Saya menghabiskan sisa masa kecil saya di gang kecil di atas. Ketika itu, seperlima gang masih dimiliki ‘Nyai’, janda seorang tuan tanah Betawi yang menjual tanah sedikit demi sedikit untuk menyekolahkan anak-cucunya.
Dekat mulut gang, di depan rumah Pak Din, menghadap ke Utara, rumah Nyai membentang sepanjang 20 meter. Dengan rumah induk, dapur besar dan ruang aula untuk tempat taklim setiap Rabu pagi. Di depannya, terdapat pagar beton sedada orang dewasa. Pagar tersebut mengitari tanah pekarangan rumah Nyai yang lapang. Tempat andalan untuk bermain gundu, melepaskan ayam kampung dan mengikat kambing-kambing juga sapi bila datang musim haji. Ada satu ayunan di tengah lapangan untuk anak-anak yang tidak suka bermain gundu seperti saya.
Saya bersyukur bisa menghabiskan sisa masa kecil saya di gang kecil ini ketika televisi swasta masih merupakan barang langka dan satu-satunya gadget adalah game watch yang mainnya harus bergantian.
Saya bersyukur ketika saya kecil, kawan–yang kadang lawan–sesama anak kecil sepantaran ada banyak. Ada anak Pak RT; Mas Andi & Ninin (nama aslinya Amalia entah bagaimana bisa jadi Ninin) adik mereka Nanda baru lahir. Ada anak Pak Piterzon, pedagang barang antik yang rumahnya berbagi tembok dengan kami; Uni Sanda, Rico dan Rieska (Icha). Ada anak Pak Sarman (menantu Nyai yang seorang kuli bangunan); Bang Bibi (dari Habibi), Bang Napis, Ade (Pengkang karena langkahnya cenderung mengangkang) Lukman dan Siti Aulia (Lia). Ada anak Pak Bambang; Ifo & Indra. Ada kami, anak Pak Mochtar; Pilar, Yogas, Dian dan Adhya yang masih balita.
Dengan teman sepantaran sebanyak itu, mustahil kehidupan di gang kecil kami akan membosankan. Yang ada kami selalu kehabisan waktu karena sudah larut malam dan sudah dipanggil pulang. Sepi hanya ketika Lebaran dan liburan ketika beberapa teman keluar kota atau mudik ke kampung orang tua mereka.
Petak Umpet, Petak Umpet Kaleng, Petak Umpet Benda, Orang-orangan Kertas, Rumah-rumahan, Panggung Hiburan Anak-Anak, Benteng, Tak Jongkok, Tak Patung, Karet, Badminton, Ping-Pong, ABC Lima Dasar, Teprok Nyamuk dan yang paling seru: Dornama.
Dornama adalah permainan perang-perangan yang bisa dilakukan apabila jumlah peserta genap, itu saja. Tak perlu alat apapun. Tak peduli jenis kelamin. Cara mainnya adalah pertama-tama dengan mengumpulkan semua anak yang mau main dari yang paling besar sampai yang paling kecil (anak bawang). Lalu yang kira-kira setara tingkat “jago”nya harus saling suit untuk menentukan masuk ke tim kalah atau tim menang.
Biasanya, Ade dan Rico yang jadi komandan karena mereka larinya kencang dan jago merayap lewat atas dan bawah. Ade dan Rico sepantaran dengan saya level sekolahnya. Tetapi usia Rico sepantar dengan kakak saya, Yogas. Baru kakak-kakak saya yang jarang mau satu tim tapi hampir sama jago memanjat dan berlari seperti Ade dan Rico. Baru saya yang biasa suit lawan Lia atau Ninin, diikuti bocah-bocah yang baru tamat TK seperti Icha, Dina dan Indra.
Apabila tim sudah dibagi, komandan akan suit lagi untuk menentukan tim mana yang jaga markas dan tim mana yang akan ‘bergerilya’. Tim yang jaga markas akan menunggu di lapangan depan rumah Nyai yang luas, sementara tim gerilya akan menyebar bersembunyi di sepanjang gang ke arah Timur. Ketika seluruh tim gerilya sudah mendapatkan titik “tembak” yang pas, sang komandan tim gerilya akan bersiul dengan siulan khas menggunakan dua tangan dibentuk corong yang berbunyi “Tot teyot!”. Tapi bagi yang kurang jago membikin siulan itu atau posisi sembunyinya terlalu ribet, boleh teriak, “Tor Tiyooot!” penanda “peperangan” sah dimulai.
Masing-masing kubu mulai mengintai dan memburu lawan. Begitu melihat anggota kubu lawan, seperti permainan petak umpet kita hanya berseru, ‘Dor ditambah nama lawan’ lalu menyebut tempat di mana didapatinya. Yang tertembak harus menunggu di tempat yang terbuka, biasanya di bangku-bangku beton milik Mama Rina di seberang rumah Nyai. Permainan akan berakhir sampai salah satu tim kehabisan seluruh anggotanya.
Pasti kalian berpikir, ya enak yang jaga markas karena tinggal duduk manis mengintip gerak musuh lalu menembaki yang berani mendekat. Jangan salah. Di sinilah guna “senjata” pamungkas para jago merayap dan yang larinya kencang tadi. Kadang tahu-tahu sudah nangkring di tempat tersembunyi (baca: pohon atau genteng tetangga) dan menembaki seluruh anggota kubu lawan dengan leluasa. Malah ada istilah “kamikaze” segala, di mana salah satu tim gerilya mengorbankan diri dengan berlari melewati markas dan menembaki lawan sebelum dia sendiri ditembak. Atau bahkan ada yang pura-pura tertembak dan keluar duduk bersama ‘korban’ lain dan tahu-tahu menembaki musuh di markas.
Permainan ini paling asyik dilakukan sore-sore saat kumpul bocah sedang komplit-komplitnya. Kakak-kakak yang remaja dan kuliah yang lagi nongkrong sore juga terhibur menontonnya.
Itu sebagian masa kecil tanpa gadget saya. Lebih seru lagi setiap persiapan 17an. Gang kami akan dihias lampion-lampion warna warni selama 1 bulan penuh. Menjadikan arena bermain semakin mengasikkan. Tapi kami yang masih lebih banyak polosnya tidak tahu bahaya yang mengintai di gang sebelah.
Ada om-om berjulukan Ba’ong. Pemadat sekaligus bandar narkoba. Waktu ibu Ba’ong, Mama Hengky, masih hidup, bandelnya Ba’ong sudah tercium tapi masih terkendali. Akan tetapi begitu Mama Hengky meninggal, ketiga anaknya kocar-kacir. Ba’ong terang-terangan menjadikan rumahnya tempat nongkrong anak-anak yang bolos sekolah sekaligus tempat jual-beli putaw. Rumah Ba’ong strategis, persis di tusuk sate gang yang ada SD, SMP dan SMA. Anak Mama Hengky yang perempuan tidak mau anaknya terbawa pergaulan pamannya, memilih pindah membawa serta anaknya dan adiknya, Hengky yang terbelakang.
Saya melihat sendiri transformasi Ba’ong dari junkies masih agak berisi mirip Alex Komang sampai jadi zombie tukang parkir Indomaret yang menakutkan. Entah berapa jarum suntik tak steril yang ia tusukkan ke lengannya. Entah berapa penyakit mematikan dia biarkan bersarang di badannya. Sialnya, dia tidak hanya merusak diri sendiri tapi menularkan “penyakitnya” pada teman-teman ababil di lingkungan kami.
Supir taksi biasanya selalu khawatir setiap saya minta diantar ke Kampung Ambon. Mereka pikir Kampung Ambon yang di Cengkareng. Tempat preman-preman tak segan mencegat dan mengompas orang lewat. Padahal Kampung Ambon yang di Rawamangun juga pernah sama ‘gelap’nya, lantaran Ba’ong dan pengikutnya bandar-bandar tanggung gara-gara kecanduan. Beberapa kali saya menyaksikan penggerebekan narkoba berlangsung di kampung saya ketika sudah kuliah di Jogja, di acara macam Buser di televisi.
Ketika saya di Jogja, saya dengar Ade meninggal di penjara. Jauh sebelum Ba’ong bertemu malaikat maut. Artinya penderitaan Ade tak selama Ba’ong dan mungkin hanya itu yang bisa disyukuri di atas sesal kehilangan seorang teman masa kecil yang jago mengaji dan balap lari. Barangkali berawal dari kekesalan karena ayahnya menikah lagi dan punya dua anak ‘baru’ sehingga ia memilih bergaul dengan Ba’ong yang pintu rumahnya selalu terbuka.
Tidak ada penanda siapa anak yang akan terjerumus siapa yang tidak. Anak Pak Ustadz yang terkenal di komplek juga terbawa. Malahan sampai mencuri uang dari kotak amal mesjid untuk memenuhi kecanduannya. Setiap radius 100 meter barangkali ada 2 atau 3 pengguna narkoba, tak peduli jenis kelamin. Bahkan sama anak jendral, narkoba tidak takut. Tapi tak sedikit dari mereka yang sekarang tinggal nama.
Saya bersyukur, saya, kedua kakak dan adik saya masih dilindungi. Karena ibu saya ada di rumah dan selalu memperlakukan kami sebagai anak didik, teman, pembantu (eh, ampun Ma. Becanda. Hehe.) dan tidak segan menegur bahkan memberi ‘silent treatment’ apabila kami kelewatan. Percayalah, didiamkan oleh Mama selama seminggu, cukup untuk membuat jera selama beberapa bulan kedepan sebelum mengulangi kesalahan yang sama. Karena ayah saya yang pegawai negeri selalu sampai di rumah sekitar jam empat sore, dan tak jarang menjajani kami combro dan gemblong apabila ibu ‘Kue-Kue’ gendut lewat. Karena uang yang mereka cari untuk menyekolahkan anak dan mengasih makan anak, insyaAllah selalu halal. Karena keduanya mengajarkan untuk jujur dan tidak ikut-ikutan teman. Karena keduanya membudayakan ‘Family Night’ di Minggu malam terakhir setiap bulan. Karena keduanya tak pernah tinggal salat dan kerap mengaji di dekat kami. Karena keduanya senantiasa ‘ada’.
Saya bersyukur menjadi anak mereka. Saya bersyukur Allah berkenan melindungi kami dari jahatnya Narkoba. Sebab ketika SMA, NEM saya hanya cukup untuk diterima di SMU 36 Rawamangun yang silakan di-google, reputasinya di tahun 90-an seperti apa. Entah kalau sekarang.
Waah saya jadi teringat juga masa kecil di Kampung Ambon Rawamangun. Btw, disini disebutkan penjual gemblong emak-emak gendut. Dulu tahun 70an saya juga tinggal berpindah-pindah dari jalan Porslen ke jalan Plafon dan sering beli gemblong emak-emak gendut itu.