Suatu pagi, di kamarku.
“Lho, buku Papa sama kamu toh?” tanya Papa melihat buku The Vision of Islam karya Sachiko Murata yang belakangan ini ikut kemanapun aku pergi tergeletak di atas tempat tidur.
“Iya.” jawabku enteng sambil terus bersandar pada kepala tempat tidur dan membenahi isi tas kerja.
“Kamu bawa-bawa?” tanyanya lagi.
“Iya, Dian baca-baca kalau lagi nunggu bis, di atas bis, di mana aja sesempatnya.” sedikit bangga.
“Jangan dibawa-bawa. Papa ngga kasih.”
Aku mengangkat alis dan mencari keseriusan dalam ucapannya. Ia serius, buktinya bukunya mau beliau bawa pergi.
“Lho, kok Papa begitu sih?” aku mulai kesal.
“Papa ngga mau buku Papa hilang.” masih di depan pintu kamarku. “Kalau kamu mau baca, fotokopi saja. Fotokopiannya boleh kamu bawa-bawa.”
“Gimana sih, giliran anaknya ngga pernah baca selalu disindir-sindir. Giliran anaknya sekarang lagi seneng baca, dilarang-larang. Lebih senang anaknya bodoh ya? Lebih sayang sama buku daripada sama anak?” aku meledak.
“Bukan itu.” Papa seperti menekan emosinya. “Buku ini sudah penuh tanda-tanda baca Papa. Point-point penting yang amat berharga. Kalau buku ini hilang, tanda-tanda itu juga akan hilang dan belum tentu daya ingat Papa dan pemikiran Papa masih seperti yang dulu. Jadi kalau kamu mau baca, fotokopi aja.” tuntasnya sambil melangkah pergi ke kamarnya di sebelah.
“Biar!! Dian ngga mau sentuh buku-buku Papa lagi. Kalau perlu Dian beli sendiri. Liat aja!” aku tak mau kalah, berapi-api dengan segala emosi irasional.
Meletup-letup. Memercikkan api dari ubun-ubun. Aku duduk di pinggir kasur. Kekesalan mengalirkan cairan bening dari mata. Mungkin untuk memadamkan api yang menjilat-jilat. Air. Ingatku. Wudlu. Aku bangkit menuju kamar mandi. Menatap diriku dalam cermin di atas wastafel. Jelek sekali. Bismillah, kuambil air wudlu. Kubasuh air mata. Kubersihkan mulut yang kurang ajar. Setelah selesai kembali ke kamar.
Kukenakan mukenah dan kuambil Al Qur’an. Papa yang selalu bilang, kalau emosi ambil air wudlu lalu mengaji. Aku lalu mengaji. Hati menjadi terbuka. Setan jadi menyingkir. Semua perkataan Papa menjadi benar dan perkataanku tadi tolol semua. Aku menangis memeluk kitab kesayanganku. Kitab pemberian Papa dulu. Yang penuh tanda-tanda baca dan selipan-selipan sayang dari Papa.
Pagi itu kami berdua sedang siap-siap kerja. Pintu bolak-balik yang dibuat di tengah lemari buku terdengar dilewati. Papa memanggil Titi untuk dimintai tolong membawakan turun tas laptopnya karena beliau sudah tidak kuat. Aku seolah dibisiki, ‘Jika ini adalah kenangan terakhir kamu sama Papa, apa kamu ikhlas?’ Cepat-cepat aku bangkit dari sajadah merahku dan menyusulnya di puncak tangga.
Kuraih tangan kanannya dan kucium.
“Maafin Dian ya, Pa.” air mataku terus menetes. Tak kuasa mengangkat kepala. Terlalu malu untuk menatapnya.
Papa hanya membelai kepalaku.
“Iya nak. Papa senang kamu mengaji.”
“I love you, Pa.”
“I love you, too.”
Tentang buku itu, yang asli jelas tersimpan rapih. Mengenai yang fotokopian, Papa selalu berkata begini, “Mana? Baca Sachiko Murata aja, 2 tahun ngga selesai-selesai.” dan aku sedang ngga tau itu buku ada di mana…
:’)
Ini keren, Uni.
Suka! :)