“Ceritain lagi dong mimpimu itu.” gelayutnya manja saat menunggu pesanan Tempe Penyet kami datang.
“Mimpi yang mana?” tanyaku sambil melepaskan tangannya. Malu dilihat bapak-bapak berjenggot panjang yang menyuapi gadis kecilnya.
“Yang tentang masa depan.” ia menurunkan suara.
“Oh. Yang itu. Ceritanya aku habis bercinta dengan seorang wanita tapi bukan kamu.”
“Istrimu kan? Cantik?”
“Cantik sih ngga. Sabar kelihatannya.”
Ia merengut, mengerti disindir. “Trus?”
“Terus, aku tidur. Terus ngimpiin kamu.”
“Tidur dalam tidur ya?” tanyanya, mimiknya berubah serius.
“Iya.”
“Trus?”
“Iya, trus aku ngimpiin kamu lagi nari. Cantik sekali. Disiram cahaya warna-warni.”
“Hmmm..” matanya menatap mataku, lama. Seolah ingin menenangkan, menghapus ide-ide yang ditimbulkan mimpi itu. Meski aku tahu, ia sangat menyukai mimpiku itu.
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
“Pak, nanti di perempatan depan turun satu ya?”
Lamunanku buyar.
“I-i-iya, Bu.” jawabku kaget.
“Loh, Dien? Kenapa ngga sampai rumah sekalian?”
“Ah, kasihan muternya jauh, gerbang yang dibuka hanya satu.”
“Ngga apa-apa, kok Sayang. Sekali-kali.”
“Jangan Bu Laksmi, sayanya ngga enak. Sudah ditraktir ini-itu, diantar pula meski rutenya berlawanan arah dengan rumah Ibu. Tenang saja Bu, aman kok. Satpam-satpam kompleks malah biasa nganter saya naik motor sampai ke depan rumah. Satpam merangkap ojek. Hihihi..”
“Kalau begitu, kamu bawa ini ya.” Ibu Laksmi mengangkat kantong plastik besar bertuliskan Seven Grain yang isinya sebuah kotak kue besar. Kue yang aromanya menyatu dengan parfum kental kedua wanita cantik ini sepanjang jalan. Untung saya terbiasa tidak menggunakan pengharum mobil untuk taksiku ini. Bisa mabok parfum.
“Tuh kan Ibu Laksmi sukanya gitu deh. Mau bikin saya makin gendut ya?”
“Hehehe, iya. Supaya saya ada temennya.” jawabnya kenes.
Rasa ingin tahu membuatku melirik melalui kaca spion. Keduanya jauh dari gemuk. Yang barusan mengeluh, malah berleher jenjang. Rambutnya yang dicepol longgar seakan-akan ingin mengajak mata setiap pria bersandar di sana lalu mengecupnya pelan-pelan. Ibu Laksmi membiarkan kacamata bacanya menggantung di depan sepasang dada yang membusung. Blus kerjanya berpotongan rendah, aksen pita yang sedianya diikat sepertinya sudah lama terbuka berikut dua kancing paling atas.
Sepasang mata menangkap mataku.
“Pak! Kiri!” keduanya menaikkan suara. Rupanya aku tak mendengar suruhan mereka yang pertama.
“Ma-maaf.” Mobil kurem mendadak. Suara benturan dan barang-barang berjatuhan di kursi belakang membuatku makin salah tingkah. “Maaf!”
“Tsk!”
“Bapak ini melamun saja dari tadi. Ngga mengantuk kan, Pak? Kalau ngantuk biar saya naik taxi lain.” Ibu Laksmi bertanya sekaligus menuduh dan mengancam.
“Ngga kok, Bu. Saya tidak mengantuk.” sahutku berusaha tidak terdengar kesal.
“Wah, makasih banyak lho, Bu Laksmi. Udah nganterin, pakai dibekelin kue segala. Hati-hati ya, Pak.” Dien mengangkat barang-barangnya dan kantong kue tadi sementara satu kakinya sudah menapak aspal di luar. Cipika-cipiki pun menggema di dalam taksiku.
“Aku yang terima kasih, kalau Dien ngga hadir mana mungkin Si Botak itu mau tandatangan kontrak.” Ibu Laksmi terkekeh-kekeh.
“Hihihi. Ah, siapa sih saya Bu. Cuma karena Julia Perez lagi sibuk, makanya Ibu nyari saya. Ya kan?” candanya cerdas berbeda dengan dulu.
“Hahahaha. Terseraaaaahh… Ditungguin tuh sama ojek satpamnya.”
“Iya, argonya juga muter terus tuh.. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Selamat malam…”
Dien turun dan satpam-satpam yang asik main gaplek serta-merta berdiri menyambutnya dengan senyum lebar.
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
Mobilku kumajukan satu ruas lagi. Tiga mobil lagi giliranku. Tidak salah ternyata mangkal di Plaza Semanggi di malam Sabtu. Begitu banyak pegawai kantoran ingin menghambur-hamburkan uang di tempat ini. Lima tahun yang lewat, aku juga sering hang-out di Yogyakarta. Lima tahun yang lewat, teman-temanku anak gaul semua. Anak-anak tajir Jakarta yang pamit belajar di Kota Pelajar padahal setiap malam kerjaannya cuma nongkrong minum lapen sambil menggeber speaker-speaker mobil bapak mereka dengan musik aroma trance di pinggir Jl. Ring Road. Kalau mereka sudah berjatuhan, akulah yang menjadi supir mengantar mereka pulang satu-satu. Tanpa sadar aku terkekeh, rupanya nasibku tak banyak berubah. Dulu supir sekarang tetap supir. Bedanya dulu, aku bisa bertahan hidup dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah ‘sahabat-sahabat’ tajirku itu, meski nyupirnya ngga pernah dibayar.
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
Tetes-tetes kecil bertambah eksis. Hujan. Giliranku datang. Tanpa perlu kumajukan mobilku, dua pasang kaki ramping berhak tinggi mendekati taksiku. Wajah mereka tertutup payung merah yang menyala di bawah lampu restoran American Grill yang juga merah.
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
“Selamat Ma-“ Dien?
“Malam!” serunya riang.
“Fiuh! Untung dapet taksinya. Coba kita keluar jam 10 lewat dikiiit aja, udah ngantri. Berebut sama yuppies-yuppies yang mau pulang.” penumpang pertama menutup payungnya.
“Hahaha, ‘yuppies’. How degrading.” Timpalnya dengan bahasa Inggris yang rapih. Tak salah lagi, dia Dien.
“Ke Pamulang tapi mampir Senopati dulu ya?” perintah wanita yang membawa payung.
“Duh, Ibu Laksmi yakin mau mengantar saya dulu? Ibu kan bisa langsung masuk Tol dari sini. Atau saya bisa turun di halte terdekat, menyambung taksi lain.”
“Hush. Sudah, jangan ribut. Anak gadis, harus dianter.”
“Hahaha, Ibu tahu dari mana saya masih gadis?”
“Ya tahulah, belum nikah toh?”
“Hihihi, saya diem aja deh. Paling males kalau sudah membicarakan kata berawalan ‘N’ itu.”
“Iya deh, lain kali kalau kita karaokean lagi, Ibu pilihkan lagu NeYo yang Ms. Independent ya?”
“Hah? Kok Ibu tahu lagu itu?” ia pun cekikikan.
“Yee, kan Ibu punya ABG di rumah.” jawabnya sambil memutar mata, jenaka.
“Boleh, deh Bu. But next time, no Mr. Baldy ya!”
“Siap, Non.”
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
Tipikal Dien, pikirku sambil melajukan mobil, selalu mendapatkan apa yang dia mau. Dulu pun begitu, uang yang kudapat mengerjakan tugas-tugas kuliah mahasiswa-mahasiswa Jakarta sebagian besar kugunakan untuk kenyamanannya. Entah aura apa yang dia punya hingga semua orang seakan manut saja setiap ia bertitah.
Suara tawa dan celoteh kaum Hawa memenuhi taksiku. Perlahan aroma bir, tercium di antara wangi parfum mahal keduanya. Dien? Minum? Ah, pasti bukan Dien yang minum. Pasti si Ibu Laksmi itu.
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
“Jangan nangis, please?” bisiknya di telingaku senja itu.
“Kenapa?”
“Karena aku ngga bisa nangis, dan teorinya yang nangis adalah yang lebih cinta. So please, jangan nangis.”
“Maaf, Dien. Sekali ini aja.” aku jongkok di depan tempatnya duduk. Dahi kami saling menempel. Kedua tangannya mengelus-elus kepala dan tengkukku sambil mengeluarkan bunyi yang biasa dilakukan seorang ibu yang menenangkan anaknya yang sedang rewel, ‘shhh..shhh…’. Bahuku bergetar menahan airmata agar tak tumpah. Sia-sia.
Malam itu, pesawatku tetap berangkat ke Surabaya denganku di dalamnya. Tanpanya.
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
“Selamat Malam, Om. Saya Darwin, teman Dien.” bungkukku santun mengulurkan tangan. Diacuhkan.
“Malam.” ucapnya singkat.
“Boleh bertemu Dien, Om?”
“Dien di Canada. Sudah menikah.”
Entah berapa lama aku bengong di ambang pintu. Deham ayah Dien, menyadarkanku yang lalu buru-buru pamit tanpa sempat menyampaikan kabar berpulangnya Ibuku. Dua hari yang lalu.
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
“Lanjut ke Pamulang ya, Pak.” Perintah Ibu Laksmi sambil terus melihat ke belakang, ke tempat Dien ikut berteduh bersama satpam-satpam. Ia lalu menghela nafas panjang.
“Kasihan, gadis semanis dan sepintar dia belum juga menikah.”
“Oh ya?” ucapku berpura-pura tidak memperhatikan pembicaraan mereka sedari tadi.
“Iya. Sudah sukses sebagai partner di Law Firm ternama, tapi tetap memilih hidup sendiri. Bahkan Ayahnya yang duda sudah tak pernah dikunjunginya.”
Dalam hati aku berharap ibu ini berhenti bercerita dan tidur saja atau apalah. Apapun itu, aku tak ingin dengar. Kunaikkan volume radio C/B, suara candaan operator malam dan supir-supir kesepian pun bergantian mengisi ruang taksi.
“Pak..err..?” ia menjulurkan kepala agar dapat membaca kartu nama saya di dashboard, “….Darwin sudah berkeluarga?” tanyanya hati-hati.
“Sudah, Bu.”
“Putranya sudah berapa?”
“Eh, dua.”
“Wah, serunya. Anak saya hanya satu. Itupun sudah ABG.”
“Hehe..” tawaku kering meladeni basa-basinya, sementara pikiranku masih di Dien. Selalu di Dien.
◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►◄►
yang ini kirim ke majalah!
cukup panjang untuk dimuat di majalah, dan keren :)
*apadeh nyuruh-nyuruh aja*
Siap, Sistah!