Waktu. Seperti kakek tua yang tahu segala. Setiap koin yang jatuh ke selokan. Setiap kerlingan genit. Setiap helaan nafas yang tak tersusul, pada akhirnya. Waktu yang tak hanya berjingkat dalam detik. Waktu yang juga meraung dalam dering.
Suara waktu bagiku seperti datang dari hampa. Sebuah sumur yang terlupa yang basah oleh gema-gema dan pantulan mega-mega pada dasarnya. Dan kerikil yang membuyarkan pantulan tak lain adalah emailmu yang menggamitku dari ujung dunia.
Entah, barangkali aku sengaja tak mengubahnya. Emailku itu.
“Menurutmu?” tanyaku menjawab tanyanya, sambil memukul-mukulkan kotak rokok ke telapak tangan yang satu. Kebiasaan.
“Ya, barangkali sudah.” ucapnya sambil menatap lekat mataku. Mencari jawaban. Sebuah keberanian yang belum pernah kulihat.
“Belum.”
“Maaf.” lagi-lagi ia berucap sambil menatap lurus padaku. Tak gentar. Tak ada lagi airmata yang menggenang dan terancam jatuh. Seperti terakhir kali ia mengucapkan kata itu untukku.
Waktu. Yang seperti kakek tua itu. Barangkali telah mengajaknya bertamasya ke sudut paling bijak masa-masa. Mengajarkannya keberanian. Mendidiknya dengan pengetahuan yang tak diajarkan di sekolah-sekolah.