Aku terjaga oleh mimpi tentangmu. Sosok yang kukenal tiap lekuk dan liuknya itu. Mata yang cerlang pada kulit yang jauh dari terang. Lalu barisan gigi putih yang gemar mempertontonkan diri itu. Untukku. Untuk semua orang.
Aku terjaga oleh mimpi tentangmu. Berwarna kusam seperti film bioskop yang terlalu sering diputar ulang. Dan seperti film Perancis tahun 50an kamu membisu. Selalu begitu. Meski tanganmu kauulurkan kepadaku.
Aku terjaga dan mendapati diriku di pertigaan jalan tempat kami pertama bertemu. Pria di dalam lampu berdiri tegak dan berkedip merah. Engkau mengenakan blus panjang tanpa lengan berwarna putih. Lagi-lagi tanganmu terulur, menarikku dari seberang.
Pikiran dan hatiku menolak tapi kakiku melangkah. Benar saja, aspal di bawahku pecah dan aku tercebur. Aku berusaha berenang. Namun kesulitan sebab airnya penuh dengan ikan-ikan kenangan. Kenanganku. Juga kenangan semua orang yang pernah kehilangan.
Seorang penyanyi opera berpelukan dengan lawan mainnya sedikit terlalu lama. Wanita yang mengelus buncit perutnya dengan penuh sayang, tak lama kemudian tampak begitu kehilangan setelah keluar dari ruang operasi.
Aku mencoba berenang lebih dalam dengan harapan bisa kutemukan kenanganmu tentangku.
Di sebuah ceruk, kutemukan jarimu yang dengan sangat hati-hati menyentuh bekas jahitan di pelipisku lalu bibirmu untuk ke sekian kalinya menanyakan cerita luka itu bisa ada di situ.
Tiba-tiba kudengar dengkur halusmu. Mengingatkanku pada wajah damaimu saat tidur. Apakah di bawah sana kamu mendengkur juga? Lelapkah penantianmu?
Aku terus bertahan hidup. Di atasku orang-orang berlalu-lalang dan tak ikut tercebur dalam air ini. Air yang asin sedikit manis seperti.. seperti airmata.
Seperti sekian banyak kata yang luput kusampaikan ke telingamu. Seperti sekian banyak rencana yang belum sempat terlaksana.
Seperti engkau dan aku yang tetap saling menjaga dengan sedikit nyawa yang tersisa.
inspired by Maxwell’s ‘Woman’s Work’