Morrissey’s Suedehead

Lalu bagaimana nasib lagu-lagu yang tak lagi berlabel ‘kita’?
Akankah terkubur bersama puluhan lagu yang gagal menegakkan cinta?
Apakah makam lagu-lagu itu berada di frekuensi yang berbeda dari saat kita masih ‘kita’?
Sehingga kalaupun terdengar, tak lagi desirkan rasa?
Apakah lagu-lagu itu gugur seperti daun-daun menguning, mengering?
Memberi tempat bagi lagu-lagu baru kelak tiba musim semi?
Lagu-lagu baru yang tak luput dari melodi-melodi basi
Yang busuknya justru menambah gizi.
Aku tak tahu kalau kamu. Lagu-lagu ‘kita’ bagiku tak pernah gugur.
Barangkali tertidur.
Sampai sakit mimpi buruk perpisahan siuman.

Surat Berkedok Puisi

“Kau tahu? Hari ini aku hampir mati.” ucapnya dengan wajah berseri.

Jangankan kamu, aku yang menatap wajahnya setiap pagi, tak kunjung mengerti. Mengapa “andai aku mati besok” menjadi topik pembicaraan favoritnya akhir-akhir ini.

Apakah ia telah lelah? Atau hanya sebuah trend yang sedang ‘happening’ dalam benaknya yang warna-warni.

Langit mengingatkanmu pada alam pikirannya yang selalu berubah, katamu. Lautan, katamu, adalah dadanya.

Bagiku ia lentera. Lentera yang bermimpi menjadi mercusuar.

Bagiku ia kaleidoskop. Kadang bikin pusing tapi seringnya menyenangkan. Padahal ia hanya serpih-serpih warna yang dipantulkan kaca. Sederhana.

Sesederhana caranya merebut sebongkah hati dengan memeluk seulas senyuman.

Bagiku ia pelukan juga telapak tangan sumber ribuan bahkan jutaan usapan untuk siapapun yang ia sayang. Salah satunya usapan di punggung pacarnya yang baru kena tilang.

“Kau tahu? Hari ini aku hampir mati.” Ucapnya sekali lagi, “Lucunya, saat elevator mendadak gelap dan gravitasi menyedotku beberapa tingkat, di dalam benak, justru bayangan Aan Mansyur yang berkelebat.”

Setelah mengucapkan kalimat itu ia diam, mimiknya berubah serius dan menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa balas menatapnya, pun dalam diam.

Tertanda,
Pantulannya

Agar Disayang

Sabar
Sabar.
Sabar..
Sabar…
Sabar….
Sabar…..
Sabar……
Sabar…….
Sabar……..
Sabar………
Sabar……….
Sabar………..
Keep writing it over and over until it resembles a foreign word.
Until you don’t know why you began writing it down in the first place.

Singapore, January 2nd 2012

Playing Neruda

a humble attempt to mimic the master

♠ Flimsy dresses, soft carresses. You shift your weight and enter my gate. Wet with love from the skies above

♠ Honey dew, my sweet-scented muse. Rivers shiver, as everything else quivers

♠ Voyeurism at it’s naughtiest, is kissing the one you love, with eyes wide open

♠ The softest touch, is just too much

♠ The bloodshot eyes of those who cry, weary, teary, ever dreary

♠ As the moon dives into the sea. Phantoms search within the fathoms. For lust void of earthly dust

♠ I love you more than the sea. I love you more than you can see

♠ Alone. All one. Nothing but all. Everything but one

♠ Crossroads and crossword puzzles. On a gray Sunday afternoon, as the sky sighs and drizzles

Ayunan Yang Menunggu Giliran

Benakmu taman bermain, Disa.
Sahabatmu bunga-bunga.
Pohon-pohon gulali ceritanya pohon Sakura.
Bebatuan terbuat dari beragam kadar coklat dan kerikil adalah permen karet yang tak berbahaya jika ditelan.

Benakmu taman bermain, Disa.
Setiap pagi matahari dan hujan adu suit.
Namun aroma kopi kapal api yang dibawa angin mendamaikan keduanya.
Angin yang sesekali mencolek pipimu sampai menumpahkan semuanya.

Ya matahari, ya hujan, ya kopi.

Benakmu taman bermain, Disa.
Hamparan rumput imajinasi yang luas.
Penuh bunga-bunga.
Siapapun boleh singgah dan tumbuh di sana.

Benakmu taman bermain, Disa.
Yang pada cakrawalanya terdapat sebuah bukit.
Sebuah pohon Banyan tumbuh di sana.
Tubuhnya condong menaungi sebuah ayunan.

Ayunan yang diam-diam memperhatikan gadis yang selalu asik bermain dalam benaknya sendiri.
Yang dengan gitar dan katakemata menari-nari.
Ayunan yang tak sabar menanti gilirannya tiba, nanti suatu hari.



Happy Birthday Disa!
May Allah Bless You, always and always. *kiss*

What I Might Not Know

I might not have a sexy sultry voice, but I know the words to almost every song you know and would sing them to you for free.

Or if you ever decide to love me for me.

I might not be able to make mind-blowing poems, but I’m sure my love for you will blow your mind.

Because the greatest of poems are waiting in my heart for you to find.

I might not have slender legs and wear 4 inch heels, but I know how to bust a move in front of my mirror in my locked up room.

I might not know that despite it all you love me nonetheless.

But I’ve come to realize my PMS is such a mess.

Jakarta, 5 November 2011

Yang Menyenangkan

23 / 2 / 2011

Pagi ini, liliput itu, yang pernah kuceritakan padamu dulu, melompat-lompat di atas perutku

“Sudah berminggu-minggu kita tidak terbang menyelami air yang biru!”
Ia protes sembari mendongak, sementara tangannya di pinggang berkacak
topi kerucutnya jatuh ke belakang dan aku pun terbahak

“Sebagai gantinya bagaimana kalau kuceritakan hal-hal menyenangkan?
Hal semacam lagu-lagu Bob Marley yang di-bossanova-kan?
Atau hewan-hewan mitos yang cantik mengerikan
seperti naga, unicorn, pegasus, kunang-kunang dan kupu-kupu?”
“Stop! Stop!” sela sang liliput, “tidakkah engkau keliru?
Kunang-kunang dan kupu-kupu itu nyata menurutku”

“Baik. Kalau begitu kuganti saja kunang-kunang dan kupu-kupu tadi dengan liliput.”
Ia cemberut.

Lalu aku kembali menyebut hal-hal yang bagiku imut.
Seperti gula-gula kapas berwarna lembut yang luluh begitu diemut.