Dear Kyoto,
Kemarin saat menjenguk Tante Dayu aku ditanya Tetty, “Kapan ke Jepang lagi?” Kujawab saja, “Entahlah, mungkin 3 tahun lagi.”
Sudah lama ada semacam janji di dalam hati untuk menengokmu paling tidak 5 tahun sekali.
Menapaktilasi seluruh jalan yang kujejaki. Shirakawa, Kitayama, Karasuma, Teramachi.
Mendengarkan suara yang dikeluarkan lampu lalu lintas untuk para tuna netra, suara burung gagak yang gemar mengacak-acak sampah, kumbang yang dengingnya menandakan kehadiran musim panas dan suara speaker tukang ubi bakar yang sedikit mengobati rasa rindu pada suara adzan.
Melihat eksekutif muda berjas tapi tetap mengendarai sepeda, mencuci mata di Shinkogyoku meski pulang tanpa membeli apa-apa, dan menghentikan kayuhan di lampu merah hanya karena langit senja yang kelewat indah untuk dilewatkan. Sakura dan Momiji, tentu saja! Bagaimana mungkin saya bisa lupa!
Mengakrabi modernisasi yang bersanding serasi dengan tradisi. Turun sedikit ke daerah Gion dan jika sedang beruntung bisa bertemu dengan sosok ayu para Maiko. Restoran rumahan ternama yang dari luar tampak bersahaja namun begitu makanannya masuk mulut, lidahmu berpesta pora.
Aku merindukanmu, Kyoto.
Kau ingat siapa diriku?
Gadis yang saat gajian dengan dan tanpa malu-malu makan sushi 100 yenan 7 piring sendirian.
Kau pasti ingat diriku kan, gadis ceroboh yang jatuh ke parit di tengah deras hujan?
Kalau belum ingat juga, aku gadis yang patah hati dan mengendarai sepeda berderai air mata dari Jembatan Sanjo sampai Stasiun Kecil Shuugakuin. Ditemani ‘Simple Together’nya Alanis Morrissette. Mungkin kau pernah iba padanya tanpa bisa melakukan apa-apa selain menghela nafas sepanjang jalan.
Atau begini saja sedikit membuka rahasia semoga ibuku tidak baca, aku gadis yang berciuman di halte bus saat salju perlahan turun, lewat jam 9 malam.
Tertanda,
Reinkarnasi Murasaki Shikibu
Bagi orang Bule, Indonesia adalah Bali. Bagiku, Jepang adalah Kyoto.