Sulap Kartu Remi

“Diundang Mama. Main remi.” dengan terbata dia berkata.
“Ah, maaf.” sahutku tanpa melihat ke arahnya, kubuka kunci rantai sepedaku lalu melilitkannya pada stang. “Malam ini ada baito. Gantiin temen.”
Sepasang sepatu Chuck Taylor  bututnya tampak basah.
“Ja, mata.” ucapku mengayuh menjauh. Putih nafasku tinggal, mungkin menemani putih nafasnya. Di sana. Di parkiran hotel bintang tiga tempat kami bekerja.

“Ada keluarga Indonesia di lantai 4.” Nita berkata sambil membuka botol kopi susu kesukaannya.
Setengah jam lagi shift pagi dimulai. Di ruang staff kami menikmati sarapan. Roti tangkup atau onigiri, jika tidak ikut catering yang harganya 250yen per hari.
“Biasa kan?” sahutku.
Di lantai 4 terdapat beberapa kamar double + kitchenette khusus keluarga-keluarga tamu jangka panjang. Mereka yang menginap lebih dari 3 minggu hingga 2 bulan. Biasanya keluarga peneliti atau penerima beasiswa yang masih harus menunggu giliran jatah kamar di apartemen mahasiswa internasional.
Nita menggeleng.
“Yang ini ngga biasa. Bawa anak. Tapi anaknya udah gede. Seumuran kita-kita.” tambahnya.
“Hah? Segede kita? Kuliah?”
Nita lagi-lagi menggeleng. “Jalan-jalan. Ayahnya dapet fellowship. Dia diajak karena kebetulan lulusan jurusan Sastra Jepang.”
“Ojosanka?” kulirik Uni yang setelah menyeletuk, kembali asik menyeruput sup miso dari cawan plastik.
“Turis.” timpalku terkekeh, diikuti Nita.
“Aku udah ketemu kok. Namanya Fia.” timpal Fariz yang sejak tadi asik mengetik sesuatu di HPnya. “Baik kok.”
Tiba-tiba Phet san yang menobatkan dirinya sendiri sebagai supervisor, seperti biasa sok mengingatkan kalau waktu kerja hampir mulai.
Percakapan-percakapan aneka bahasa mereda. Masing-masing menuju lokasi kerja. Minggu ini aku berpasangan dengan Fariz bertugas merapihkan kamar-kamar. Memberikan kesempatan untuk bertanya lebih banyak tentang keluarga Indonesia di lantai 4.

Hampir saja sekeranjang penuh kain lap yang kami pakai seharian jatuh menimpa sepatuku. Di pagar pembatas atap hotel, sesosok siluet duduk menghadap matahari. Matahari yang tampak besar dan jingga karena tipuan optik cakrawala. Kukira hantu lantai 5 yang sering diceritakan rekan-rekan. Hantu yang suka berkelebat di lorong-lorong, yang menghilang di balik sudut begitu kau memberanikan diri menoleh untuk memastikan, hantu atau bukan.

Ia menoleh. Rambutnya yang pendek diacak angin. Aku memicingkan mata berusaha melihat wajahnya namun silau oleh matahari. Untuk beberapa detik aku masih berusaha sampai ia kembali menatap matahari. Mengabaikanku. Usai memasukkan cucian dan menuangkan sabun cair sesuai takaran, kutekan tombol agar mesinnya bekerja. Besok, Fariz yang akan mengeluarkan kain lap yang sudah bersih lalu menjemurnya menggantikan kain lap yang ia jemur pagi sebelumnya.

Suara air mengisi mesin. Matahari tinggal seiris. Ia masih duduk di sana. Beberapa bintang berkedip kepagian. Ini toh, turis itu.

“Ini anak tante, Fia.”
Bu Ghazali, penghuni kamar 409. Double + kitchenette + sofabed. Kamar yang mengingatkanku pada rumah. Sampo Clear dan sabun Lifebouy. Wadah-wadah makanan dari plastik yang sempat diintip dan ditunjukkan Fariz padaku. Rendang, Kering Kentang dan perkedel jagung. Oleh karenanya, waktu kami membersihkan kamar itu agak lebih lama dari biasanya. Terutama karena kami berebut membaca majalah Femina yang ada Dian Sastrowardoyo di sampulnya.

Fia. Gadis manis berambut pendek. Sehari-hari hobi mengenakan celana jins dan sweater almamater. Tak sesigap ibunya dalam menimpali canda, tapi ia ahli di departemen tawa. Seperti keripik kentang yang dikemas kedap udara: renyah.

“Yang ini.” ia menunjuk sepeda berkeranjang. Kulirik label harganya, 2000 yen. Masih masuk budget, syukurlah. Sepeda pilihannya lalu diperiksa secara menyeluruh agar siap pakai. Setelah mengantongi surat kepemilikan sepeda aku mengajaknya keliling Kyoto untuk pertama kali. Ia tampak lebih hidup di atas sepeda. Menyatu.
“Hari ini libur?” tanyanya setelah menyusul dan memotong jalan sepedaku. Ia yang tadinya di kiri, sekarang di kananku.
“Yup.”
“Ngga kursus juga?”
“Libur semester.” sejujurnya aku malas ditanya soal pelajaran bahasa Jepang. Sudah 6 bulan di Kyoto tapi belum ada kemajuan. Tidak seperti Uni dan Fariz yang di bulan keenam sudah sibuk memilih hendak lanjut ke universitas mana di Kyoto atau sekitarnya.
“Ngomong-ngomong, gimana hasil interviewnya kemarin? Keterima?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Keterima!” sahutnya riang, lagi-lagi memutari aku dan sepedaku. Aku menjaga laju sepedaku.
“Ngajarnya setiap kapan? Berapa anak?”
“Sementara tiga dulu. Ada satu lagi rencananya, tapi ibunya masih ragu soalnya anaknya baru 2 tahun.”
“Segitu kepengen anaknya bisa bahasa Inggris, dari umur 3 tahun sudah dicekoki.”
“Yakin bisa nanganin anak-anak?” tanyaku sangsi. Gayanya yang tomboy tak menunjukkan sikap keibuan sedikitpun.
“Anak-anaknya sih tinggal diketekin. Emak-emaknya itu lho. Pasti bakalan ngawasin kayak apa tau deh.”
“Haha. Bener juga. Kuncinya PD dan senyum aja.”
“Senyum dan PD selama dua sampai tiga jam dua kali seminggu demi 2000 yen sekali pertemuan, buatku sih, ngga masalah. Fia kan pawang bocah.” aku membelokkan sepeda mengajaknya istirahat sejenak di pinggir sungai Kamogawa.

“Fahmi ngga suka, Ni. Comment kayak gitu kan dibaca semua. Kalau keluarga di Padang baca gimana? Kalau Mama sampai baca, gimana? Anaknya pergi jauh buat sekolah tapi ngga becus.” jawabku berusaha membela keputusanku untuk menjauhi Fia. Fia yang sudah kelewatan.
“Maksudnya mungkin baik. Supaya Fahmi lebih serius belajarnya.”
“Maksud baik harus dipikir juga kali. Efeknya apa aja. Kalau ngga, malah sia-sia. Baik itu relatif. Lagian siapa sih dia? Ada di sini juga karena nunut bapaknya. Bukan karena keringatnya sendiri.” setelah itu aku menutup mulut rapat-rapat. Uni juga.

“Tadi dia ke sini. Dikiranya kamu kerja. Duduk di kursi yang kamu dudukin itu.” cerita Mas Vino sambil membuat pesanan nasi goreng untuk tamu. Aku memilih diam.
“Dia minta saran gue.”
“Mas Vino bilang apa?”
“Ngga ngasih nasihat khusus sih. Cuma bilang suasana kayak gini buat Fahmi juga ngga enak. Terutama sama orang tua Fia dan Uni juga Fariz yang posisinya di tengah-tengah.”
Aku membenarkan dalam hati.
“Memangnya masih jauh ya?” tanya Mas Vino tiba-tiba.
“Apanya?” tanyaku balik.
“Maafmu.?”
Kembali kuteguk birku. Menunda jawab.

Pesta di restoran “Apa Kabar” ramai sekali. Mas Vino mengerahkan seluruh ‘adik-adik’nya untuk membantu tenaga pelayan dan pencuci piring. Pesta tujuhbelasan diisi penyanyi dangdut yang didatangkan langsung dari Indonesia. Tanganku mulai panas mencuci berlusin-lusin piring kotor yang seperti dikloning. Tak habis-habis.
“Geser dikit.”
Aku menoleh. Fia, sedang menyingsingkan lengan kebaya encimnya. Ia meraih sabut cuci piring yang tersedia dan mulai mencuci.
“Fahmi yang bilas.”
“Siap.” ucapku berusaha terdengar kalem.

Maafku, rupanya sudah lama duduk diam menunggunya.

Aku membaca kembali posting-posting puisi di blognya. Sebagian aku kenali sebagai permintaan maaf. Sebagian sebagai ungkapan hatinya yang paling lantang. Sebagian potret kebersamaan kita dengan tokoh-tokoh yang berganti nama. Tentang sulap kartu remi, matahari terbenam di bangku taman yang berjajar di tepian Kamogawa diiringi suara latihan klub jazz universitas.

Glossary:

Baito = kerja part time
Ja Mata = sampai nanti
Ojosan = Nona Muda
ka? = kah?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s