Ada nyeri tak terperi yang berasal dari bagian bawah tubuhku. Terik matahari menusuk-nusuk punggung. Serasa beribu jarum merujah ubun-ubun. Kesadaran yang tak kuinginkan menyeruak kembali ke permukaan.
Jeritan kalut dan raungan “Allahu Akbar” terngiang-ngiang. Tangis bayi bersahutan seolah merasakan kacau kondisi di sekelilingnya. Kemana perginya prosedur keselamatan penerbangan yang disajikan sebelum lepas landas tadi? Formalitas sajakah? Kulihat salah satu pramugari terkulai pingsan. Pilot kami terus berusaha menenangkan meski suaranya terdengar gentar. Kebakaran mesin akibat terputusnya kabel pengirim bahan bakar, adalah satu-satunya informasi yang perlu kutangkap.
Pemuda tanggung di sebelahku pun hanya sanggup menundukkan kepala sambil menghirup oksigen dari masker. “Kamu! Jangan diam saja! Bantu saya buka pintu darurat atau minggir!” kuguncang bahunya dan berusaha menyingkirkannya dari duduknya yang menghalangi akses ke pintu darurat.
Aku lupa kalau tubuhku tak lagi gagah perkasa. Pemuda itu tersentak, kemudian cepat-cepat berusaha membuka pintu darurat. Aku memegangi tali pinggangnya kencang-kencang karena sadar angin akan terhisap ke luar dengan kuat.
“Cepat! Loncat!” Aku berusaha mengalahkan deru mesin, angin dan jerit tragis orang-orang. Tanganku menunjuk-nunjuk ke bawah. Pemuda tadi membeku, menatapku dengan wajah pias dan sangsi.
“Kalau takut, cari teman!” lagi-lagi suaraku dihempas oleh udara yang murka. Asap dari lambung pesawat semakin pekat. Mata penumpang lain semakin gelap.
Aku telah berdiri dekat pintu yang terbuka berusaha membujuk si pemuda, saat pesawat meledak dan peganganku terlepas.
***
Tanpa sadar airmata sudah membasahi pipi. Andai airmata bisa membasahi kerongkongan, aku akan menangis saja agar tak perlu merasa lagi haus. Bibirku berasa laut. Asin. Aku terapung pada seserpih sayap pesawat. Telah kuikatkan dasiku pada pinggiran ‘getekku’ dan ujung satunya mengikat sebelah kaki. Agar kalaupun aku terlepas dari pelampungku aku takkan kehilangannya, meniru surfer-surfer yang pernah kulihat di televisi.
Terjun bebas di antara pecahan tubuh pesawat dan potongan-potongan manusia yang sejam sebelumnya masih duduk tenang mencicipi minuman penyegar yang disajikan pramugari. Aku menutup mata sampai kakiku tertampar permukaan laut.
Aku masih terus menangis. Awalnya hanya sedu-sedan, tergugu, kemudian meraung kencang. Ada monster di tenggorokan yang hendak dibebaskan. Amarah pada Tuhan, yang tidak mengambil nyawaku sekalian? Atributku hilang. Aku menangis sejadi-jadinya.
Apa yang harus kulakukan? Mengapung di sini sampai mati? Berharap keajaiban datangnya regu penyelamat sebelum segalanya terlambat? Aku terus meraung hingga letih, lalu terlelap. Ikan-ikan kecil mulai berenang ke dalam pipa celana. Aku angkat tubuhku ke atas permukaan pelampungku. Jasku kupakai sebagai pelindung kepala. Kuikat-ikat ala cucuku dengan baju kaosnya bermain ninja-ninjaan.
Raihan. Sungguh, membayangkannya saja bisa membuatku lupa sejenak akan kesusahan yang kualami. Hanya untuk kemudian kembali dirundung sesal pada Tuhan yang mungkin sedang membuatku takkan bisa bertemu dengan cucuku lagi.
Tuhan mestilah sangat membenciku. Bukannya membiarkanku langsung mati ia memilih mencabut nyawaku perlahan-lahan. Sunset yang indahpun terlewatkan karena aku membelakanginya