Aku ingin menulis tentang kalian. Sahabat yang paling aku sayang. Walau kita tak lagi dapat bertemu sesering yang kita mau.
Tapi mengetahui kalian masih sering kumpul satu sama lain. Nonton. Nongkrong di tempat-tempat baru. Mencicipi makanan-makanan baru. Mengakui sudut-sudut lama ibukota sebagai milik kalian yang baru. Sampai pagi. Sudah membuatku hepi.
Bahwa ada yang putus lalu jadian sama teman setongkrongan, adalah keniscayaan. Karena kalian pribadi-pribadi menyenangkan. Sulit untuk tidak saling menyayangi. Dan saling mempertaruhkan hati.
Bisa kurasakan kesedihan dan kebahagiaan kalian. Bukan salah siapa-siapa sebab semua sudah direncanakan. Jauh sebelum kita berkenalan. Dilahirkan. Anggap saja semua sudah direncanakan Tuhan, ketika Ia merancang gugusan bintang. Dan kita, Sayang, adalah juga bintang.
Tapi kalian. Bagiku. Lagi-lagi. Akan selalu jadi pasangan paling keren. Meski kalian mungkin tak akan pernah mendeklarasikannya pada dunia. Atau bahkan tak menyadarinya.
Kadang aku berharap memiliki indera kesekian yang bisa mengetahui siapa soulmate siapa. Sekadar tahu dan senang apabila jiwa kalian telah saling mengungkap rahasia itu.
Pasangan jiwa, Kawan, kalau dimaknai secara bahasawi, seharusnya memang tak terlihat, tak dapat disentuh, tak perlu dikatakan. Jiwa adalah udara yang tanpanya kita mati (tolong kasih tahu kalau kata-kata ini sudah pernah dipakai oleh pujangga siapa).
Sahabat, ah, mungkin berlebihan memakai kata itu. Membuatku teringat seseorang yang pernah menepis kata “teman” yang kutawarkan padanya. Kuharap kalian tidak melakukan hal yang sama. Sebab sama saja menyuruh kita menjadi asing. Karena setelah mengenal kalian, itu adalah hal terakhir yang kuinginkan.
Sahabat adalah sahabat, jauh ataupun dekat, renggang maupun erat.
Benakmu taman bermain, Disa.
Sahabatmu bunga-bunga.
Pohon-pohon gulali ceritanya pohon Sakura.
Bebatuan terbuat dari beragam kadar coklat dan kerikil adalah permen karet yang tak berbahaya jika ditelan.
Benakmu taman bermain, Disa.
Setiap pagi matahari dan hujan adu suit.
Namun aroma kopi kapal api yang dibawa angin mendamaikan keduanya.
Angin yang sesekali mencolek pipimu sampai menumpahkan semuanya.
Ya matahari, ya hujan, ya kopi.
Benakmu taman bermain, Disa.
Hamparan rumput imajinasi yang luas.
Penuh bunga-bunga.
Siapapun boleh singgah dan tumbuh di sana.
Benakmu taman bermain, Disa.
Yang pada cakrawalanya terdapat sebuah bukit.
Sebuah pohon Banyan tumbuh di sana.
Tubuhnya condong menaungi sebuah ayunan.
Ayunan yang diam-diam memperhatikan gadis yang selalu asik bermain dalam benaknya sendiri.
Yang dengan gitar dan katakemata menari-nari.
Ayunan yang tak sabar menanti gilirannya tiba, nanti suatu hari.
Happy Birthday Disa!
May Allah Bless You, always and always. *kiss*
Namanya Ali Bin Mahmood. Aku melihatnya pertama kali pagi tadi. Ia berjalan dengan tergesa. Sehelai sajadah tersampir di bahunya. Air menetes dari ujung hidung mancungnya. Lolongan adzan yang semakin ramai bersahut-sahutan memicunya untuk mempercepat langkah. Ia melewatiku yang tak terlihat. Aku yang menjadi satu dengan bayangan celah-celah antar rumah yang masih memperdengarkan alunan merdu dengkuran-dengkuran.
Tadi siang, aku mengamatinya bekerja. Berpeluh keringat tak kenal lelah. Tersenyum ramah pada siapa saja. Kaki kurusnya menari di atas debu dan batu-batu menghindar wanita-wanita bercadar. Mengangkut karpet-karpet dari Tunisia, Maroko, Turki dan Kandahar. Dari gudang Abah Suleman di bagian belakang pasar.
Dan sesuai rencanaku, ia mengajakku berkenalan saat jam makan siang.
“Assalamu’alaikum! Ya, Akhi baru berjualan di sini?” ia ikut jongkok di dekatku dan dagangan yang kugelar di atas sehelai tikar.
“Saya seorang musafir, berjualan sekedar agar bisa tiba di dusun kakekku di dataran Kashmir. Tamish ini kubeli dari pedagang lain di gerbang seberang.”
“Biar kubeli Tamishmu satu. Berapa?”
“1 ryal, tuan. Silahkan.”
“Tidak bolehkah aku meminta sedikit Foul untuk mencelupkannya? Tapi selain selembar ryal tadi, aku tak punya uang lagi.”
Aku mengangguk dan menuangkan secawan saus kacang untuk melengkapi makannya.
Ia menyantap tamish dan foul dengan sangat lahap. Sambil bercerita tentang dusunnya di Afghanistan yang porak-poranda oleh tentara Amerika. Selama itu pulalah otakku berputar keras. Bagaimana cara menjerumuskan orang seperti dia. Beribu muslihat hadir mengajukan diri hanya untuk tenggelam dalam silau ketulusan yang dipancarkannya.
“Ya Akhi, saya harus kembali bekerja. Terima kasih untuk hidangannya dan semoga selamat tiba di dusun tujuan.” ia menepuk-nepuk celana jinsnya sambil bangkit dari duduk.
“Sebentar, ini kembaliannya.” aku berusaha menjebaknya dengan harta. Kusodorkan uang 9,5 ryal.
“Lho, akhi lupa? Uangku kan hanya selembar tadi.” di akhir ucapannya yang terdengar prihatin ia tersenyum menepuk pundakku. Lalu beranjak pergi.
Aku merutuk. Sial. Manusia ini lebih susah dari yang kuduga.
Sore hari, saat matahari menyentuh cakrawala dan menyulutnya. Langit merah, senada darah. Di hatiku semacam amarah, saat lolongan adzan kembali menggema untuk keempat kalinya dan manusia ini belum sekalipun berbuat dosa.
Aku ikuti dia ke mesjid. Karpet mesjid yang empuk dan mewah seolah baja panas memanggang kakiku. Tetapi bukankah panas itu surga bagi yang terbuat dari api? Inilah bentuk murka-Nya pada kami yang api namun tersiksa pedas api.
Setelah semua pria berdiri rapih. Imam menoleh padaku dan mempersilahkanku membaca Qamat. Aku gelagapan. “Biar saya saja, Ammu.” Ali mengajukan diri.
Betapa jernih suaranya menyebutkan Qamat, lamat-lamat.
Tak terburu-buru, sepintas mirip adzan tapi jauh lebih bening.
‘Haiyaalas solah..’
‘Haiyaalal falah..’
‘Qadqamatis solah Qadqamatis solah..’
‘Allahu Akbar Allahu Akbar. La ilahaillallah..’
Di sampingnya aku terbakar. Kutahan tubuhku agar tak gemetar.
Sorbanku lebih erat kubebat, menutupi tandukku yang panas mencuat.
Aku lari meninggalkan syaf tanpa ada yang peduli.
Seolah aku tak pernah ada.
===============================================================================================
FIKSIMINI
@dedirahyudi TAK BISA KUTAHAN. Lantunan kata suci dr mulutmu menyayat hati. Kubebat sorban ini erat, menutupi tanduk yg mencuat. Panas.
FilmFiksimini by @OmBastian (edit by @adrainy & @dikiumbara)
Keterangan Kata Asing :
tamish : termasuk makanan murah, roti khas Afganistan, diameter 35cm mirip adonan Pizza
foul : kuah kacang, mirip saus mayonaise tapi ada tekstur kacang yang renyah
Akhi : Mas, Abang
Ammu : Paman