“Kamu mirip temanku. Tapi dia sudah meninggal.”
Aku terpaku menatapnya. Cairan menggenang di balik kacamatanya, bibirnya yang merah bergetar lantaran dipaksa tersenyum. Terlepas dari pantas tidaknya mengatakan hal seperti itu pada seseorang yang baru pertama kali bertemu, tiba-tiba saja aku ingin memeluknya. Menjadi substitusi pelukan untuk temannya yang mirip denganku tapi sudah tiada. Berharap tubuhku tak hanya dipinjam untuk dipeluknya, tetapi juga dirasuki oleh ruh sang sahabat itu. Menjadi sarana.
Semenit yang sejam, kami saling diam. Genangan itu sudah membentuk dua buah sungai. Mengalir turun dari pinggiran mata, melewati tulang pipi, pinggir bibir dan terjun dari ujung dagu untuk pecah di ujung sepatu. Sepatu kiriku melangkah maju dan ia sama sekali tak menghindar saat kupeluk.
Peluk. Dekap. Rengkuh. Butuh dua untuk menjadi satu. Saat memberi dan diberi menjadi satu. Sulit menemukan titik tengahnya. Seperti yin & yang. Seperti nafas yang ditarik-embus ibu saat berlatih taichi. Lingkaran udara. Saling hirup. Saling menghidupkan. Saling meringankan beban.
Bisa jadi ia menjadikanku substitusi temannya yang meninggal. Merasakan hangat yang menjalar dari lengan, ke dada, ke hati, ke pipi. Dan dengan menutup mata, mematikan satu indera, dekap ini lebih terasa. Kusadari manusia selalu butuh dipeluk. Tak ada pertimbangan yang terlewat manakala Tuhan menciptakan manusia, tubuh kami begitu ergonomis pun untuk berpelukan.
Embrace. Hug. Clasp. Cuddle.