Langit masih berwarna biru. Biru yang paling biru. Di kampung kumuh yang tersembunyi tak jauh dari kompleks rumahnya, ayam jantan sibuk membangunkan matahari. Beberapa pelari pagi mengangguk ramah padaku. Seorang pemuda tanggung membukakan pagar dan mempersilakanku masuk. Aku menggeleng. Lebih senang menghirup harum embun yang menggenggam jemari daun-daun pinus. Wangi Natal, meski tak seberapa.
Tak lama ayahnya keluar menghampiri. Bersarung dan mengenakan kaos putih. Wajahnya hangat dan teduh sekaligus.
“Assalamu’alaikum, Om.”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah, Nak Hanif. Kok ngga masuk?”
“Ah, ngga apa Om. Di sini saja.”
“Dari Bandung jam berapa?”
“Jam 3, Om.”
“Wah pagi sekali. Lancar dong ya jalannya.”
“Wah, bukan lancar lagi, Om. Nyaris ngga nginjek rem sama sekali.”
“Sudah Subuh?”
“Sudah tadi, mampir di rest area sebentar.”
“Rumah Bapak ramai?” Anggi pasti sudah cerita banyak padanya. Rasa haru dan hormat memenuhi rongga dada atas perhatian dan penerimaannya.
“Ah, ngga Om. Cuma saya dan keluarga adik saya, Riza. Dari tadi malam, mengantar Bapak misa.”
“Salam untuk beliau ya. Selamat berhari raya.” ucapnya sambil menepuk pundakku.
“Siap, Om. Nanti disampaikan.”
“Biasanya acaranya apa? Pas kumpul-kumpul?”
“Biasanya sih, tukar kado. Nonton DVD seharian. Bapak hobi nonton. Riza biasanya masak macam-macam. Tahun lalu, Natal ala Jerman. Tahun ini kalau ngga salah dia bilang, menu Natal Italia.”
“Pasti delicioso itu.” ucapnya sambil mengecup ujung telunjuk dan ibu jari yang menempel membentuk “O”, sementara tiga jari yang tersisa membentuk “K”.
“Alhamdulillah, ngga percuma punya adik juru masak hotel.”
“Bolehlah dikirim-kirim kalau sisa.”
“Ah, Ayah. Kan masakan Anggi juga juara.” tahu-tahu yang ditunggu muncul dengan sebuah tas travel besar.
“Juara paling bontot. Suruh belajar sama adikmu nanti ya, Nif.” sahut ayahnya. “Eh, itu ngga salah tuh? Bawaan buat sehari aja kok segitu banyak?”
“Tenang aja. Anggi pulang hari kok, Yah. Ini isinya hadiah Natal.”
“Anggi pamit dulu ya, Yah.” ucapnya sambil mengecup punggung tangan ayahnya.
“Makasih ya.” ucapku begitu mobil mulai melaju di jalan tol Cipularang. Baru sempat kuperhatikan dandanannya pagi ini. Sebuah terusan merah kotak-kotak, stoking hitam, high heels coklat beludru berpita dan jepit sederhana berbentuk pita bertitahkan kristal-kristal yang menangkap cahaya matahari dan memancarkannya kembali dengan warna-warni. Rambut belah pinggir sederhana yang kukenal ikut berpesta.
“Sama-sama.” sahutnya.
“Cantik.”
“Makasih.” refleks, ia menyentuh jepitnya.
=========================================================
Bapak Nasrani.
Almarhumah Ibu Muslim.
Ayahku hanya memegang janji membesarkan kami menjadi anak-anak saleh yang doanya dijamin sampai pada orang tua meski telah berbeda dimensi.
“Apakah beda agama juga beda dimensi, Pak?” tanya Riza di hari Lebaran belasan tahun lalu.
“Wallahualam, Nak.” jawabnya sebelum mendekap kami berdua.
=========================================================