“Ayah..?”
Kuhentikan ketikanku.
“Kok tidak tidur, nak?” begitu ia mendekat, kuangkat lalu kududukkan di pangkuan.
Sitti hanya menggeleng. Nyawanya belum terkumpul semua.
“Ayah lanjut kerja dulu ya, sayang.”
Sitti mengangguk. Di sandarkan kepalanya di dadaku.
Tangan Sitti terangkat, menunjuk cangkir kopiku di samping laptop.
“Kenapa, Sayang? Itu kopi Ayah.”
“Mau..” pintanya manja.
“Nanti Sitti sulit tidur lho.”
“Mau..” ia bersikeras.
“Pahit lho ini..”
Kuangkat cangkir ke bibir mungilnya, iapun menyesap kopiku yang telah dingin.
“Puah..” dilepehnya kembali “Pahiitt!!”
Cepat kuraih serbet kertas di meja dan mengelap mulutnya.
“Ayah bilang juga apa.”
Serbet itu kini masih kusimpan, 20 tahun kemudian. Di dalam dompet dengan tulisan, “Kopi pertama (dan terakhir?) Sitti. Jogjakarta, 21 Desember 1990, pukul 00.25.”