Sebelah Boot

Ini kisah tentang sebuah sepatu. Sebelah bukan sepasang. Tepatnya sebuah boot. Kalau boots berarti majemuk, maka saya sebut sebuah boot tanpa ada maksud bermain dengan rima. Boot tersebut berwarna coklat tua nyaris hitam. Tampak terbuat dari kulit sapi dan kilaunya adalah bukti boot tersebut dicintai atau paling tidak dirawat dengan cermat. Dari lancip ujung depannya dan hak 5 cm pada tumitnya siapapun pasti menduga kalau boot itu dibuat untuk kaki wanita. Pola lubang-lubang kecil yang tersusun berbentuk bunga pada sisi-sisi luar menambah aksen feminim pada boot tersebut.

Boot itu berdiri di dekat lampu penyeberangan. Seolah menunggu bergantinya lampu merah ke hijau bersama pejalan kaki lainnya. Tak banyak yang menghiraukannya. Tak ada yang tega menendangnya. Ia dibiarkan saja berdiri kesepian di situ di samping mesin penjual koran. Sudah dua lampu hijau aku hiraukan karena memikirkan boot sebelah tersebut.

Ukurannya hampir sama dengan ukuran kakiku. Aku tergoda menjajalnya. Matahari sudah lama terbenam. Orang-orang semakin bergegas pulang, aku menoleh ke kiri dan kanan. Sambil memikirkan cara mengambil sepatu itu tanpa dilihat orang lain. Aku tunggu lampu berubah hijau, pura-pura meletakkan tas kerjaku dan kantong belanjaanku di samping boot tersebut, lalu dengan cepat mengantonginya dan bergegas pergi.

“She took it!” Brian berteriak, dan aku sukses tersedak.
“Yang mana?” tanyaku menghampiri dengan mi gelas di tangan.
“Cewek yang pake baju kerja.”
“Goblok. Di perempatan itu semua orang pake baju kerja kali.” sahutku sambil mengeplak kepalanya.
Brian memutar tombol playback pada komputer yang terhubung pada kamera pengintai yang kami pasang.
“Tuh, yang itu.”
Seorang wanita muda dengan tinggi sedang, agak gemuk, dengan rambut ikal. Dandanannya modis dan manis. Khas wanita karir yang tahu trend terkini.
Kami pun menyaksikan bagaimana ia tak beranjak meski lampu telah berganti hijau dua kali. Bagaimana ia dengan gerakan yang cepat dan tenang memasukkan boot itu ke dalam kantong belanjaannya yang bertuliskan ZARA.
Aku terkekeh lalu kembali ke tempat dudukku semula.
“Now we wait.”
“Bagi dong gua. Mi Gelasnya.”
“Bikin sendiri.”

=================

Andai sedang ikut lomba jalan cepat, saya pasti menang. Aku berputar lebih jauh satu blok dari seharusnya. Tiba di balik pintu apartemen aku membungkuk menekan lutut dengan kedua telapak tangan. Mengatur nafas yang berantakan. Perdebatan dalam diri semakin sengit. Tapi yang menang tentu saja diriku yang penasaran mengenai ukuran boot tersebut. Kutendang lepas sepatu high heelsku, dan kukeluarkan boot yang dimaksud. Kulitnya begitu lembut dan sejuk disentuh. Agak ragu kucium, tak ada bau yang aneh. Malahan, cenderung seperti harum sepatu baru. Kupatut-patut boot tersebut, lalu mengguncang-guncangkannya mengeluarkan apa saja yang mungkin dimasukkan oleh orang yang barangkali berniat jahat. Sebuah amplop jatuh kelantai dengan ‘flop’.

Amplop berwarna hitam.
Amplop origami. Pelan-pelan kuurai lipatannya.

‘Congratulations’ katanya ‘you have yourself a boot. You may do anything you wish with it. Turn it into a flower pot. A place to keep your socks. Or if you haven’t any imagination or creativity, you could just put it back on the sidewalk you took it. BUT! But if you are in for a surprise, go to the third traffic light ahead of where you took this boot to get the map to it’s other half.’

“Haha. Ya kali. Gue senekad itu. Nyolong boot ini aja, rasanya jantung gue mau copot.” ucapku pada siapapun yang menulis pesan tersebut.

Kubawa boot itu ke kamar. Duduk di pinggir tempat tidur kukenakan pelan-pelan setelah sekali lagi memastikan tak ada ‘jebakan’ di bagian dalamnya. Lapisan dalamnya lembut sekali sepertinya wol. Kalau aku kurcaci, boot ini akan kujadikan tempat tidur favorit. Perlahan kumasukkan kaki kananku ke dalamnya. Ada perasaan geli saat membayangkan diriku menjadi Cinderella. Terlebih ketika boot itu pas di kaki. Gawat nih, pikirku.

===================

Bunga matahari di dalam sepatu sebelah kiri itu sedang tertawa lebar. Menertawakanku. Seakan-akan ledekan Brian setiap main ke apartemenku belum kurang. Entah kenapa aku setia menyiraminya. Berharap kamu lewat di jalanan bawah sana dan melirik ke jendela di mana kami sering menghabiskan rokok bersama. Lalu kamu akan melihat sebuah bunga matahari dalam boot sebagai pot.

Boot yang sedianya hendak kuberikan padamu saat Natal tiba. Tapi kamu lebih memilih dia yang mengerti makna Natal, selain sekadar sebagai hari tukar kado dan makan-makan.

“Hey, Hajj! I feel like hitting the deli. Wanna come with.” ajak Brian yang tahu-tahu sudah kelar mandi.
“Sure. Lemme get my jacket first.”

===================

Kami pun tiba seberang di perempatan yang empat bulan lalu kami pasangi kamera pengintai. Proyek iseng yang gagal total. Boro-boro menemukan Cinderella wannabe, aku kehilangan 299 dollar dan merelakan sebagian hatiku diinjak-injak pemilik sejati boot itu. Lampu masih merah. Seorang wanita menenteng kantong ZARA. “Pip Pu! Pip Pu! Pip Pu!” lampu berganti hijau, aku dan Brian menyeberang. Sambil berpura-pura melihat ke arah lain, kulirik gerak-gerik wanita itu. Wanita itu dengan cepat mengeluarkan boot dan meletakkannya di tempat semula.

Wanita itu berbalik. Bergegas menjauhi TKP. Aku mengikutinya. Brian berteriak heran, “Hajj! The deli is that way!”
Aku mengabaikannya. Berusaha menyusul wanita itu. “HAJJ!” teriak Brian lebih kuat lagi. Kali ini, langkah wanita itu berhenti. Ia perlahan menoleh. Wajahnya merah padam.

===================

Kini, ada dua jendela di kota kami dengan sepatu boot sebagai pot. Keduanya berisi bunga matahari yang gemar tertawa.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s