukejar-kejar? Malahan overacting lantas berteriak-teriak sambil ngibrit, “Run!! Run!! The Kisser Girl!!! The Kisser Girl!!!” ’.
Istirahat kedua, ketika ia telah lelah berlari-larian, ia akan duduk sendirian di ayunan, bertanya dalam hatinya yang sedih mengapa tidak ada yang mau berteman dengannya? ‘Sebaiknya aku bunuh diri saja, toh tak akan ada yang kehilangan.’
Menunggu kedua kakaknya di bawah pohon rimbun untuk pulang bersama, ia menengadahkan kepala mengangakan mulut menyambut air yang menetes dari pohon. Sisa-sisa hujan tadi siang.
“Eww!! Your sister is so wierd!” teman seorang kakaknya yang kebetulan melihat bergidik jijik.
Kakaknya akan melotot memperingati.
Ia akan menunduk menurut dan memainkan tali-temali ranselnya.
Perjalanan pulang menyusuri jalan pintas, yang dalam pikiran kecilnya merupakan petualangan melalui hutan belantara menyusuri jembatan-jembatan bobrok menakutkan. Ia akan melangkah 1-2 langkah di belakang kakak-kakaknya sembari mengingat-ingat sebuah film. Film Indiana Jones and The Temple of Doom. Kali ini jagoannya seorang anak perempuan dengan dua kakak laki-laki. Yang satu lembut bertanggung jawab, yang satu nakal penuh rasa ingin tahu. Begitulah ia, selalu tenggelam dalam pikirannya sendiri hingga sekian tahun kemudian, ketika ditanyakan rute perjalanan pulang dari sekolah ke rumah ia takkan bisa menjelaskan dengan benar. Padahal hanya perjalanan di tengah kompleks perumahan sejauh lima blok.
Pikirannya seringkali berbeda dari anak-anak seumurnya pada umumnya. Manakala ayahnya mengajaknya main lempar-lempar ke kasur ia akan mengeluarkan kata-kata yang mungkin pada saat pertama mendengarnya alismu akan bertaut heran.
“Sini, Papa lempar ke laut ya!” dengan gemas ayahnya membopong tubuh kecil anak perempuannya untuk dihempaskan ke kasur.
Sambil terkikik kegirangan si anak menjawab,
“Biarin! Lempar aja C-loud! Cloud kan empuk!!!”
Yah, seorang anak ingusan yang hingga umur lima tahun masih menggunakan lidahnya sebagai saputangan di kala tangannya terbungkus mittens dan bahu lengan windbreaker merahnya terlalu tebal untuk bisa sampai memeper ingusnya yang meleleh-leleh di tengah salju. Ingus yang hingga 4 tahun kemudian ia masih saja doyan. Sambil sembunyi-sembunyi tentunya. Sayangnya, pada tahun terakhir ketahuan oleh si Kakak. Malulah ia hingga habis masa remaja.
Sumpah, sejak itu dan jauh sebelum itu aku mengenalnya. Ketika ia merasakan ciuman pertamanya di usia 7 tahun. Ketika ia menggaruk nadinya dengan isi stapler di usia 14 tahun. Ketika ia menulis surat ‘Melarikan Diri’ lalu bersembunyi di dalam lemari selama 3 jam hanya karena tak tahan dimarahi. Sambil mendengarkan pembicaraan orang tuanya yang menyesal memarahinya sampai surat itu harus tercipta. Ia menangis di dalam lemari menyesali perbuatannya, ditambah karena kesal di dalam situ gelap dan berdebu. Ketika itu usianya masih 6 tahun.
Aku mengenalnya ketika ia ditanya, “Untuk siapa kamu sholat?”
“Karena disuruh mama dan papa.”
Jawaban yang akhirnya berbuntut pada penjelasan penuh kelembutan bahwa sholat itu karena Allah yang memerintahkan. Mama dan Papa hanya menjalankan tugas sebagai orang tua agar kamu tidak dimurkai Allah kelak.
“Untuk siapa kamu mengaji?” take two.
“Karena Allah.”
“Anak pintar!”
Ketika itu jawabannya masih sekedar pengertian hasil trial and error. Pengertian yang sesungguhnya baru ia dapatkan berpuluh-puluh tahun kemudian. Akupun menjadi saksinya.
Saksi keterpurukannya. Kesalahan-kesalahannya. Jalan-jalan yang dipilihnya yang ternyata salah dan membenamkannya dalam bermacam kesulitan. Sebagian besar karena ia lupa. Lupa pada ajaran lembut orang tuanya ketika ia kecil. Lupa, mungkin kurang pas. Mungkin lebih pas jika dikatakan ia memang belum diberi ‘Pemahaman’. Aku hanya bisa melihatnya, mengawasi setiap pilihannya dengan sabar dan menolongnya di setiap kesempatan aku bisa.
Ada usianya di mana ia terlihat begitu indah. Ketika ia akhirnya menemukan pasangan jiwanya dan melahirkan anak-anaknya. Aku teringat hari pertama aku ditugaskan mendampinginya. Ada temanku berkata, lihatlah Ibunya, begitu ikhlas dan cekatan dalam menjalani tugasnya sebagai apapun peran yang diembannya. Ia seorang mama, seorang istri, pelayan restoran, seorang adik, seorang anak, seorang Muslimah yang hanya ingin diridhoi setiap langkahnya oleh Allah. Temanku yang lain berkata, lihatlah ayahnya, seorang Bapak yang sangat mengasihi anak-anaknya, selalu berpikir dengan kepala dingin demi memperoleh solusi untuk setiap ganjalan di dalam arungan bahtera kapal yang dinahkodainya. Ia tak pernah alpa menyentuhkan Al Qur’annya ke dahi, mengecupnya dan merapatkannya ke dada setiap sehabis membaca, seolah ingin meresapkan cahaya Ilahi sebagai bekalnya kelak di hari nanti. Aku beruntung kata mereka, seperti mereka, terpilih untuk menjaga dan mengawasi salah satu anak dari keluarga ini.
Ada kalanya aku ragu pada ramalan teman-temanku tadi mengenai dirinya. Terutama ketika ia sedang bereksperimen dengan seberapa jauh Allah bisa murka. Seringkali aku dikecewakannya ketika ia mendzalimi dirinya dengan sengaja ‘lupa’. Aku tahu ia pintar dan bisa berpikir. Sejak ia kecil aku tahu. Aku tahu Allah telah menggariskan hidupnya dengan segala kebaikan, kebaikan yang tidak serta merta ‘ada’ begitu saja. Sebab ia adalah yang pintar dan berpikir. Jadilah adanya saat-saat sulit buatnya yang juga memedihkanku.
Ketika ia telah menemukan arti hidupnya persis seperti ibunya dulu, sebagai ibu, sebagai anak, sebagai istri dan langkah yang membawanya mewujudkan impiannya menjadi penulis, aku semakin mencintainya. Aku menunggu malam-malam di mana aku bisa duduk di sebelahnya. Menyaksikan air matanya yang berderai memohon ampun atas kesalahan-kesalahan di masa lalunya meminta kebaikan demi masa depannya. Menikmati salamnya manakala ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Di usia akhir 20an, ia tersadar pula akhirnya akan hadirku dan memberi senyum manisnya meski tak melihatku.
Suatu subuh, ia membaca lxxxii : 10-12 dan menangis. Membenamkan wajahnya dalam tafsir. Selama ini ia tak sendiri. Ada aku yang selalu mendampingi dan menjaga. Mengawasi. Itu yang dibacanya hingga tersedu. Aku merasa menjelma semakin nyata dalam hidupnya. Aku semakin menyayanginya.
Ketika usianya 57 tahun, dengan cucu pertama tertidur lelap dalam pangkuan, ia membaca Tafsir yang sama. Yang sudah bolak-balik ke toko fotokopi untuk berulang-ulang dirapihkan jilidannya. Kitabnya telah menguning. Rambutnya kini telah memutih. Wajahnya memancarkan cahaya yang mungkin seputih rambutnya. Ia sedang berpikir untuk menulis. Sesuatu untuk teman-teman feminist-nya yang skeptis:
Janganlah menyimpulkan, hanya karena sering disebutkan di dalam Al Qur’an bahwa surga dipenuhi bidadari-bidadari cantik molek yang tak pernah terjamah pria sebelumnya, yang duduk anggun di atas sofa-sofa hijau berbeludru, berarti Allah menciptakan surga hanya untuk pria. Jangan lupa kisah Maryam ketika didatangi malaikat tampan. Jangan lupa kisah umat Nabi Luth yang kotanya didatangi malaikat-malaikat pria yang mampu menggoyahkan iman para pria. Kaum homoseksual yang kukenal ketika muda dulu di kala hobi membentuk badan di fitness center mahal itu, tampan-tampan luar biasa. Apa lagi para malaikat Allah. Jadi jangan berkecil hati sahabat feminist-ku jika kau beriman dan positif thinking pada Sang Tuhan. Ia Maha Mengerti dan Maha Tepat Janji. Selain bidadari cantik, untuk kita juga disediakan malaikat tampan.
Hari itu aku sedikit berbesar hati. GR tepatnya.
Hari ini, sesuai janji, sahabatku Izrail, datang. Anak, cucu, keponakan, adik, kakak dan para menantu dengan wajah sedih duduk mengelilinginya. Ia meminta agar ruang tamu disulap jadi ruang tidurnya. Agar luas ruangan bisa menyambut teman-teman yang mengunjungi jasadnya yang masih bernyawa dan agar susunan ruang tidak perlu dirubah setelah ruhnya berangkat. Cukup diganti seprainya menjadi kain batik dan selimuti ia dengan kain kafan, pesannya saja. Beberapa cucu terus-terus menangis sambil membacakan do’a-do’a di kiri dan kanannya, mengelus-elus lengannya yang keriput. Membelai-belai dahi dan rambutnya. Tak ada unsur tidak sopan di situ karena beliau sendiri yang menganjurkan. Dahi adalah salah satu pusat trigger endorphin, morphin alami manusia. Rajin-rajinlah membelai dahi orang yang ingin kau buat bahagia. Salah satu dari ribuan petuah bijak kasih nenek dan ibu pada cucu dan anak.
Ia tersenyum penuh kelembutan seolah meredam kebahagiaan. Ia bahagia karena tahu waktunya hampir tiba. Pertemuan yang ia nanti-nanti sejak Cahaya itu mulai menerangi hari-harinya. Ada terbersit kekhawatiran apakah cukup amalannya, apakah masih ada dosanya yang belum dipohonkan ampun? Tapi tak lama ia menghela nafas lega bahwa ia hampir saja lupa Tuhannya Maha Pengasih lagi Penyayang, juga Maha Pengampun. Ia kembali menata benaknya yang masih ditingkahi si Setan yang semakin kerdil di hadapannya. Set otak: Berpikir Positif akan Tuhanmu. Binasalah, wahai Iblis!
Hatinya penuh puja-puji terhadap Pencipta Semesta, berdetak tak sabar agar Izrail menjalankan tugasnya. Ia memberi senyum manis pada anak-cucunya. Terhembuslah selarik udara yang berbahagia menjadi yang terakhir menyusuri rongga dadanya karena ditempeli sebaris kata, ‘Laa ilaaha illallaaahh..’
Manusiaku, sampai bertemu lagi di akhirat nanti. Terimakasih untuk 76 tahun Bumi kau mengajariku betapa Allah telah begitu baik menyusun rencana. Betapa tidak mudah menjadi manusia. Tanpa perlu mengikuti jejak Harut dan Marut. Aku telah jatuh cinta. Tapi aku tahu diri. Cintamu untuk-Nya. Untuk keluargamu yang selalu kau doakan dan nasihati agar dapat berkumpul bersama Nanti. Untuk suamimu yang kau kasihi sepenuh hati karena tidak hanya membiarkanmu melangkah sendiri tapi kadang menggandeng, menyeret bahkan mendorongmu agar benar jalurmu menuju Tujuan yang sama. Sudah ada yang ingin kau temui di sana. Mungkinkah aku kan termasuk?
Aku hanya bisa bersyukur. Berterima kasih untuk setiap senyum manismu di akhir sholat dan salam penuh makna untuk kami di sisi kiri dan kananmu. Aku tahu kok, isi hatimu ketika itu. Karena aku mengenalmu sejak dulu.