“Setengah jam saja ya, Pak.”
“Terima kasih, suster.”
Ia duduk di balik meja berwarna lavender. Sibuk menulisi sebuah notes. Matahari pagi menyiraminya dari sisi kiri, membuat rambut ikalnya yang hitam tergerai bagai tersambar api. Bagai lukisan Dewi Yunani.
Kutarik perlahan kursi di depannya. Ia mengangkat wajah, menatapku, tersenyum, lalu kembali asik dengan tulisannya. Tangan kanannya diulurkan kepadaku. Seperti biasa. Ia ingin aku memainkan cincin yang melingkar di situ.
Kuraih tangannya dengan kedua tanganku. Menciuminya. Mengenang wangi vanilla yang dulu mewarnai hari. Sebelum perampokan sadis yang merenggut segala miliknya kecuali sejumput nyawa. Itupun rusak.
Di balik kaca, istriku yang sedang hamil tua menunggu dengan sabar. Cincin yang sama melingkar pula di sana.