“Kalau kebakaran, apa yang akan kamu selamatkan terlebih dulu?” tanyanya tiba-tiba.
“Ha?” hanya itu yang bisa keluar dari bibirku yang sedang terselip sebatang wafer Astor, jajanan kesayangan sedari kanak-kanak.

Di sofa teras belakang rumah.
Ia asik browsing sementara aku tenggelam dalam pusaran waktu Audrey Niffenegger.

Diulanginya kembali pertanyaannya tadi.
“Hmm.. Apa ya?” buku tebal itu kuletakkan di atas dada dalam keadaan terbuka, pada halaman yang sedang kubaca.
“Ngga boleh lama-lama mikirnya. Kamu hanya punya waktu 5 menit.” ucapnya membalik badan menatapku dengan kacamata minusnya yang sering kusebut ‘kaca muka’. Katanya model seperti itu sedang ‘in’. Apapun.
“Oke. Berapa banyak item bolehnya?” tanyaku sengaja, membeli waktu berpikir lebih lama.
“Sebanyak yang kira-kira sanggup kamu ambil dan bawa dalam 5 menit itu lah.”
“Oke. Pertama, si Ranma.”
“Ranma? Kucing itu nalurinya kuat, ia pasti sudah kabur menyelamatkan dirinya duluan. Nanti kamu buang-buang waktu buat nyariin dia malah.”
“Bener juga. Oke. Oke.”
“Jangan ‘oke’.”
“Baiklaaah..”
“Baik. Terus apa, dong?”
“Hard Disk external, iPhone, tas selempang kulit dari Mama, poster Carok, foto keluarga, ijazah-ijazah, passport, akte tanah. Udah!” aku menyeringai lebar, puas dengan jawabanku.
“Hmmm…” sahutnya hanya untuk kembali membelakangiku lalu konsen pada laptopnya.
“WOI!!” kutoyor kepalanya.
“Apaan sih?” gantian ia yang menyeringai.
“Trus? Apa artinya?” desakku.
“Ngga ada arti apa-apa. Aku cuma pengen tau aja.” ucapnya kalem.
“Oke,–”
“Baik.” koreksinya lagi.
“BAAAAAIIIIIKKKK! Kalau kamu?”
“Aku? Denger baik-baik ya. Karena aku hanya akan menyebutkannya sekali.” ia lalu memejamkan mata seraya menarik nafas dalam-dalam.
Aku memasang telinga yang sejak lahir sudah terpasang. Alhamdulillah.
Setengah menit berlalu dalam hening. Tanpa sadar, aku sampai menahan napas menunggu jawabannya.
“Heh, katanya ngga boleh lama-lama jawab–”

“Kamu dan barang-barang tak tergantikanmu itu.”