Dia yang membukakan mataku akan tingkah laku hujan. 180 derajat mengubah cara pandangku yang sedari kecil membenci hujan. Cinta memang begitu. Mengubah kita seperti yang ia mau. Ia, ya cinta itu.
Pada kerudungnya singgah buli-bulir rintik lucu mirip manik-manik, yang sejurus kemudian meresap menghilang. “Sepertinya hujan sedang berada di pihakmu.” ia menunduk sambil bersusah payah menjaga jarak di bawah canopy sempit yang melindungi kita dari hujan. “Fine. Aku angkat tangan deh.” selorohku sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. Ubun-ubunnya persis di bawah daguku. Wajahnya tak terlihat tapi besar kemungkinan sedang tersipu. Dan mau tak mau bisa kurasakan hangat tubuhnya, menghidu aroma pengharum setrikanya. Dalam hati aku berkata, ‘Jika surga hanya sebegini, aku ikhlas.’
Lama-lama lenganku terasa pegal. Pemilik kerudung di depanku malahan asyik menadah tetes-tetes hujan dengan tangan.
“Dik, pegel dik.” ucapku mengiba.
Ia menoleh ke belakang.
“Lah? Dari tadi Mas begitu terus?”
Aku mengangguk layu. Memijit-mijit otot lengan yang pegal.
“Hihihi siapa yang suruh?”
“Ngga ada.”
******
Darinya aku tahu kalau tetes hujan tidak seperti yang selama ini digambarkan.
“Bukan begitu Mas.” protesnya saat aku mencorat-coret buku sketsanya di Bakoel Koffie suatu hari.
Diraihnya pensilku lalu membuat beberapa bulatan. Dari yang kecil sampai yang agak besar.
“Kalau gerimis, bentuknya seperti ini. Ukurannya kira-kira 0,1 milimeter. Jika lebih kecil dari ini biasanya partikelnya akan pecah bercampur udara. Nah semakin besar diameter tetesannya ia akan berbentuk seperti setengah bulatan, disebabkan tekanan udara di bawahnya.”
Malamnya aku cek di wikipedia dan ia benar sepenuhnya, bahkan situs ensiklopedi itu tak mampu bercerita tentang hujan selengkap dirinya.
******
“Kenapa kamu begitu menyukai hujan?” tanyaku pada suatu hari yang cerah, saat ia malah menyeletuk merindukan hujan.
“Hujan itu baik. Ia ada untuk mereka yang sedang berduka. Membasuh sedih, melarutkan pilu. Saking baiknya hujan, ia takkan kesal pada mentari yang ingin cepat-cepat meredakannya. Ia sambut matahari dengan suka cita spektrum cahaya.”
Tak jarang kurasa, rasa sukanya terhadap hujan terlalu berlebihan.
Sebulan kemudian kami tak lagi berpacaran. Namun pemahamanku akan hujan mau tak mau telah tertanam dalam-dalam. Aroma aspal yang menguapkan tetes-tetes pertama hujan selalu memicu benak untuk membuka file teduh senyumnya di pelupuk mata.
Entah siapa yang menjadi ‘matahari’ nya.
*******
“Nak, tetes hujan yang asli bentuknya tidak seperti itu… ” bisikku pada anakku sambil meminjam pensil warnanya, “Sini, Ayah ajari.”
“Ah, Ayah nggaya. Taunya juga dari Ibu.” celetuknya dari sisi lain tempat tidur.
Cinta memang begitu. Mengubah kita seperti yang ia mau. Ia, ya cinta itu << selalu setuju dengan ungkapan ini. Selalu :)