Hangat toko swalayan ini selalu membuat Perucha betah berlama-lama di dalamnya. Ia berpura-pura meneliti kandungan nutrisi pada produk-produk kalengan, membalik-balik majalah-majalah atau komik-komik di rak dekat pintu masuk sambil terus mengawasi bis yang datang dari sudut kanan jalan.
Di luar, salju turun dengan lebat. Jarak pandang jauh berkurang. Orang-orang setengah berlari berusaha tiba di tempat tujuan. Aroma oden dari dekat kasir sungguh menggoda selera. Perucha menelan ludah, berusaha mengingat-ingat apakah isi kulkas di apartemen masih bisa diharapkan dan apakah isi kantong belanjanya kali ini tidak berlebihan. Salah memang, berbelanja saat perut lapar dan menderita. Suaranya jauh lebih didengar oleh otak dibandingkan suara dompet dan realita akhir bulan.
“Kamu sudah mantap?” tanya Bapak menatap mata Perucha lekat-lekat. Berusaha menerawang sedalam apa ia memegang tekad.
“Sudah, Pak.” jawabnya hampir terdengar seperti membentak. “err, Perucha sudah mantap Pak.” dijawabnya sekali lagi dengan suara yang lebih pelan. Lebih terkendali. Lebih dewasa. Setidaknya itu yang ia harapkan.
Diliriknya jam, 8.26. 2 menit lagi, mestinya. Namun papan penunjuk kedatangan mengatakan bis nomor 5 masih harus melewati dua halte lagi. Hingga bulan kelima Perucha tinggal di Jepang, ia tak mengerti maksud tabel angka di setiap halte yang disinggahi. Pada bagian atas terdapat angka-angka melintang berurutan 5 sampai 22, di sebelah kiri menurun terdapat nomor-nomor yang tampaknya merupakan nomor bis yang melalui halte tersebut. Tapi yang ia tak mengerti adalah angka-angka yang berderet ke samping kanan dan ke bawah di antaranya. Sampai akhirnya Tony berbaik hati menjelaskan.
“That’s the bus schedule, Cha.” jelas Tony sambil tergelak.
“I’ve been here for, what, six weeks? And already I’ve deciphered this puzzle of numbers. The numbers in between are the minutes silly! Mattaku…” lanjutnya sambil menggeleng macak kecewa. Perucha hanya bisa melongo. Pertama karena ia tidak menyangka kedisiplinan orang Jepang soal waktu bisa sampai sebegitu. Kedua, kenapa ia tidak berpikir sampai ke situ. Di Jakarta, bus TransJakarta yang dibanggakan gubernur jauh dari disiplin. Seringnya bikin sakit hati, Perucha pun mulai mengadu. “I’m telling you the truth!” jelasnya gusar pada Tony yang malah semakin terbahak. “You could be standing amidst a crowd of homebound workers, swapping armpit sweat for an hour when an empty TransJakarta bus just passes by like it’s nobody’s business!” Melihat tawa Tony yang justru makin menjadi Perucha pun menyerah dan ikut tertawa geli. “Aren’t you happy to be here?” tanya Tony setelah tawa mereka mereda. Perucha mengangguk mantap. Lalu meraih gelas bir untuk ditandaskannya dalam sekali tenggak.
“Kamu berubah, Cha.” hanya itu yang bisa diucapkan Mas Pandu di hari pertamanya menjenguk Perucha 2 minggu lalu. Meski ia sengaja terlihat sholat dan tak pernah membeli minuman beralkohol, rupanya firasat kakak kandungnya terlalu kuat. Dan hari itu hanya bungkam pula yang bisa Perucha jawabkan. Semoga kala itu firasat Mas Pandu mengatakan diamnya Perucha bukan diamnya seorang adik pembangkang.
“Ada hal-hal yang seharusnya belum kamu alami di usiamu ini.” ucapnya lembut sambil mengacak-acak rambut pendek Perucha, keesokan paginya.
“Iya.” jawabnya memalingkan muka. Sambil memikirkan maksud kata-kata Kakaknya.
Lokakarya Nanotechnology yang dihadiri Mas Pandu hanya berlangsung seminggu. Tapi kualitas kunjungannya seolah membayar 2 tahun mereka tak bersua. Perucha memasakkan semua masakan yang bisa dimasaknya tetapi Ibu tidak. Masakan-masakan Wong Londo, juluk Ibu. Kulkas Perucha yang biasanya
nyaris kosong, mendadak penuh bahan makanan. Begitu pula dengan wadah-wadah plastik yang dulu ia borong di toko seratus yen dengan niat mulia menyimpan stok makanan, akhirnya kembali menikmati kodrat mereka menjaga perbekalan dari Ibu tercinta.
“Nah, kalau begini Mas tak perlu berbohong pada Bapak dan Ibu soal keadaanmu. Mas cukup bilang, ‘Pak, Bu, situasi aman terkendali.’ gituuuu..” sambil mencomot marble cake yang masih hangat, “Nikmaaat!” ujarnya sambil mengunyah dengan mulut terbuka. “Bayar!” todongku. “Ogaaaahh.. Eh, ngomong-ngomong mana room-matemu yang kabarnya cantik itu? Kok Mas ngga pernah liat? Room-mate mu bener cewek toh?” tuduhnya tiba-tiba. “Cewek kok. Perempuan tulen! Katanya takut ditaksir sama Mas Pandu.” jawab Perucha setengah panik. “Huh, mesti dianya yang naksir karo Masmu sing ngganteng iki.” sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jari.
Selama ini yang keluarganya di Jakarta tahu ialah bahwa ‘Tony’ teman sekamar Perucha seorang perempuan. Syukur Tony jauh lebih bersih dan rapih daripada perempuan kebanyakan. Sehingga melihat dari keadaan apartemennya yang bersih dan wangi, Mas Pandu percaya-percaya saja. Tony menyebut dirinya ‘metroseksual’. Perucha menyebut Tony ‘gay’. Tony tak pernah menyangkal maupun mengiyakan. Ketika itu Tony dan Perucha masih belum berani saling terbuka. Perucha pada keluarganya, yang pasti kaget mendengar berita Perucha hidup seatap dengan seorang pria, meski tak berselera pada wanita. Dan Tony, pada Perucha tentang eksperimen-eksperimen seks yang selama ini dilakoninya ditambah perasaannya yang mulai berubah padanya. Yang terakhir juga yang membuat Tony berpikir untuk segera pindah dari apartemen Perucha.
Satu halte lagi. Bundaran berwarna kuning neon yang dinanti-nanti Perucha sudah menyala. Salju membuat bisnya datang lewat 3 menit dari yang seharusnya. Di tikungan bis belok perlahan, lebat salju malam ini memang cukup mengkhawatirkan. Perucha meletakkan majalah yang acuh tak acuh dibacanya sedari tadi. Angin dingin langsung menampar pipi Perucha begitu ia di luar. Dirapatkannya jaketnya hingga kerah jaketnya menyatu dengan ujung tutup topi kupluknya yang ditarik menutupi telinga dan pipi.
Tony turun setelah sepasang suami istri muda yang berusaha melindungi bayi mereka dari hawa dingin. Tony langsung mengenalinya meski penampilan Perucha seperti boneka salju. “What are you doing out here?” tanyanya dengan mimik cemasnya yang lucu. “Well, I thought I might do some night grocery shopping since the fridge is as empty as my stomach and figured you might be back soon and it looked like snow, so…” jawab Perucha dalam satu tarikan nafas, mengacungkan sepasang payung juga sekantung penuh belanjaan sambil tersenyum.
“What, no beer?” keluh Tony manja.
“No way, Jose.” sahut Perucha mencibir.
Mereka pun menyeberang jalan menuju apartemen perucha.
“So what’s for dinner?” tanya Tony santai.
“Who said I was cooking?” Perucha pura-pura galak.
“Hiks, kamu berubah…” Tony pura-pura terisak sambil menirukan kata-kata Mas Pandu. Salah-dua ungkapan bahasa Indonesia yang telah diajarkan Perucha.
Perucha tertawa lepas. Seolah melepaskan seluruh kekhawatiran bahwa Tony akan meninggalkannya lantaran Perucha memilih untuk lebih menaati hal-hal yang diyakininya. Rupanya semua hanya butuh dikomunikasikan dan direndam waktu agar jernih.
“No worries, babe. After all, we’re just roomies for now. I respected you for trying to make me feel comfortable before, but I respect you even more now for being true to your roots and telling me what really matters to you.”
“Me too, babe. And the same goes out to you.”
Tanpa disadari keduanya berpelukan cukup lama.
“Good, now cook me some food, Woman!” ucap Perucha menirukan gaya lelaki jaman batu pada wanitanya. Membunuh rasa canggung yang dilahirkan pelukan spontan tadi.
“Yes, ma’am,” sahut Tony patuh.
“Oh, and one more thing. What did you mean by, ‘for now’?”
“What? I never said that…” kilah Tony sambil bergegas ke kamar mandi.
“Hellooooo…! The kitchen is THAT way!” goda Perucha.
Keren!! Sejak judul hingga akhir. Bahkan meski tak seperti membayangkan ending yang berbeda. Soal nama, mengingatkan pada Zoraya Perucha *hiks, jadulnya diriku*