Hai kamu,
Ya, kamu!
Masih ingat akan cita-citamu?
Kamu bilang pada semua hendak menjadi jurnalis medan perang yang memenangkan Pulitzer Prize.
Semoga kamera Nikon A500 berlensa tele warisan dari kakek ngga cuma jadi gantungan leher ya. Ngga sedikit uang yang gue keluarin buat ‘ngidupin’ lagi itu kamera. Loper koran sedari subuh, sampai nilai anjlok karena kebanyakan tidur di kelas. Untung ada Darla sang penyelamat dengan catatan rapinya yang boleh gue fotokopi kapan saja.
Oh yeah, bagaimana kabar Dinda? Berhasilkah kamu mengabadikan mata sayunya dalam bingkai dengan cetakan B&W? Atau jangan-jangan ada lusinan Dinda yang sempat mengendap di kamar gelap. Tapi itu mustahil, tampang kita pas-pasan plus jerawatan. Sudah adakah gadis yang sudi melihat ke balik itu semua? Atau yang sekedar melongok. Sudah ada?
Bagaimana kabar Mama? Masih suka sakit kepala? Mama masih ada kan?
==================================
Surat itu berhenti di situ. Aku berusaha mengingat-ingat kenapa surat itu tak kulanjutkan. Kenapa aku tidak menulis tentang Papa yang dulu musuh bebuyutan. Papa yang selalu membela kakak yang menurutku tak becus apa-apa dan hanya bikin Mama sakit kepala.
‘Kepada Aku 15 Tahun Mendatang’ Judul PR guru nyentrik yang sampai kini masih sering kukunjungi. Mengajar sastra malah pakai lirik lagu Dewa. Kasihan Dhani Ahmad habis dicela berkelas-kelas anak SMA. Ibu Evi yang memalingkan wajah kami pada pemilik sejati bait-bait melankoli si Dhani.
“Anak-anak yang budiman, sebagai cinderamata kelulusan kalian dari bangku SMA ini, Ibu minta kalian menuliskan Surat untuk diri kalian 15 tahun mendatang. Kelak, jika Tuhan merestui kita adakan reuni, dan masing-masing Surat akan ibu minta kalian bacakan lagi.”
Guru jenius. Beliau tahu betul manusia selalu berubah. Dan untuk membuktikannya, tak ada yang secerdik caranya. Membuat kami melahap daya pikir kami sendiri. Kami yang masih remaja mengira tak ada yang tak bisa.
Padahal nyatanya, aku tidak menjadi jurnalis perang. Ayahku terkena stroke tak lama setelah Ibu meninggal dunia. Mengharuskanku lebih banyak bekerja dari rumah untuk menunggui ayah.
Kakak beroleh beasiswa ke luar negeri dan tersangkut gadis Eropa yang membuatnya lebih memilih menjadi warga negara kelas dua.
Aku kini wartawan freelance. Bukan yang berisiko tinggi. Sesekali menulis cerpen dan comic strip, kadang ditanggap untuk memfoto juga melukis karikatur tokoh masyarakat.
Ingat Darla? Yang catatannya selalu jadi penyelamat? Dia sudah menikah dan punya 4 anak. Benji, Eugene, Sophie dan Laila. Aku kenal betul dengan anak-anaknya, juga suami Darla. Setiap pagi aku bertemu dengannya, di dalam cermin.