Maktuo

Apabila duduk di sisinya kamu akan mencium bau sabun antiseptik. Ia pandai menavigasi dirinya dalam kamar yang gelap. Ia tahu persis kantung sebelah mana di dalam tas sandang hitamnya tempat peniti yang dengan gesit dipasangkannya pada stagen panjang penghalau angin menyusup ke tubuhku. Masuk angin itu melalui pusar, katanya. Di dalam tas hitam itu pula selalu ada uang receh walau sedikit untuk cucunya yang merengek minta jajan. Dalam tidurnya ia sering bernafas melalui mulut. “Hhhhhhhh….” ia menarik nafas, “puuuuuuuhhh…” bunyi helaan nafasnya dari bibir yang kering.

Tengah malam, ia duduk di pinggir kasur. Melafazkan sesuatu dalam gelap. Ayat-ayat. Kebaya encim melapis kutang kendur yang menutupi hal-hal lain pada tubuhnya yang juga sudah kendur. Rambut putihnya yang panjang menipis akan disisirinya pelan-pelan sekali seolah takut setiap tarikan akan memutus hidup beberapa helai yang masih bertahan hidup tersebut. Bijil-bijil jeruk nipis yang mengering berjatuhan dari kepalanya. Obat ketombe, katanya. Lalu digulunglah rambut panjang itu menjadi bola rambut putih keabu-abuan. Aku memejamkan mata memimpikan masa ketika rambut itu masih hitam lebat menggelombang, terayun-ayun irama gitar yang dipetik beliau di suatu ketika.

“Mundur!” adalah kata yang tak lelah ditujukan pada cucu-cucu yang asik menonton tipi terlalu dekat yang dipastikan akan mencibir sambil tetap melaksanakan perintah karena lebih takut sama marahnya anaknya Maktuo daripada sama Maktuo. Setelah perjalanan 8 jam melintas lautan Pasifik di usia 60 bahkan untuk pertama kalinya seorang diri, kata ‘mundur’ mengalami penyesuaian untuk cucu-cucu yang mungkin telah lupa bahasa. Jadilah nenek tua yang ketika itu masih kuberi label cerewet, memakai istilah “Move Back… Your eyes! Your eyes!” dan masih dibalas dengan cibiran tapi masih juga dilaksanakan permintaannya.

Aku cucu yang badung. Judes. Diajari mengaji, bawaannya jengkel terus. Baru ‘yaa ayyu khalladii…’ beliau akan menyela membenarkan, ‘yaa ayyuhalladzii..”memintaku mengulanginya secara baik dan benar. Dengan suara menghentak-hentak lantaran kesal karena dibenahi terus bacaannya, aku menurut. Satu ‘ain setiap minggu siang serasa siksaan seabad. Mengapa anak kecil sudah bisa dihuni setan senakal itu ya? Kadang aku mengalihkan perhatian dengan menarik-narik kulit punggung tangannya yang seolah kain kusut pelapis tulang. Ga apa-apa, nanti gantian aku yang mengajari bahasa Inggris pakai flash card dari Mrs. Hiu. Kita lihat, apa enak disuruh mengulang-ulang terus? Itu pikiranku dulu. Pikiran seorang anak yang mengambil sebutir telur dari kulkas, membawanya ke kamar Maktuo, meletakkannya di atas karpet lalu berusaha mengeraminya selayak ibu ayam. Harap maklum. Maktuo kemudian dengan sabar dan ikhlas membersihkan bekas-bekas keluguan cucunya.

Kini, aku hanya bisa berharap tiap huruf pada ayat suci yang terlepas dari bibir ini akan terbang menuju alam bazrakh tempat beliau laksana kupu-kupu cahaya ilahi yang akan menghiburnya di istana penantiannya. Setiap tetes wudlu yang membasahi tubuh ini akan mengalir meresap ke dalam bumi menuju makamnya dan menyampaikan salam bahwa kepandaian anak cucunya mengambil wudlu adalah berkat beliau. Meski ia tak selalu ada dalam doa-doaku, kuyakin bacaan Al Qur’an anak cucunya serta murid-muridnya adalah nikmat yang takkan terputus dan senantiasa menerangi ruangnya.

2 thoughts on “Maktuo

  1. duh.. mengingatkan almarhumah nenek saya… :) sebutannya dulu little princess… :razz:
    moga sukses proyek bukunya mbak..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s