Vanya menekuk kaki hingga mampu mencium lututnya sendiri di atas kursi lipat merah. Sendiri di sudut locker jurusan. Tangan kanannya memuntir-muntir pensil mekanik, bibirnya bergerak-gerak menyanyikan lagu yang didengarnya pada iPod. Sepenggal-penggal, sebentar lantang sebentar lirih. Album itu baru dibelinya kemarin sore dan ia masih belum begitu hafal lirik-liriknya.
Tangan kirinya menelusuri kamus Webster super tebal, mencari arti kata ‘obnoxious’. Mulutnya kini membentuk huruf ‘o’.. “Oo.. Oo.. Ob.. Nah! Obnoxious! Gotcha!” ia berseru.
Dengan hati-hati dan teramat rapih, ia menyalin kata tersebut beserta artinya dalam sebuah buku notes kecil. Notes khusus kata-kata yang baru diketahui artinya itu sudah hampir penuh. ‘Obnoxious’ adalah kata dengan nomor 305 di depannya.
Di teras locker Jurusan Sastra Inggris, sedang ada konser dadakan Pak Arief Rahman dengan gitar klasik milik Joko, anak Sastra Perancis. Sinar senja menggelitiknya dari luar jendela. Vanya akhirnya mengalah dan memutuskan untuk istirahat sejenak dari bacaannya. Bergabung dengan teman-temannya. Setelah mematikan iPod, dia kumpulkan buku-buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan kampus. Gabriel Garcia Marquez, Kafka, Shakespeare. ‘Untuk kampus yang berhasil masuk 100 kampus terbaik sedunia, kenapa buku-bukunya macam artefak saja?’ benak Vanya suatu ketika. Tapi tak mengapa. Toh, buku-buku yang dipinjamnya adalah Masterpiece kelas dunia dan yang namanya mahakarya takkan lekang oleh jaman. Pasti ada sesuatu yang bisa diperolehnya. Kata-kata baru untuk menambah koleksinya. Bukan sekedar mempersiapkan diri sebelum Ibu Ani, pengampu mata kuliah English Lit. menggelar tanya. Melainkan pemacu semangat belajar antara dirinya dan Sakai.
♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦
Sakai adalah anak bawaan dari ayah tirinya. Tak lama setelah Ayah Vanya meninggal, ibu dilamar. Pak Hadi adalah teman ibu semasa SMA, ia pun telah menduda. Berbeda dengan Ibu Vanya, Pak Hadi menduda sejak hari Sakai dilahirkan. Vanya berusaha untuk bersikap dewasa, berusaha mengerti kebutuhan ibunya, berusaha mengingat kata-kata terakhir Alm.Ayahnya untuknya, “Bahagiakan ibumu, nak.” kata-kata yang pada hari-hari buruknya, justru diartikan Vanya sebagai tanda bahwa cinta Ayah pada dirinya tidak seberapa.
Sakai yang pembawaannya tenang justru mengisi lubang yang menganga di hati Vanya sejak Ayahnya pergi. Bermula dari Sakai yang berhasil menemukan tempat persembunyian Vanya di sore hari. Tempat jingga dan pink menari dengan awan-awan yang melambai pada matahari yang beranjak pamit. Dengan gaya yang tak pernah sama setiap harinya.
“Geser.”
“Ganggu aja sih.” tapi Vanya tetap menggeser pantatnya di atas tikar jerami yang digelarkan untuknya oleh ayah dulu sekali. Berdua memang lebih terasa pas.
Angin. Adzan. Serpih-serpih mentari yang terepih lalu, damai.
/Angin, sampaikan salam untuknya di sana / Jika gelap, pinjamlah cahaya senja yang hangat untuk menerangi ruangnya / Katakan, anaknya sangat merindukannya. Ia baik-baik saja. /
Sakai berpuisi? Sosok hitam dan pendiam ini? Berpuisi? Tetapi, Vanya sadar puisi itu belum tentu untuknya, sebab Sakai pun telah kehilangan Ibunya.
“Permisi dong, gue mau turun.” tanpa melihat Sakai, Vanya meminta.
Sakai memiringkan tubuhnya agar Vanya bisa lewat. Membisu.
Hanya getar yang menyelinap tak tahu malu saat tangan Vanya tanpa sengaja memegang pundaknya berusaha menjaga keseimbangan.
♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦
2 bulan pertama memiliki abang memberi rasa baru pada ruang gerak Vanya. Ia kini tidak sembarangan keluar masuk kamar mandi berkemben handuk. Ia jadi lebih sering menyisir rambut dan saat makan pun Vanya sebisa mungkin tidak menekuk sebelah kaki ke atas kursi, kebiasaannya selama ini.
2 bulan saja Sakai menempati rumah Ayah Vanya. Ia kembali ke Jakarta, menempati paviliun rumah lamanya yang kini beralih fungsi jadi kost-kostan. Sakai diterima di UI. Vanya di UGM. Lucunya keduanya ternyata memilih jurusan yang sama.
“What? Lo punya dosen keren kayak gitu? Kirim ke sini!” sahutnya sore itu, saat Vanya mengirim BBM berisi suara Pak Arief yang menyanyikan lagu Edwin McCain yang ‘I’ll Be’. “Hohoho, No Way, Jose!” balas Vanya dengan emoticon mencibir. “Pak Arief Rahman, dosen gondrong berhati nyaman”, Vanya sering menyebutnya, sering ikut nimbrung bersama mahasiswa-mahasiswa yang males pulang ke rumah atau kost-kosan dan malah gitaran sampai adzan Magrib. Kegiatan yang belakangan menggantikan sore-sore Vanya di atas atap tempat jemuran. Tanpa Ayah, dan kini tanpa Sakai, tempat itu terlalu sepi. Lucunya, berkat Blackberry di tangan rasanya Sakai selalu dekat dengannya. Vanya hanya takut mengartikan hubungan mereka selain yang tertera pada kartu keluarga.
♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦♣♦
Sakai berbaring di atap paviliun yang dikreasikan mirip sekali dengan jemuran rumah Jogja. Blackberry-nya diletakkannya di dada. 2 bulan lagi bulan puasa. Ia pungut notes vocabularynya yang sudah lusuh karena dibawanya kemana-mana. “Peripheral” adalah kata nomor 305. 2 bulan lagi bila sudah genap 365 kata, buku itu akan berpindah tangan. Kelak di tangannya akan ada buku catatan milik Vanya.
Ditekannya kembali tombol play pada lagu yang dikirim Vanya lalu menikmati kecup terakhir mentari untuknya hari ini.
Tell me that we belong together,
Dress it up with the trappings of love.
I’ll be captivated,
I’ll hang from your lips,
Instead of the gallows of heartache that hang from above