“Lo ngapain ngajakin gue ke tempat beginian sih? Musyrik tau!” protesku sambil mengekori Cindy. Sebentar-sebentar mencincing rok batikku agar tak menyapu genangan-genangan. Serombongan anak berpakaian lusuh melintas, tawa dan kata-kata kasar mengalir lancar dari mulut mereka.
“Udah, ikut aja.”
Kami tiba di sebuah rumah kecil tak terawat. Dua anak laki-laki berebut PSP di teras.
“Assalamu’alaikum!” Cindy mengucap salam.
“Masuk!”
“Duduk deh. Bentar gue panggilin si Miru.” suruh pria pemilik rumah sambil membetulkan lipatan sarungnya. Tak lama muncul seorang balita dengan pipi belepotan coklat, menyeringai.
“Ini lho, Din. Anak yang bisa ‘ngeliat’ itu. Tanyain, kapan lo kawin.”
Pengen ketawa rasanya. Kalau bisa ‘ngeliat’ kenapa hidup mereka jauh dari layak?
“Lo aja. Gue pass.”
mantep… jlep. tapi kata ‘pas’ nya itu, maksudnya ‘pass’ kan, ya… bukan pas = cukup.
Udah gue ralat. Hihih.. Btw, tadi aku coba ninggalin komen di Penantang Ombak tapi kayaknya masih sulit kl dari kompie kantor. Di sini aja ya?
Gue suka ceritanya. Polos tapi sisi gelapnya dapet. Terutama di awal-awal. Bangun tidur langsung nantangin ombak. (y)
Lho uda, gini aja ceritanya?
Hmm.. Kurang uni. Jujur aku blm puas. Masih datar.
:))
Ya, maap. :D