Pelayan itu menghampiriku dengan senyum dikulum. Segelas bir dijunjung tinggi melampaui orang-orang yang asik berdansa.
“Malam, Pak. Ini dari wanita di pojok sana.” dengan dagunya ia menunjuk sudut klub. Di sana, di bawah lampu EXIT, seorang wanita bersandar pada tembok. Tangannya terlipat di dada, sebatang rokok terselip di jemarinya. Ia mengenakan blus putih tanpa lengan dan rok merah menyala dibebat ban pinggang hitam. Mengingatkanku pada Minnie-nya Mickey.
“Restletingmu, Bung.” bisik pelayan itu sebelum beranjak pergi. Aku terkejut dan melongok ke bawah. Ah, restletingku tidak kenapa-kenapa. Ketika kumenengadah, pelayan itu sudah ditelan kerumunan, pun Minnie Mouse tadi.
Bir itu tak kusentuh. Modus kejahatan di kota ini semakin tak bisa diprediksi. Selembar serbet kertas bertulisan digunakan sebagai tatakan. ‘Call Me!’ tertera di atas sekumpulan angka ponsel. Seperti jaman jebot saja. Aku mengirimi nomor itu sebuah SMS.
“Thanks for the beer.” pesan terkirim
Pip-pip!
“Meet me out front.” tertera pada balasan
Kuacuhkan.
***
Kuhidupkan mesin mobil dan menyalakan lampu taksi, siap mencari nafkah kembali. Saat melintasi tempat parkir gedung yang
lengang, sudut mataku sempat menangkap beberapa transaksi terjadi. Seks dan Narkoba. Biasa. Sedikit pusing karena jalur keluar masuk parkiran yang sempit, terjal dan berputar-putar pikiranku kembali pada wanita misterius tadi. Rambutnya ikal seperti lilitan lilitan pegas hitam legam, tidak panjang sebatas bahu saja. Tungkainya yang terekspos tadi disilangkan santai, putih mulus seperti krim. Pasti nikmat menjilatinya. Aku mulai membayangkan yang tidak-tidak, ketika, ‘CIIIIIIIIIIITTTT!’
Persis di pintu keluar parkiran, wanita yang sedang kusetubuhi lewat pikiran menghadang jalan. Ia lalu membuka pintu kursi penumpang yang belum sempat kukunci. “Hei? Apa-apaan ini?!” aku berteriak padanya saat ia menghempaskan tubuhnya di sebelahku. “Tancap gas! CEPAT!!” ia malah memerintah. Baru aku hendak menyalakan argometer ia mengeluarkan sepucuk pistol dari tas genggam hitamnya yang berpayet dan merangkak ke bangku belakang. Seketika aku sadar, wanita ini tidak sedang main-main. Sepasang cahaya lampu mobil muncul dari tikungan terowongan seiring terdengarnya desingan peluru.
Aku menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Bodi bawah taksiku membentur tepian trotoar saat kami memasuki jalan besar. “Anjing!” umpatku membayangkan kerusakan yang harus ditanggung oleh tabungan asuransiku, selebihnya karena panik.
“Bisa cepet ngga sih?! Apa perlu gue gantiin?!” wanita itu membentakku.
Sial! Rutukku dalam hati. Pada saat yang sama. Mitsubishi EVO X merah menyala itu membentur bemper belakang VIOS putih kreditanku. Terdengar tembakan saat kami tiba di Bundaran HI, aku membanting setir ke kanan seakan-akan hendak lurus ke arah Sudirman. Sedan merah itu sudah berhasil menyejajariku, mulut senapan angin mengarah ke kepalaku. Aku menarik rem tangan sambil kembali membanting stir ke kiri memasuki jalan Imam Bonjol lalu melepaskannya lagi. Berhasil menangkap momentum yang pas, mobilku berbelok seolah mampu melawan hukum gravitasi. Dalam kepanikan aku merasa seolah berada dalam film action dan sutradara memutuskan memelankan adegan ini menjadi 1000 frame per detik “Fu**! You can drift?!” aku tak mempedulikannya.
Seperti kesetanan kami membelah Jl. Diponegoro, berbelok ke kanan persis di depan kantor polisi Taman Surapati yang seharusnya verboden. Dari spion kulihat beberapa polisi yang sedang duduk-duduk hanya bisa berdiri terpana. Kuselipkan mobilku di jalan sempit di samping Masjid Agung Sunda Kelapa. Beberapa pedagang makanan sedang membereskan dagangannya menyingkir kaget. Kap belakang mobilku dipukul. Aku membuka jendela, dan berteriak pada Bang Mamat, “Tolong, bang! Gue dikejar!” “Siap!” Bang Mamat menjawab sigap dan memberi kode pada sisa-sisa pedagang yang sempat menegang hendak menghajarku. Mereka lantas bersikap seolah tak ada apa-apa kembali merapihkan tenda-tenda dagangan. Lampu dan mesin mobil kumatikan, saya dan wanita itu turun. Bang Mamat lantas menutup taxi dengan terpal. Di ujung jalan mobil terlihat Mitsubishi melesat. Aku menghela nafas lega. Lalu menoleh ke wanita yang menyebabkan kekacauan ini.
“Bisa tolong jelaskan, ada apa ini Bu?” ucapku sinis memandangnya dari bawah ke atas. Kesal sambil berusaha menyembunyikan nafas masih tersengal juga detak jantung yang berantakan.
“First of all, don’t you dare call me ‘Bu’. I’m still 23. Second, seharusnya lo berterima kasih ke gue. Those guys were gonna kill you.” ia mengangkat rambut ikalnya dan mengipas-ngipasi tengkuknya dengan tangan. Pistol sudah masuk kembali ke dalam tas.
“Lho? Emang salah gue apaan?” protesku. Langkahku terhenti.
“Inget-inget lagi deh. Penumpang-penumpang lo sebulan belakangan ini. Lo ngerasa ada ‘main’ sama siapa aja?”
“Maksud lo dengan ‘main’? Kayaknya lo salah orang deh. Biar ganteng gini, gue bukan penganut free sex. Mungkin cuma cewek or cowok yang bete gara-gara gue tolak ajakannya.” aku menghidupkan rokok sambil melangkah ke halaman mesjid yang dijaga keluarga gue turun temurun.
“Oh. Mungkin juga.” ia juga mengeluarkan rokoknya menyelipkannya di sela bibirnya lalu menghentikan langkahku. Ditempelkannya ujung rokoknya dengan ujung rokokku yang menyala, menghisapnya dalam-dalam. Erotis banget.
“Mereka ngga terima ditolak lantas pengen ngerjain lo kali.”
“SMS gue sampe?” aku tiba-tiba teringat.
“SMS? alisnya terangkat sebelah. Seksi.
Ia mengambil HP dari tas kecilnya. Melirik layarnya.
“Ngga ada sms..”
“Oh, bisa jadi beneran gue dikerjain. Tapi lo sendiri ngapain pake acara nolongin gue. Kenal juga ngga.”
“Lo emang ngga kenal sama gue yang ini. Tapi gue yang ini..” ia mengeluarkan pashmina dari tas kecilnya untuk dikenakan seperti kerudung.
“Astaga.. Ukhti Aminah?” mendadak aku jengah menatap pakaian yang dikenakannya. Mengalihkan pandangan ke anak-anak kucing yang sedang memainkan bangkai kecoa. Ukhti Aminah adalah salah satu peserta pengajian yang rajin ikut diskusi malam hari sambil menyantap sate Padang di halaman mesjid setiap Jum’at malam.
Ia tergelak.
“Gue masih abu-abu, Al. Kalau malam emang begini masih. Gue udah sering liat lo di Immigrant. Trus kebetulan banget tadi gue denger selentingan-selentingan pelayan-pelayan yang berniat ngerjain Ali si supir. Gue langsung klik kalo yang mereka maksud itu elo.” ia berbicara sambil menunduk, memainkan ujung sepatunya pada ubin.
“Pelayan yang mana? Kampret banget! Emang salah gue apaan?” dengan berang kulempar rokok yang masih setengah.
“Ngga usah dipikirin, ntar biar orang-orang gue yang beresin. Katanya lo nolak si Adam, anaknya yang punya bengkel inex Minggu lalu.”
“Maksud lo dengan ‘orang-orang gue’ itu apa? Eh, maksud ‘Ukhti’ apa?”
“Maksud ukhti,” sengaja ditekankan pada kata ‘ukhti’ dengan lirikan menggoda, lalu mengeluarkan pistolnya lagi.
Merasakan bahaya, aku berdiri dan perlahan melangkah mundur.
Diarahkannya pistol itu ke wajahku. Habislah aku. Dalam hati aku mengucap ‘Allahuakbar.’
“Ukhti?”
“Any last words?” wajahnya seperti orang psycho, menyeringai lebar. Matanya tajam menghunjam.
“Ukhti?”
“Iya Ali ganteng, ngga seharusnya lo nolak permintaan adik kesayangan gue tiga minggu lalu. Gue paling ngga suka ada yang bikin nangis adik gue. Jadi anggap aja ini balasan yang setimpal ya?”
“Dor!” aku menutup mata. Berpikir jangan-jangan otakku mati duluan hingga panas peluru tak sempat dilaporkan kulit dahi pada otak.
Tapi masih kurasakan kakiku berpijak di atas ubin.
Saat aku membuka mata, Ukhti Aminah sudah terkapar tak bernyawa. Matanya menatap kosong sosok yang berdiri memegong pistol menaunginya. Adam?
“Maafin gue, Kak. Gue tau lo sayang banget sama gue. Tapi gue udah capek direcokin kakak terus.”
Ia melangkahi mayat Aminah dengan teramat santai lalu menghampiriku.
“Halo, gue Adam. Masih inget kan?” tegurnya centil sambil memutar-mutar pistol dengan jari tengahnya.
****
Wohooo!! Bravo Uni! Actionnya ngena banget! Suka!
Pyuh, this make me hold my breath! Keren Uni!!