Haru. Adalah yang terlintas saat tiba di kata terakhir buku ini yakni; Paris. Kita tidak diberitahu apakah benar Sri dan Michel akan bergandengan tangan menyusuri tepian Seine. Menapaki jalan-jalan batu mengilap melewati etalase-etalase toko menuju ke studio apartemen kecil yang disewa Michel untuk berkasihan dalam temaram langit Paris yang abu-abu.
Banyak bahasa dan pilihan kata yang tak lazim dibaca oleh pembaca hari ini, tetapi saya justru menikmati rasa janggal yang ditimbulkannya.
Buku ini adalah koleksi milik ayah saya. Saya ingat pernah membacanya ketika SMP. Tapi sekadar lalu. Mungkin banyak hal yang belum nyandak di otak polos saya ketika itu. Tapi kini, setelah belasan kali patah hati, beberapa kali benar-benar menitipkan cinta, merasakan kehidupan berumah tangga, mempertanyakan jodoh dan pilihan-pilihan hidup; buku ini jadi sangat relevan untuk perempuan Indonesia kebanyakan dan kalau boleh dibilang, sangat “kekinian”.
Berkisah tentang Sri, seorang perempuan penari yang kehilangan cintanya di udara untuk kemudian menemukan cintanya di laut.
Tak perlu diceritakan ditelnya karena buku yang terbit 1976 ini kemungkinan besar sudah pernah sampai di tangan dan Anda baca. Tentunya tiap orang punya reaksi dan rasa yang berbeda-beda. Saya yang 15 tahun dan saya yang 37 tahun saja memaknainya dengan amat berbeda.
Satu yang pasti, buku ini adalah kekayaan sastra Indonesia yang akan terus hidup membekali kalbu dan pikir pembacanya. Termasuk barangkali aku yang berusia 78 tahun kelak dan memilih kembali membaca karya ini untuk kesekian kalinya.
Rei yang 29 tahun sepertinya perlu membaca ulang buku ini karena lupa apa yang dibaca Rei 15 tahun