Salon Nila

Daerah ini, Rawamangun, rasanya jauh sekali dari Kemang. Namun jauh itu relatif. Rumah Ayu di Bandung lebih jauh lagi, tapi baru dua hari yang lalu balik dari sana. Terakhir ke Rawamangun 22 tahun yang lalu. Saat itu, Tante Nila masih hidup. Saat itu Salsa, adikku, belum lahir. “Masih lama ya, Bang?” tanya Salsa mencolokkan charger yang selalu standby ke Blackberry yang sejak berangkat tadi ditekuninya. “Dikit lagi sampe.” jawabku singkat. Di kanan jalan, pucuk-pucuk pohon cemara dan pagar tinggi lapangan golf tertua di Jakarta tampak. Aku mulai tersedot ke masa lalu.

“Tante Nila orangnya kayak apa sih, Bang?” tanya Salsa sambil seenaknya mengubah stasiun radio ke radio ABG kesukaannya, TraxFM.
“Hey, I was listening to that!” protesku. Tapi yang dipelototi malah mengangguk-anggukkan kepala mengikuti lagu Coldplay yang juga kusukai. Syukurlah masih ada musik yang bisa menyatukan kami, adik kakak beda generasi. Selera musik yang sama mengalir dalam darah kami mungkin.
“Almarhum. Eh, Almarhumah Tante Nila orangnya ramah pada siapa saja. Punya sepasang tangan yang tak bisa diam. Kalau tidak sedang membantu di dapur, mesti sedang di salon. Kalau tidak ada di salon, kemungkinan besar sedang di kamar Nenek, menemani Nenek merajut.”

This could be Para-para-paradise. Singing Para-para-paradise.

“Ini, dijawab bukannya nyanyi malah dengerin.” gerundelku sengaja disalah-salahkan untuk memperoleh ejeknya. Tapi Salsa terus saja bernyanyi. Aku menyerah dan ikut bersenandung di sisinya.

Oo O O Ooo Oooh

Salsa tersenyum sebelum melemparkan pandangan ke daerah yang asing baginya meski masih Jakarta juga.

Aku membelokkan mobil ke Jl. Sirap. Perasaanku dulu jalan ini jauh lebih besar. Ah, pastilah karena akunya yang membesar sehingga semua tampak mengecil. Mungkin karena rumah-rumah di sekitar sini kini bertingkat dan berpagar besi tempa tinggi. Aku masih mengenali rumah Yogi yang kini menghitam karena umur dan tak dirawat. Waktu aku SD, setelah semua PR dan selesai dan belum jam mandi sore aku sering menyelinap main ke rumah Yogi. Cuma dia yang punya RCTI dan Nintendo di komplek ini. Tapi Nenek kurang suka kalau aku main di sana. Seperti tidak punya mainan di rumah saja, tegurnya ketika itu. Padahal memang tidak, yang aku punya hanya buku, buku dan buku. Oh, dan salon milik Tante Nila. Kalau itu boleh kusebut mainan.

Jantungku hampir melompat keluar mulut. Salon itu masih berdiri di sana. Persis sama dengan 22 tahun yang lalu. Kukucek-kucek mataku, memastikan tak salah lihat. Atau untuk gegayaan saja. Rumah induk Nenek, sudah disulap menjadi ruko. Tapi ‘Salon Nila’ demikian yang tertulis di kaca depannya masih digantungi papan dari plastik akrilik dengan tulisan ‘BUKA’. Sedang asik melongo trotoar kuseruduk. ‘BRAAAKKK!”
“Abang…” Salsa mengerang menoleh sedikit dari gadgetnya.
“Eh, sori. Sori.” kuubah perseneling ke R dengan gugup, memundurkan mobil kemudian meluruskannya secara paralel di muka ruko milik Nenek. Tanganku mendadak kesemutan.
“Abang ngantuk ya? Ntar pulangnya biar Salsa yang nyetir.” kata Salsa terdengar sedikit kesal.
“Gayamu. SIM aja belum punya.” cibirku yang disahut dengang cibiran dua kali lipat lebih parah.
“Udah sampe, yuk turun.” ajakku setelah mengambil tas di bangku belakang.

Kantor Notaris dan PPAT Dr. Iman Sulaiman, SH., MH. bunyi papan reklame di lantai dasar ruko, sudah pasti milik Om Iman. Memasuki ruang tunggu, aku dan Salsa disambut sofa coklat yang tinggi dan empuk. Namun yang dicek pertama kali oleh anak muda masa kini bernama Salsa Nabila Bingham, adalah letak lubang colokan listrik.

Setelah memastikan kelangsungan hidup gagdetnya aman, tanpa disuruh, Salsa langsung menenggelamkan diri di sudut sofa kembali asik dengan piranti pintarnya. Aku menghela nafas melihatnya lalu berjalan ke dalam.

“Assalamu’alaikum.” ucapku agak ditahan, takut mengganggu bila Om Iman sedang ada klien atau tamu. Samar-samar terdengar sahutan dari bagian samping ruko.
Sesosok wanita paruh baya, berkulit putih, rambutnya yang abu-abu tergelung rapih. Sambil melap tangannya pada semacam celemek berkantong yang berisi aneka jepit, gunting dan sisir, ia tergopoh menghampiri.

Ia mengenakan blus katun putih dengan potongan cheongsam dipadu rok batik span yang melebar dari lutut sampai betis.
“Pak Iman sedang menerima klien. Mau konsultasi juga? Mau ditunggu?” tanyanya sambil membungkukkan badan dan menunjuk dengan ibu jarinya ke arah sofa di mana Salsa duduk dan sedang menatap kami berdua.
“Perkenalkan, saya Danu Sulaiman. Keponakan Pak Iman dan itu adik saya, Salsa. Maksud saya ke sini untuk mengantarkan undangan. Tapi kalau Om Iman sibuk, saya titipkan saja undangannya, boleh?” entah kenapa aku mengucapkan itu dalam satu tarikan nafas seraya merogoh ke dalam tote bag.
“Tidak boleh.” jawab ibu itu tegas. Aku mengangkat kepala. Lesung pipinya yang menyambutku tadi hilang entah. Alisku bertaut. Kulirik Salsa yang alisnya menjiplak gerik alisku. Bibirnya memanyun. Manyun unyu, julukku.
“Bagaimana?” tanyaku kembali, memastikan kalau barusan aku tak salah dengar. Teringat pertanyaan yang dibisikkan Ibu sebelum kami berangkat dari rumah tadi, ‘Kamu benar tidak tahu kenapa kami pindah dari Rawamangun?’

Yang aku tahu kepindahan kami karena Ibu menikah lagi. Dengan Gavin Bingham, ayah Salsa. Tentunya tak enak tetap tinggal di rumah mertua saat kita sudah move on bukan? Entah kenapa baru timbul pertanyaan, mengapa tak sekalipun kami datang mengunjungi Nenek setelah pindah dari sini? Dan tak sekalipun aku menanyakannya pada Ibu? Apakah aku terlalu sibuk menyesuaikan diri menjadi anak Mr. Bingham sampai baru kini teringat rumah masa kecilku di Rawamangun? Tanpa kusadari aku sudah jadi ‘Anak Selatan’. Apakah Ibu dan Nenek bertengkar sebelum membawaku pindah? Aku ngga ingat apa-apa. Aku bener-bener ngga ingat! Sialan!

“Nak Danu dan Nak Salsa jangan pulang dulu. Tunggu Om Iman selesai bertemu dengan kliennya ya?” wajahnya dalam sekejap kembali lembut yang mengundang lesung pipinya kembali muncul. “Sebentar lagi Om Iman naik ke atas kok untuk makan siang. Kita makan di atas. Kebetulan ‘klien’ Bibi juga masih diobat dan masih dua jam lagi baru dikeramas.”

“Diobat?” baru suara Salsa terdengar.
“Dikeriting. Bibi kerja di sebelah. Di salon.”
“Oh.” jawab Salsa sedikit tersipu.
“Salonnya masih buka?” tanyaku.
“Oh, masih.” jawabnya tersenyum bangga.
“Bibi siapanya Om Iman?” tanya Salsa tanpa beban. Aku mendelik padanya. Ia mecucu. Tante itu kembali memamerkan lesung pipinya sebelum menjawab singkat.
“Teman.”

==========================================================================================

‘Diobat’. Tanpa harus dijelaskan aku ingat persis apa maksudnya. Sosok Tante Nila kembali menjelma di dalam ingatan. Kulitnya kuning cenderung sawo matang. Tubuhnya tinggi dengan rangka yang besar. Kira-kira lebih tinggi 10cm Ibu yang tingginya hanya 165cm. Tapi untuk tahun 80an, perempuan setinggi itu sudah sesuatu yang luar biasa. Aneh malah. Namun Tante Nila selalu melihat sisi positifnya. “Tangan yang panjang begini bagus untuk menjangkau.” kilahnya suatu saat.
“Kata buku istilah ‘tangan panjang’ artinya maling.” ledekku sambil memutar-mutar kursi plastik berbentuk kelopak tulip warna krem berporos dan berkaki seperti gelas anggur. “Itu kan kata buku. Kata hati Danu bagaimana?” tanya Tante Nila memamerkan barisan giginya yang putih. “Ih, Tante Nila aneh. Hati kan ngga bisa ngomong.” eyelku sambil terus memutar-mutar kursi sampai pusing. Pusing yang menyenangkan.

Tidak seperti sekarang. Pusing berusaha mengingat-ingat kejadian-kejadian menuju kepindahan aku dan Ibu dari Rawamangun. Pusing yang ini tidak menyenangkan.

Sejak dilarang main ke rumah Yogi, aku sering menghabiskan siang-siangku di salon. Meninggalnya Ayah memaksa Ibu bekerja keras menghidupi kami berdua, aku baru bisa bertemu Ibu selepas Isya. Biasanya kamar sudah aku semprotkan obat nyamuk sedari Magrib tanpa lupa menyalakan AC, agar saat Ibu pulang dalam keadaan penat kamarnya sudah menanti untuk membuatnya nyaman. Om Iman juga kerap pulang malam lantaran sibuk menambah gelar di depan dan belakang namanya sepulang bekerja. Jadi, selain dua pembantu setia hanya ada aku, Nenek dan Tante Nila, istri Om Iman.

=========================================================================================================

Salon Nila hanya sebesar garasi. Sebuah paviliun yang terhubung dengan teras rumah utama Nenek. Ada dua dipan panjang di sisi tembok kiri dan kanan ruang. Salah satunya terhubung dengan bak berbentuk lucu tempat keramas. Pipa paralon mengalirkan air ke sana. Aku pernah dikeramas oleh Tante Nila sekali. Kali itu aku kegelian dan tak bisa diam. Tante Nila geregetan. “Aneh tau, Tan. Dikeramas tapi badannya kering. Aneh!” protesku ketika itu.
“Aneh ya? Ya udah sini badannya biar dibasahin sekalian.” ucap Tante Nila kali itu sambil menggandengku ke taman di samping salon dan memasang selang pada keran dan mengajakku main air. Tante Nila yang spontan. SPONTAN. Kata itu selalu menemaniku sampai setua ini. Rupanya Tante Nila yang menanamkannya.

Selain dipan busa berlapis vinil hijau dan berkaki besi tadi, terdapat dua kursi putar-putar dan dua meja rias dengan laci dan lemari kecil di bagian bawahnya. Retro sekali, ya karena ketika itu memang tahun 80an. Di tembok tertempel poster potongan rambut yang sedang trendi. Model rambut Mel Shandi dan Ikang Fauzi. Rambut yang semi gondrong baik untuk cowok maupun cewek dengan kesan mengambang karena habis digulung atau diblow. Ada pula sepasang rak sorong-sorong berisi gulungan-gulungan untuk mengeriting rambut plus kertas-kertas tempat cairan kimia berbau tak enak itu dibubuhkan saat rambut ‘pasien’ digulung. Aneka sisir mencuat dari tabung plastik, ada sisir sasak, sisir cukur, sisir cat dan sisir besar yang biasa dipakai Tante Nila membersihkan bekas guntingan yang menempel pada baju, bahu dan leher ‘pasien’.

Suatu kali, saat mengacak-acak isi lemari meja rias aku menemukan semacam topeng plastik berwajah perempuan dengan mata terpejam. “Topeng apaan nih? Salah bikin ya? Kok ngga ada lubang matanya, Tan?”
“Ya, karena matanya merem. Coba kamu ke sini malem-malem sendirian, pasti kebuka matanya.” jawab Tante Nila santai sambil terus mengecat rambut pasiennya. Pasiennya yang matanya terpejam, kukira tidur eh tersenyum mendengar perkataan Tante.
Bergidik, kubuang topeng aneh itu ke lantai.
“Eh, kok dibegitukan? Ya udah deh, ntar malam topengnya ke kamar Danu lho minta disimpan lagi baik-baik.”
“Tante Nilaaaaaaaaa!!!!” rengekku berlari memeluk pinggangnya sambil mencuri lihat ke topeng yang tergeletak di lantai dan masih saja merem sambil senyum.
Pasien tante tergelak. Beberapa jam kemudian pasien itu memegang si topeng untuk melindungi wajahnya dari semprotan hairspray. Mata tante mengerjap jenaka saat itu. Aku meleletkan lidah.

Salon Nila tak selalu kedatangan pasien. Ada hari-hari di mana tak satupun pasien datang. Biasanya tanggal-tanggal 20 ke atas. Saat sepi dan Tante Nila tak ada pasien dia yang jadi pasien dan aku yang jadi dokternya dengan keahlian seadanya: mencari uban. Satu uban dihargai 5 perak. Satu es mambo harganya masih sepuluh uban. Salsa pasti terpingkal kalau tahu abang kesayangannya ini mengenal uban sebagai mata uang di suatu ketika.

Saat ‘diobati’ Tante akan tengkurap di salah satu dipan setelah menyetel radio kecilnya.

R K M Radio Kayu Manis
La la la la la la la la
Manis bisikannya
Lembut suaranya
Manis bisikannya
Lembut suaranyaaaaaa…

Jingle itu begitu sederhana tapi begitu lekat di ingatan. Begitu pula lagu-lagu lawas milik Hari Mukti, Ikang Fauzi, Anggun C. Sasmi, Michael Learns To Rock, Utha Likumahua, Trio Libels, Scorpion, Extreme, Carpenters, Andy Williams dan masih banyak lagi. Suasana sore-sore yang malas, angin pun ikut malas. Sesekali suara bajaj dan deru motor memecah ketenangan. Kusimpulkan, kalau bajaj itu seperti kecoa, sampai kapanpun tak akan punah selama masih ada ‘makanan’ tersedia. Bila Tante Nila tertidur, aku akan menyimpan baik-baik uban dalam kertas berwarna gelap untuk dihitungnya nanti. Seringkali, aku meminjam secara acak ensiklopedi Britannica milik Om Iman yang tersusun rapi di rak bukunya yang tinggi, menggotongnya ke salon lalu sambil tengkurap di dipan satunya, aku menekuri gambar-gambar sampai tertidur.

=====================================================================================================

“Tambah Klaapertartnya, Nak Danu.” tawar teman Om Iman membuyarkan ingatanku yang menderas. Rasanya tak sabar ingin mengintip Salon Nila.
Makanan-makanan ini mirip betul dengan masakan Tante Nila. Menu khas nusantara Sayur Pecel, Tahu Tempe & Ayam Goreng Bumbu Kuning dan Sambal Terasi. Namun hidangan penutup yang mendadak Belanda pastilah ciri khas teman Om Iman ini.
“Maaf, tapi sudah makan begini banyak kami belum tahu nama Bibi siapa?” tanyaku sambil menadahkan piring, minta tambah.
“Nila.”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s