100 Yen Love
A Review.

Film ini berkisah tentang Ichiko (Sakura Ando) yang bekerja membantu di toko bento milik keluarganya.

Semua baik-baik saja, sampai kakak perempuannya yang bercerai kembali ke rumah.

Ichiko yang selebihnya pemalas, hobi main video game dan jajan di toko 100 yen, membuat sang kakak gemas.

Sebuah pertengkaran hebat dengan kakaknya menjadi alasan Ichiko memutuskan untuk pergi dari rumah dan mendapat kerja di toko 100 yen langganannya. Dipilihnya jam ‘ronda’ karena digaji 1.200yen per jam dari jam 12 malam sampai jam 6 pagi.

Rute apartemen ke toko 100 yen tempat Ichiko bekerja melewati sasana tinju. Di sana, ada seorang petinju ( diperankan Arai Hirofumi ) yang menarik perhatiannya . Karena pria tersebut dan beberapa ‘musibah’ lainnya, Ichiko memutuskan untuk berlatih tinju.

Setiap kesempatan dipakai Ichiko untuk berlatih, dari gerakan yang gontai sampai super gesit. Sampai-sampai, menghajar supervisor nyinyir di toko 100 yen tempatnya bekerja yang selalu marah apabila Ichiko membiarkan seorang ibu-ibu tunawisma ‘langganan’ mengambil sisa makanan kadaluwarsa yang sedianya dibuang.

Ichiko ingin sekali bertanding tinju di atas ring. Meski usianya sudah sampai di batas maksimum wanita untuk bertinju secara profesional. Ichiko yang sudah 32 tahun itu ingin menang meski hanya sekali.

Kisah yang sederhana, miris tapi menggugah hati. Tidak ada adegan yang mubazir. Semua mengalir tanpa kejanggalan. Tokoh utama digambarkan berubah dengan natural sekali. Dan tahu-tahu kita sudah menjelma jadi suporternya di pinggir ring.

Tidak perlu artis yang cantik.

Pun, Arai Hirofumi pun bukan tipikal pria hero ganteng di film-film atau dorama-dorama. Biasanya dia cuma jadi pelengkap bagi tokoh utama hotties macam Kimutaku atau Matsuda Ryuhei, tapi di sini kehadirannya yang cuek cukup bikin deg-degan sih.

Kisah cinta antara Ichiko dan pensiunan petinju itu pun bukan yang romantis menye-menye. Si ex-petinju itu malah bilang terus terang tidak suka melihat Ichiko terlalu berusaha. Baik upayanya membuat ex-petinju itu care sama dia, maupun dalam hal keinginannya untuk bertinju.

Satu hal lagi yang saya suka dari film Jepang adalah ditel setting yang sangat mirip realita. Bukan kamar-kamar yang lebih pas disebut “model room” atau kamar “IKEA” yang biasa ditampilkan oleh PH-PH Indonesia. Bahwa di samping barang-barang kece, ada juga barang-barang yang dibuang sayang.

Moral of the movie: it’s never too late to change for the better.

View on Path

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s