Broken Violin

“Maya.” buru-buru kupindahkan bow ke tangan kiri, bersatu dengan biolaku agar bisa bersalaman dengannya. Wajahnya bersih sekali. Meski tidak putih, urat-urat halus di pipinya jelas terlihat. Wangi parfumnya menyenangkan, seperti denting piano Debussy. Pula hangat senyumnya yang seakan-akan terinspirasi senja. “Dia pemain timpani kita yang baru.” Chacha menjelaskan. Timpani? Sungguh, kurasa ia lebih pantas bermain oboe atau clarinet. “Ganteng yah?” Chacha menambahkan sambil menyenggolku dengan sikutnya. “Chacha.. Please..” bisikku memerah. Jengah.

“STOOOP!!” bentak Mas Adie, “First violin! Berapa kali harus kukatakan?! KON-SEN-TRA-SI!!!” aku menunduk dalam-dalam. Berharap bisa menciut seperti tikus lalu bersembunyi selamanya di koper biolaku. Di sampingku, Chacha menoleh sejenak ke belakang, ke pemain timpani baru kita yang ternyata tunangannya.

2 thoughts on “Broken Violin

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s