Terbangun oleh debur ombak, aku melihat sekitar, berusaha mengembalikan ingatan kejadian semalam. Puji Tuhan, aku bukan orang yang kapalnya karam lalu terdampar di pulau tak bertuan.
Di sekelilingku banyak anak muda bergelimpangan. Sayang sekali kamera kutinggal di front desk, kalau tidak foto-foto posisi tidur mereka bisa jadi bahan cela-celaan dan pemerasan yang lumayan.
Aku putuskan untuk berjalan-jalan sendiri menyusuri bibir pantai. Matahari kesulitan menembus langit bulan Oktober, padahal jam di tanganku menunjukkan pukul 8.13, seharusnya sudah panas. Pasir tidak seputih saat terakhir ke sini 4 bulan yang lalu bersama Andrew.
Semeter udara kuhembuskan perlahan, berharap ia membawa serta bayangan Andrew dan ribuan kenangan.
Buih-buih ombak mengelus kakiku, seolah berusaha menenangkan perasaan. Mungkinkah Hawa ditenangkan oleh buih-buih yang sama ketika Adam menyakiti hatinya? Mungkinkah ketika itu laut sudah ada?
Akhirnya aku tiba di tempat yang kutuju. Dua pohon kelapa dipersatukan hammock tua. Tubuhku mendadak mengingat hangat dekapannya. Memalukan memang bagaimana tubuh dan otak bisa tidak kompak. Tetapi tubuh juga memiliki hak mengenang, tak semata benak.
Dekapan yang semakin tak terelakkan karena tali-temali hammock yang tertekan berat tubuh dua manusia dewasa. Seperti inikah sepasang kembar dalam rahim sang bunda? Berebut oksigen? Saling menghantar hangat? Bulan malam itu, tercacah daun-daun kelapa. Seperti nafas kami yang terengah oleh kecup-kecup basah.
Di pohon yang sebelah kanan ada namaku terukir. Di pohon yang sebelah kiri ada namanya. Tapi sayang, tak ada gambar hati tertusuk panah di antara keduanya. Hanya sebuah hammock butut dan tua. Tak ada pesan yang dipanjatkan pada semesta alam. Maka hubungan kamipun tenggelam.
nice